Kab. Bogor

Banjir Spanduk Parpol dan Bacaleg, Yusfitriadi Sentil Bawaslu

BOGOR-KITA.com, PARUNG – Jelang Pemilu serentak tahun 2024, sekarang ini sudah banyak terlihat berbagai spanduk, baliho, bendera dan media – media kampanye lain, baik itu berkaitan dengan partai politik, maupun kandidat calon anggota legislatif, DPD termasuk bakal calon presiden sudah terpasang di sejumlah lokasi.

Hal inipun menarik perhatian sejumlah masyarakat, termasuk pengamat politik di Kabupaten Bogor, Yusfitriadi. Ia melihat dan menganalisis banyaknya spanduk dan baliho itu dari 5 (lima) hal.

“Pertama, ini karena kelemahan regulasi dan relasi regulasi. Kalau kita mengacu pada tahapan kampanye, tentu saja sampai saat ini tahapan kampanye belum dimulai,” ungkap Yusfitriadi saat dihubungi media ini, Sabtu (15/7/2023).

Ia menambahkan, hal itu juga yang terus menjadi alasan klasik dan menjadi alibi Bawaslu, dimana adanya fenomena ini tidak bisa dijerat secara hukum melalui Undang – Undang Pemilu nomor 7 tahun 2017.

“Sehingga kondisi ini diistilahkan oleh penyelenggara pemilu dengan istilah sosialisasi. Namun dalam konteks partai politik, dengan mencatumkan logo dan nomor partai, apalagi kalau bukan disebut kampanye?,” cetus Kang Yus sapaan akrabnya.

Baca juga  Herd Immunity: Lagi, Kebijakan Ambigu Pemerintah Menangani Covid-19

Ia melanjutkan, ketika berbicara dalam konteks Bacaleg dan Bacapres, sulit rasanya kalau hanya disebut sekedar sosialisasi. Karena sudah jelas – jelas, ketika memasang berbagai alat peraga kampanye tentu dengan niat supaya masyarakat memilihnya alias kampanye.

“Di sinilah maksud saya kekosongan dan kelemahan regulasi di UU Pemilu. Terlebih jika Bawaslu tidak melakukan penindakan dengan alasan belum masuk tahapan pemilu, bagi saya tidak benar. Karena selain undang – undang pemilu, banyak undang-undang lain yang mengatur fenomena “mencuri start” kampanye tersebut,” papar Kang Yus.

Diantaranya seperti Undang – Undang lingkungan hidup, tata kota, ketertiban umum dan lain-lain. Seharusnya pihak Bawaslu bisa merelasikannya dengan UU itu, sehingga bisa merekomendasi hal itu kepada lembaga terkait untuk menindaknya.

Kedua, lanjut Kang Yus, “Ompong Gigi” Bawaslu. Ketika dihadapkan dengan atribut partai politik, Bacaleg terlebih Bacapres, Bawaslu tampak tidak punya keberanian untuk meresponnya terlebih memprosesnya secara hukum.

Baca juga  PDAM Kabupaten Bogor Salurkan 1.000 Paket Sembako

“Hal ini seakan menunjukkan kesan jika Bawaslu dan penyelenggara pemilu lainnya tidak lebih dari petugas partai politik. Sehingga tidak mempunyai keberanian untuk menindak berbagai indikasi kesalahan “majikannya,”‘ tandas pendiri Lembaga Vinus Maju ini.

Ketiga, sambung Kang Yus, jabatan penyelenggara pemilu itu tidak lebih sekedar jabatan dan kekuasaan. Hal ini disebabkan, kontruksi orientasi para penyelenggara pemilu hanya sekedar jabatan dan mendapatkan honor bulanan untuk menghidupi kehidupan.

“Tidak keluar orientasi memperkuat demokrasi melalui pemilu, memajukan politik yang sehat, adil dan berintegritas. Itu mungkin sangat jauh dari isi kepala mereka. Sehingga penyelenggara pemilu beraktifitas hanya sekedar administratif bukan penegakan hukum, terobosan dan gagasan konstruktif,” cetusnya.

Keempat, Orientasi kontestasi atribut bukan kontestasi gagasan. Bacaleg, Bacapres atau calon anggota DPD yang mengotori seluruh pelosok lingkungan dengan memasang baliho, spanduk dan semacamnya sudah bisa dipastikan mereka yang tidak pernah mempunyai gagasan, sehingga tidak pernah muncul di publik dan otomatis publik pun tidak mengenal sosoknya dan rekam jejaknya.

Baca juga  Perlunya Political Budgeting Khusus Anak di Masa Pandemi

“Satu-satunya cara mengenalkan kepada publik hanyalah dengan baliho, spanduk dan sebagainya. Karena tidak punya cara lain untuk memperkenalkannya. Bagaimana jadinya rakyat ini diwakili oleh orang yang tidak mempunyai gagasan dan legacy apapun di tengah – tengah masyarakat. Pada akhirnya hanya kekuasaan dan material yang dikejar dan rakyat akan ditinggalkan,” beber Kang Yus.

Yang kelima, Oligarki Partai Politik. Seakan-akan ketika partai politik yang melakukan kegiatan, semuanya minggir. Undang – Undang dan Peraturan ikut minggir, penegakan hukum dipinggirkan. Seolah-olah tidak ada yang akan berani berhadapan dengan partai politik, termasuk aparatur penegak hukum.

“Padahal jelas – jelas melanggar hukum, baik pada aspek perizinan, penempatan maupun merusak dan mengganggu lingkungan. Mana ada satpol PP yang berani mencabutnya. Seakan – akan hukum tunduk dihadapan oligarki politik kekuasaan,” pungkas Kang Yus. [] Fahry

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top