Tata ruang Jabopunjur (Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur), adalah tata ruang yang sangat khusus. Sangat khusus, karena tidak kurang tiga presiden menaruh perhatian terhadap tata ruang Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur ini. Seperti apa tata ruang Jabopunjur yang diharapkan tiga presiden ini? Bagaimana realisasinya sekarang? Berikut diturunkan artikel yang ditulis oleh Nellie Tiendas. [] Redaksi
Masa Pelaksanaan Penpres No 13/1963
Bung Karno mengantisipasi wilayah sekitar jalur Jakarta- Bogor-Puncak-Cianjur akan memiliki peran penting dalam kepariwisataan. Hanya saja, pertumbuhan yang berlangsung saat itu tidak beraturan, malahan cenderung menghambat lalu lintas dan merusak keasrian pemandangan. Keluarlah Perpres No. 13/1963 yang mewajibkan pendirian bangunan maupun perluasan bangunan lama sepanjang 200 meter di kiri-kanan jalur Jakart a-Bogor-Puncak- Cianjur serta di seluruh wilayah Ciawi dan Pacet memperoleh ijin khusus dari Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga. Sejalan dengan itu, pemerintah menyusun rencana (tata ruang) kepar iwisataan.
Menteri PUT membentuk Tim Perancang yang terdiri atas 3 pejabat Jawatan Tata Kota dan Tata Daerah yang diberi tugas menyiapkan rencana penggunaan tanah dan menyusun peraturan tentang pembangunan di kawasan tersebut. Tim wajib bekerja sama dengan DPU DT I Jawa Barat dan konsultasi dengan pemerintah daerah terkait. Di samping itu, juga dibentuk Badan Pelaksana Proyek Puncak Indah, Departemen PUTL, bertugas memp roses perijinan. Pada tahun 1966, badan ini dibubarkan dan wewenang fungsional diserahkan kepada Gubernur Jawa Barat cq Djawatan PU Propinsi Jawa Barat..
Sejak diberlakukannya UU No. 5/1969, semua Peraturan Presiden dan Penetapan Presiden harus ditinjau kembali. Departemen PUTL ditugasi meninjau kembali Perpres No. 13/1963. Lantas, timbul keraguan di kalangan masyarakat terhadap Perpres No. 13/1963, sehingga banyak pendirian bangunan baru tanpa ijin. Pengawasan melemah, koordinasi antarinstansi pun merenggang. Pesatnya perkembangan akhir tahun 1960-an, mendorong Gubernur Jawa Barat mengingatkan Bupati Bogor dan Cianjur untuk meningkatkan kembali penertiban terhadap penyimpangan dan pelanggaran pembangunan di sepanjang jalan negara Jakarta-Puncak-Cianjur. Ditegaskan, bahwa perijinan dapat dikeluarkan DPU Kabupaten setelah disetujui DPU Jawa Barat. Persoalan bukannya mereda, tetapi malah semakin kompleks. Keindahan dan kesejukan alam kian terancam. Dalam kurun waktu antara tahun 1963-1980, suhu meningkat sekitar 7 derajat Celcius. Bangunan dan berbagai fasilitas pariwisata terus memadat sepanjang jalur Bogor-Puncak-Cianjur. Kelancaran lalu lintas punterganggung akibatnya. Harga lahan terus membubung, disusul dengan perambahan kawasan lindung untuk pertanian, fasilitas rekreasi dan sebagainya. Ladang dan kawasan terbangun terus merangkak menuju perbukitan yang berkelerengan >40%. Tercatat hampir 1.000 hektar lahan yang berfungsi beralih fungsi. Perkebunan teh yang menjadikan kawasan ini unik, banyak yang telantar sehingga memberi kemungkinan diserobot baik untuk pertanian yang tidak mengindahkan fungsi konservasi maupun bangunan-bangunan pariwisata. Oleh karena perencana naan tata ruang yang mendalam belum dilakukan, maka Departemen PU berkerja sama dengan DPU Propinsi Jawa Barat membentuk Tim Pelaksana yang menghasilkan Rencana Pengembangan Jalur Bogor-Puncak tahun 1978-2000. Bertolak dari kenyataan tersebut, ternyata segala upaya untuk menertibkan pembangunan dengan dikeluarkannya Perpres No. 13/1963 belum cukup ampuh untuk dapat mengendalikan pesatnya perkembangan wilayah ini. Beberapa pihak berpendapat hal ini disebabkan oleh tidak adanya peraturan pelaksanaan sehingga Perpres tersebut tidak efektif.