BOGOR-KITA.com – Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) melakukan kunjungan kerja ke Kota Bogor, Jumat (26/4/2019). Rombongan yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komite IV DPD RI Ayi Hambali, terdiri dari Darmayanti Lubis (Provinsi Sumatera Utara), Rugas Binti (Provinsi Kalimantan Tengah), Ghazali Abbas Adan (Provinsi Aceh), Hardi Selamat Hood (Provinsi Kep. Riau), Cholid Mahmud (Provinsi DIY), Sabam Sirait (Provinsi DKI Jakarta), Enny Khairani (Provinsi Bengkulu), Rosti Uli Purba (Provinsi Riau) serta Staf Ahli Komite IV Abdul Kodir.
Mereka diterima hangat oleh Wali Kota Bogor Bima Arya bersama Wakil Wali Kota Bogor Dedie Rachim di ruang Paseban Sri Bima, Balaikota Bogor.
Ayi mengungkapkan, maksud dan tujuan kunjungan kerja tersebut adalah dalam rangka pengawasan terhadap pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang difokuskan beberapa hal, yakni mendapatkan informasi, tanggapan dan penjelasan secara langsung dari pemerintah yang perlu mendapat perhatian anggota Komite IV DPD RI sebagai dasar untuk ditindaklanjuti.
“Dalam pertemuan ini kami harapkan dapat memperoleh masukan mengenai kendala dan usulan dalam pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2003 dan perubahan PP nomor 58 tahun 2005 menjadi PP 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,” ungkap Ayi.
Komite IV DPD RI mempunyai lingkup tugas pada rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN, perimbangan keuangan pusat dan daerah, memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan anggota BPK, pajak, dan terkait koperasi serta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Dalam pertemuan tersebut Bima Arya bercerita mengenai saat dirinya mulai menjabat sebagai Wali Kota Bogor pada 2014 lalu. Ia melihat ada proporsi APBD yang tidak logis ketika itu.
“APBD banyak dialokasikan dalam bentuk hal-hal yang rutin habis, seperti honor, biaya perjalanan dinas, belanja makan dan minum, hingga belanja pakaian dan kendaraan dinas PNS.
“Jadi, arahan saya saat itu adalah mengevaluasi postur APBD. Lalu melakukan efisiensi kepada semua pos sehingga terukur. Jangan hanya menggugurkan kewajiban. Setiap rupiah yang dikeluarkan itu betul-betul dihitung dan dilaporkan sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas,” ungkap Bima.
Sehingga, lanjut dia, anggaran belanja langsung yang tadinya hanya Rp1,14 triliun (2014) meningkat menjadi Rp 1,5 triliun (2018). Anggaran untuk penanggulangan kemiskinan dari Rp 209 miliar (2015) menjadi Rp 426 miliar, anggaran pendidikan Rp 115 miliar (2015) menjadi Rp 426 miliar (2018), serta anggaran kesehatan dari Rp 254 miliar (2015) menjadi Rp 324 miliar (2018).
“Pemkot Bogor juga terus memaksimalkan pendapatan daerah. Kami lihat targetnya terlalu konservatif dan kita ingin lebih progresif. Pajak dibenahi, kemudian kebocoran juga diatasi. Sehingga PAD yang tadinya hanya Rp 544 miliar pada 2014 bisa ditingkatkan menjadi Rp 913 miliar pada 2018. Kami terus tingkatkan minimal Rp 100 miliar per tahun,” jelasnya.
Atas segala pencapaian tersebut, Pemkot Bogor diganjar berbagai apresiasi di tingkat nasional, seperti predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan. Untuk kali pertama pula, Kota Bogor meraih predikat B dari Kemenpan-RB terhadap Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), setelah hampir tidak pernah beranjak dari predikat CC selama 10 tahun terakhir.
“Kota Bogor juga memperoleh dana insentif daerah sebesar Rp 48 miliar dan menerima dana kelurahan. Hal ni berkat perjuangan bersama teman-teman Apeksi. Inipun tentunya tidak lepas dari aspirasi di bawah, dari lurah-lurah. Penggunaan dana akan diprioritaskan kepada wilayah-wilayah yang berkaitan langsung dengan kesehatan dan infrastruktur,” ujar dia.
“Lalu memaksimalkan untuk program-program prioritas terkait dengan naturalisasi Ciliwung. Ada 14 Kelurahan yang kita fokuskan untuk naturalisasi Ciliwung,” tambahnya.
Turut hadir dalam kesempatan tersebut Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Bogor, Plt Kepala Bapenda, perwakilan BPKAD, Bappeda dan perangkat daerah lainnya. [] Admin/Humas Pemkot Bogor