Pengamat Politik Soroti Dua Putusan MK Dan Implikasi Politik Dalam Pilkada
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait beberapa persyaratan di dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 menjadi sorotan banyak pihak.
Pengamat politik Yusfitriadi mengatakan bahwa adanya putusan MK ini membuat dinamika politik semakin menarik dan memiliki banyak implikasi atau dampak atas putusan tersebut.
Kang Yus, sapaan akrabnya mengatakan ada 2 (dua) keputusan MK dalam rangka pelaksanaan Pilkada yaitu soal ambang batas suara partai politik (parpol) dan gabungan partai politik untuk dapat mengusung pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
“Sementara putusan kedua yaitu soal persyaratan batas usia untuk menjadi peserta Pilkada yaitu usia 30 tahun untuk Gubernur dan Wakil Gubernur serta usia 25 tahun untuk Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota di saat penetapan,” ungkap Yusfitriadi wartawan.
Ia menambahkan, di sisi lain, Baleg DPR RI akan melakukan rapat paripurna yang awalnya akan dilaksanakan pada Kamis (23/8/2024) kemarin, tapi batal atau ditunda. Dimana salah satu agenda utama rapat adalah menolak keputusan MK tersebut.
Namun terlepas dari sidang paripurna Baleg DPR RI ditunda atau dibatalkan, lanjut Kang Yus, ada penegasan untuk kedua kalinya dari pihak KPU RI bahwa lembaga penyelenggara pemilu ini akan tetap menindak lanjuti keputusan MK.
“Meskipun rapat paripurna Baleg DPR RI ini patut diwaspadai hanya ditunda, tapi bisa dikatakan hingga saat ini putusan MK tersebut akan tetap dilaksanakan,” jelas Direktur Lembaga Studi Vinus ini.
Menurutnya, akibat dua putusan MK ini, maka akan ada banyak implikasi atau dampak yang terjadi dalam konstelasi politik di daerah. Salah satunya adalah dampak persyaratan batas usia di saat waktu penetapan calon dalam pilkada.
“Hal ini akan berpengaruh pada rencana pencalonan Kaesang Pangarep yang di kabarkan akan maju di Pilgub. Karena usia Kaesang itu baru 30 tahun pada bulan Desember 2024, sedangkan waktu penetapan calon di pilkada itu tanggal 23 September 2024,” imbuhnya.
Sementara dampak putusan MK terkait ambang batas suara parlemen yang di bagi ke dalam 4 skema dan parpol non parlemen yang bisa ikut mengusung calon, tentu membuka peluang parpol atau gabungan parpol guna mengusung pasangan calon dalam ajang Pilkada.
“Termasuk di Kabupaten Bogor, dengan jumlah DPT lebih dari 1 juta orang, maka masuk ke skema ke empat putusan MK.
Artinya parpol yang meraih 6,5 persen suara itu bisa mengusung pasangan Cabup dan Cawabup,” papar Kang Yus.
Mengacu hasil Pileg 2024, lanjut Kang Yus, maka ada 6 (enam) partai politik yang bisa mengusung Cabup/Cawabup. Ditambah jika ada gabungan parpol non parlemen yang perolehan suaranya jika disatukan mencapai 6,5 persen, maka bisa juga mengusung calon di Pilbup.
“Dampak lain dari putusan MK tersebut, membuat peluang pasangan calon yang akan memborong suara parpol semakin sulit. Karena ambang batas suara yang diperlukan hanya 6,5 persen. Jauh lebih kecil jika dibanding aturan lama yaitu 20 persen suara parlemen,” ujarnya.
Terlebih dalam konteks pilkada, masih kata Kang Yus, kedudukan partai politik hanya sekedar mengusung pasangan calon. Sedangkan faktor yang akan lebih menentukan kemenangan adalah faktor figur atau sosok calon yang diusung.
Kang Yus menjelaskan, walaupun ada pasangan calon yang diusung koalisi parpol (monopoli parpol) atau diusung jumlah parpol yang dominan, tetap akan sulit untuk menang di pilkada jika figur atau sosok calon tidak mengakar kuat.
“Sebaliknya, meski hanya diusung satu parpol atau gabungan parpol yang suara nya 6,5 persen, namun memiliki figur atau sosok calon yang mengakar kuat di tengah masyarakat, maka peluang untuk menang di dalam kontestasi pilkada itu akan semakin besar,” tutup Kang Yus. [] Fahry