Kota Bogor

Ini Catatan YSK Terhadap Raperda Perlindungan Disabilitas Kota Bogor

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Yayasan Satu Keadilan (YSK) diundang oleh Pansus DPRD dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) membahas Raperda Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang Disabilitas Kota Bogor, Rabu (7/10/2020).

YSK diundang dalam kapasitas sebagai organisasi masyarakat sipil pendamping organisasi disabilitas (perkumpulan penyandang disabilitas Indonesia – DPC Kota Bogor).

RDP dipimpin oleh Ketua Pansus Said Mohammad Mohan dari Fraksi Gerindra, diikuti oleh anggota pansus dan tenaga ahli DPRD Kota Bogor.

Berikut catatan YSK terkait raperda tersebut, diperoleh BOGOR-KITA.com, dari Sekretaris Yayasan Satu Keadilan Syamsul Alam Agus, Kamis (8/10/2020).

Selengkapnya:

Raperda Perlindungan Bagi Penyandang Disabilitas Kota Bogor memuat 125 Pasal yang terbagi kedalam 15 BAB. Terdapat banyak point atau bahasan materi yang redundant, tumpang tindih bahasan sehingga tidak fokus pada tujuan dari raperda, yaitu perlindungan.

Draft naskah raperda sudah menunjukkan keterwakilan kelompok / stakeholder yang berkepentingan langsung seperti bagian dari naskah terkait dengan perlindungan perempuan dan anak disabilitas. Namun belum termasuk lansia disabilitas dalam naskah.

Umumnya, materi raperda sudah mengadopsi aturan yang lebih tinggi seperti UU, Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat ditemui pada pembahasan hak atas pekerjaan dimana raperda mengacu pada UU Penyandang Disabilitas. Dalam pasal 53 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas menyebutkan, pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan, mewajiban perusahaan swasta untuk memperkerjakan paling sedikit satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pekerja.

Baca juga  Popwilda, Kota Bogor Sabet 22 Medali

Catatan kristis atas naskah pada point ketenagakerjaan ini adalah belum termuatnya ketentuan bahwa pemerintah berkewajiban memfasilitasi peningkatan SDM, skill agar penyandang disabilitas dapat berkompetisi dengan pencari kerja lainnya. Afirmatif harus dilihat dari posisi obyektif – positif.

Ada 22 jenis hak penyandang disabilitas yang diatur dalam raperda ini. Lebih dari 70% terkait erat dengan pelayanan publik. 30% lainnya terkait dengan hak sipil politik, hak internum. Catatan kritisnya: raperda ini tidak perlu terlalu jauh mengatur tentang hak-hak yang melekat dan sifatnya internum, seperti hak keagamaan. Pengaturan hak internum dalam perda akan mereduksi pengakuan yang sudah diatur sebelumnya dalam UU. Perda harusnya lebih operasional dalam rangka penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak warga negara.

Dimensi pemenuhan hak harusnya lebih dikedepankan dalam perda mengingat peraturan ditingkat daerah harusnya lebih operasional dan jadi landasan operasional bagi pemerintah dalam menjalankan kewajiban HAMnya.

Terkait dengan draft naskah raperda perlindungan penyandang disabilitas Kota Bogor, Yayasan Satu Keadilan berpendapat, bahwa draft naskah raperda masih belum cukup menginternalisasi prinsip dan standar pelayanan publik, prinsip itu diantaranya :

Keterbukaan: Pelayanan publik bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak. Semua informasi terkait dengan penanggungjawab/satuan kerja pelaksana pelayanan, prosedur/persyaratan pelayanan, rincian waktu dan biaya penyelesaian serta hal-hal yang terkait dengan pelayanan publik wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Bentuk pelayanan publik oleh pemerintah sebagai pelaksana pelayanan belum mencerminkan inklusifitas karena minimnya fasilitas yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Sebagai contoh pembahasan peraturan daerah belum terfasilitasinya juru wicara bagi penyandang Tuli.

Baca juga  Cintai Alam dan Sesama, Kwaran Tanah Sareal Gelar Persari di KRB

Kesederhanaan: Pelayanan publik diselenggarakan dengan prosedur yang tidak berbelit-belit, mudah dipahami, mudah dilaksanakan, cepat dan tepat. Pemenuhan hak-hak dasar warga negara saat ini bisa diakses melalui berbagai fasilitas, seperti kartu pintar, kartu sehat dll. Namun bagi penyandang disabilitas fasilitas ini harus dapat diakses secara mudah dengan satu kartu untuk semua layanan.

Kejelasan: Dalam pelaksanaan pelayanan publik harus memberikan kejelasan terkait dengan tenggat waktu penyelesaian pelaksanaan pelayanan publik, rincian biaya dan tata cara pembayaran, unit kerja yang berwenang dalam penyelenggaraan layanan serta informasi persyaratan teknis dan administrasi.

Keteraksesan: Tempat dan lokasi pelayanan mudah dijangkau, tersedianya sarana dan prasarana kerja serta sarana pendukung lainnya yang memadahi. Selain itu untuk mendukung layanan publik maka sampai pada ke-mudahan dalam pemanfaatan system informasi dan tersedianya akses telekomunikasi.

Keamanan : Proses dan produk pelayanan publik haruslah dapat memberikan rasa aman dan kepastian hukum kepada penerima layanan. Terkait dengan isi naskah raperda hak keadilan dan perlindungan hukum belum terlihat adanya dimensi pemenuhan hak. Padahal persoalan mendasar terpenuhinya hak kesamaan didepan hukum adalah pada prosesnya. Pengalaman dalam pendampingan disabilitas yang berhadapan dengan hukum, kebenaran materiil sulit didapatkan oleh pencari keadilan karena lemahnya sensitifitas APH dan fasilitas yang disediakan, misalnya juru wicara bagi penyandang Tuli dalam proses hukum di kepolisian sampai pada pengadilan. Pemerintah Kota Bogor harus memfasilitasi bantuan hukum gratis bagi penyandang disabilitas dan memastikan seluruh fasilitas tersedia. Seperti diketahui bahwa perda bantuan hukum bagi rakyat miskin di Kota Bogor telah tersedia.

Baca juga  Ini Daftar 16 Anggota Paskibraka Tingkat Kota Bogor

Untuk mendorong optimalisasi proses pelayanan publik maka para penyelenggara harus diawasi oleh lembaga negara yang dikenal sebagai Lembaga Ombudsman. Melalui lembaga ombudsman, masyarakat dapat menyampaikan keluhan terkait dengan persoalan pelayanan publik yang diterima.

Disamping melalui lembaga Negara seperti ombudsman, masih ada beberapa alat akuntabilitas sosial yang  bisa digunakan yaitu: Pengawasan pemerintah oleh DPR/DPRD, Pengawasan administrasi/prosedur, Sistem audit oleh lembaga negara BPKP maupun BPK serta auditor internal pemerintah (inspektorat / bawasda), penegakan hukum melalui kepolisian dan kejaksaan serta Pembentukan komisi pengawasan.

Dalam draft naskah raperda ini belum mengatur pengawasannya. Namun untuk fungsi ini akan dibentuk satu organisasi yaitu Komite Perlindungan Penyandang Disabilitas (KPPD). Komite ini beranggotakan paling banyak 7 orang dari unsur pemerintah daerah, organisasi penyandang disabilitas, pakar/akademisi dan unsur masyarakat lain. Komite bekerja untuk 3 tahun yang direkrut oleh Pemda dan ditetapkan melalui keputusan walikota. [] Hari

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top