Kab. Bogor

Jangan Biarkan Potensi Desa Tidur

BOGOR-KITA.com – Menuju desa Merdeka dan Sejahtera.
Seruan ini terus digalakkan oleh Pemerintah Indonesia agar desanya mandiri tidak terkecuali mandiri secara kelengkapan infrastruktur ataupun mandiri secara manusia di desa. Secara pelaksanaan di pemerintahan desa, bias pembangunan di desa terkonsentrasi penuh pada infrastrukturnya, tuntutan ukuran sejahtera bagi pemerintah desa diukur melalui semakin mewahnya gedung kantor desa, gedung posyandu, gedung PAUD dan pengaspalan jalan serta perbaikan jembatan. Kondisi ini terus di biasakan tanpa dilihat dengan kebutuhan warga desanya, laporan pelaksanaan program infrastuktur desa terus diupdate ke sistem informasi desa (SID), pengawasan warga sebatas dijabarkan dan ditampilkan pada spanduk penggunaan Anggaran dan Belanja Desa (APBDes) di depan kantor desa, sementara di sisi lain warga desa dibiarkan terus tidur terlelap di atas ketidaktahun serta kebodohan yang kemudian beranak ke generasi secara terus menerus tanpa ada upaya percepatan bagi manusianya. Data potensi desa diperoleh tanpa proses pendataan real di lapangan, kemunduran semangat kerja staff desa serta kader dijadikan sebagai hal yang wajar, semisalnya waktu pelayanan di kantor desa yang tidak jalan maksimal.

Pada pemetaan potensi desa, acap kali desa lamban karena tidak dibekali dengan strategi pemetaan yang baik hingga data “perkiraan” menjadi hal lumrah yang kemudian tersadur dalam data potensi desa yang paten untuk kemdian dijadikan sebagai dokumen potensi desa. Padahal ukuran rencana program desa harus diwajibkan berpatokan pada potensi desa. Kekeliruan ini dibiarkan terus menerus maka ketimpangan program akan terus hadir beranak tiap tahunnya.

Baca juga  DPC Peradi Kabupaten Bogor Gandeng Diskominfo Sosialisasikan Hukum

Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa, pada BAB VI tentang Hak dan Kewajiban dan Masyarakat Desa di pasal 67 (1) Desa Berhak : (a) mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat, pasal 67 (2b) Kewajiban Desa yaitu meningkatkan kualitas hidup kehidupan masyarakat desa dan (2d) mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa.

Lansiran pasal ini seyogianya dijadikan sebagai patron wajib oleh pemerintah desa, bukan sebagai wujud garapan desa terhadap kebutuhan pembangunan infrastuktur desa dan mengabaikan potensi-potensi desa seperti potensi perempuan produktif, potensi lansia dan potensi remaja serta kelompok marginal lainnya di desa. Desa harus menyediakan ruang belajar bagi peningkatan kapasitas staff desa dan warga desanya. Pengembangan pemberdayaan masyarakat pada pasal 67 (2b) nyatanya hanya diporsikan untuk pemberdayaan staff desa dan BPD: contohnya di kedua desa Cibentang dan desa Ciseeng di kabupaten Bogor Jawa Barat (sumber dokumen ABPDes kedua desa tahun 2018). Contoh nyata pada kedua desa yakin sungguh berlaku pula untuk desa-desa lain di Indonesia. Suatu pusatan program desa yang semakin memisahkan warga desa dengan kewajiban desanya sesuai pasal 67 (2b) tersebut.

Baca juga  Prof Nunung Nuryartono Ungkap Pandangan Islam dalam Pertumbuhan Ekonomi Pertanian

Untuk mengukur dan menuju masyarakat desa yang sejahtera, semestinya pemerintah desa diarahkan secara baik  dalam mengidentifikasi potensi desa oleh pemerintah Kabupaten dan elemen sektor lokal yang bertugas pada pemaksimalan desa. Potensi perempuan dan remaja di desa sudah harus ikut serta memetakan potensi desa, tidak boleh berjalan dan hanya di arrange oleh pemerintah desa saja, harus ada kolaborasi bersama dari berbagai latar belakang warga desanya untuk ikut serta memetakan baik itu kelompok perempuan, lansia, disabilitas atau kelompok lainnya yang hidup dan menjadi warga asli di desa itu sendiri. Potensi desa menjadi bekal 5 tahun hingga 10 tahun untuk melihat prioritas aktivitas di desa. Ketika pemetaan potensi di landasi pada data nyata keadaan desa maka akan mudah melihat peluang pengembangan desa dan manusianya menuju kesejahteraan desa secara bersama-sama. Upaya sadar ini memang membutuhkan keseriusan secara bersama oleh semua pihak, bila tidak maka selamanya pembiaran warga yang miskin akan terus miskin dan yang tidak tahu apa-apa yang terus tinggal pada kelas yang sama.

Pada pasal 78 (1) Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.  Lansiran ini sudah sangat jelas namun tidak dipahami secara luas, karena kegampangan mengusulkan program  ketika musyarawah desa (MUSDES) dilakukan, pengembangan potensi lokal namun banyak yang terjadi adalah karena inisiasi warganya yang ingin berdaya secara mandiri (data hasil pendampingan di desa Cibentang – juli 2019). Wujud pengarustamaan dan keadilan sosial secara benar-benarnya perlu dijuangkan oleh kelompok perempuan secara gerilya ketika MUSDES berlangsung. Alih-alih didengar, perempuan dikomposisikan secara kepanitian sebagai petugas konsumsi, usulan perempuan dalam Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP) Desa dipandang sebagai “kewajaran” dan bukan prioritas, hingga banyak spanduk-spanduk desa tentang penggunaan APBDes yang angka besarannya terkuras pada pembangunan gedung-gedung mewah untuk (sebagian) warga yang bisa akses setiap hari. Kedepannya kita menginginkan kehidupan desa yang ramah dan berikan peluang sejahtera bagi setiap warga miskin di desa, perempuan di desa dan kelompok marginal lainnya di desa agar tujuan Undang—undang desa benar-benar hadir untuk mensejahterakan semua warga di desa bukan untuk kelompok elit desa. [] Laila Dwitari Tuasikal
(Mahasiswa Jurusan Perencanaan Wilayah Pascasarjana IPB University)

Baca juga  Bupati Bogor Harus Berani Optimalkan Potensi Desa Melalui UMKM
Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top