BOGOR-KITA.com – Menanggapi keterangan pers Head of Corporate Communication PT Sentul City Tbk, Alfian Mujani, yang diberitakan BOGOR-KITA.com pada 13 September 2019, Komite Warga Sentul City (KWSC) merasa perlu menyampaikan hal-hal sebagai berikut.
Alfian Mujani–yang tentu saja mewakili PT Sentul City–seringkali menyinggung soal banyak-sedikitnya warga yang diwakili oleh KWSC, padahal KWSC tak pernah mengklaim mewakili seluruh warga Sentul City. Bahkan, bagi kami, jumlah warga bukanlan persoalan mendasar. Perjuangan KWSC tidak didasari pada banyak-sedikitnya warga tapi pada kesadaran warga akan hak-haknya sebagai konsumen dan pelaksanaan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia di kawasan Sentul City. Terbukti, dalam perjalanannya, dua gugatan hukum kami terkait izin SPAM PT Sentul City dan BPPL telah dimenangkan oleh pengadilan di tingkat kasasi.
Jika memang masalah terkait pemasangan spanduk serah terima PSU adalah adanya pesan WhatsApp, seperti diklaim PT Sentul City, lantas mengapa Bupati Bogor Ade Yasin sampai harus memerintahkan pencabutan spanduk demi menenangkan sebagian warga yang protes? Sebab, bagaimanapun, pemasangan spanduk itu–sebagaimana telah kami tunjukkan dalam siaran pers sebelumnya–sebenarnya justru kewajiban PT Sentul City dalam Berita Acara Serah Terima PSU yang ditandangani oleh Direktur Utama PT Sentul City sendiri pada 22 November 2018. Akan lebih bijak jika Bupati Ade Yasin menjelaskan perihal Berita Acara Serah Terima tersebut daripada langsung memerintahkan pencabutan spanduk. PT Sentul City pun tak menyinggung soal Berita Acara Serah Terima dalam keterangan persnya.
PT Sentul City kerap mengajukan klaim bahwa warga terikat dengan PPJB berkonsep township management. Perlu kami jelaskan bahwa argumen inilah yang disampaikan PT Sentul City berulangkali dalam persidangan perkara BPPL, dan argumen tersebut ternyata tak menggoyahkan putusan majelis hakim kasasi. Dalam Putusan Perkara Nomor 3415 K/Pdt/2018, majelis hakim Mahkamah Agung, antara lain, menyatakan bahwa PT Sentul City dan PT Sukaputra Graha Cemerlang telah melawan hukum dan tidak berhak menarik BPPL dari warga di seluruh kawasan Sentul City.
Dalam keterangan persnya, PT Sentul City menuding KWSC tidak menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. PT Sentul City terbukti “telah melawan hukum”, demikian bunyi putusan majelis hakim Mahkamah Agung dalam Perkara Nomor 3415 K/Pdt/2017. PT Sukaputra Graha Cemerlang juga tetap menarik BPPL dari warga Sentul City, padahal bunyi putusan hakim sangat tegas: “tidak berhak menarik BPPL dari warga di seluruh kawasan Sentul City”, dan bukan hanya warga anggota KWSC.
Dalam keterangan persnya, PT Sentul City mengutip sejumlah pasal peraturan perundang-undangan, tapi sayangnya kutipan itu tidak tepat dan cenderung manipulatif.
Pertama, Pasal 86 dan 130 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman sama sekali tidak menyatakan bahwa pengelolaan PSU “dilaksanakan oleh pihak pengelola kawasan permukiman perkotaan”, sebagaimana diklaim PT Sentul City. Pasal 86 ayat (3) menyatakan, “Pemeliharaan dan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.” Pasal 130 berisi kewajiban normatif setiap orang, yang bahkan salah satunya terkait pengawasan pemanfaatan PSU di perumahan dan kawasan permukiman. PT Sentul City tampaknya alpa mengutip Pasal 103 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 yang justru menyatakan:
(2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masyarakat secara swadaya.
(3) Pengelolaan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Kedua, memang benar bahwa Pasal 22 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 menyatakan bahwa, dalam hal kerja sama pengelolaan PSU dengan pengembang, badan usaha swasta, dan masyarakat, pemeliharaan fisik dan pendanaan PSU menjadi tanggung jawab pengelola. Tapi, PT Sentul City alpa mengutip Pasal 22 ayat (2) Permendagri Nomor 9 Tahun 2009 yang menyatakan, “Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan pengembang, badan usaha swasta, dan atau masyarakat dalam pengelolaan PSU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal 22 ayat (2) jelas menyebut kata “dapat”, yang berarti pengembang hanyalah salah satu opsi untuk mengelola PSU, dan jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, kerja sama pengelolaan dengan pengembang sudah sepatutnya dibicarakan dengan masyarakat, dalam hal ini warga Sentul City yang diwakili RT/RW—bukan penunjukkan langsung sebagaimana yang diinginkan oleh PT Sentul City. [] Admin / KWSC