Guru Besar IPB Beberkan Manfaat Ilmu Faal dalam Mendukung Program Konservasi Satwa Liar
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Konservasi satwa liar menjadi salah satu isu penting di Indonesia, mengingat banyaknya ancaman yang dihadapi oleh satwa-satwa tersebut.
Beberapa di antaranya adalah pengurangan dan hilangnya habitat, perburuan ilegal, perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan kejadian penyakit.
Guru Besar IPB University Prof. Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas menegaskan bahwa peran ilmu faal (fisiologi) sangat penting dalam mendukung program konservasi ini.
“Satwa liar seringkali menjadi reservoir penyakit yang bisa menular ke manusia, atau dikenal sebagai penyakit zoonosis. Oleh karena itu, dalam pengelolaan konservasi satwa liar, dua hal utama yang harus diperhatikan adalah penurunan populasi dan potensi penularan penyakit,” kata Prof Aryani saat konferensi pers pra orasi ilmiah IPB University pada Rabu (5/6/2024).
Dikatakan Prof Aryani, Ilmu faal berperan penting dalam penelitian nilai baku faal satwa liar, yang merupakan standar untuk menentukan status kesehatan satwa.
Selain itu, lanjut Prof Aryani nilai ini dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti iklim dan pemanasan global, serta faktor internal seperti kejadian penyakit.
“Pemeriksaan nilai baku faal menjadi penting untuk memastikan satwa berada dalam zona nyaman mereka,” ujarnya.
Ia menjelaskan, bahwa penentuan nilai baku faal juga berfungsi sebagai sistem peringatan dini (early warning system) terhadap perubahan lingkungan yang disebabkan oleh pergeseran parameter iklim, yang dapat mengubah zona kenyamanan habitat bagi satwa liar.
“Perubahan suhu global, pola hujan yang tidak teratur, dan peningkatan intensitas bencana alam semuanya dapat mengganggu ekosistem satwa liar, mempengaruhi perilaku mereka termasuk pola migrasi dan pola berkembang biak,” jelasnya.
Selain itu, pemanasan global dan perilaku migrasi satwa liar antar pulau, benua, bahkan negara, meningkatkan potensi penyebaran penyakit zoonosis.
Dengan demikian, ahli ilmu faal berperan dalam upaya mitigasi dan adaptasi satwa liar untuk mencegah penyebaran penyakit ini.
Menurutnya, nilai baku faal berguna dalam pelestarian hewan agar mereka dapat beradaptasi dan hidup lebih lama dengan menjaga kesehatannya dan mencegah penyakit.
“Kebanyakan laporan penyakit pada satwa liar muncul setelah satwa tersebut mati. Oleh karena itu, penelitian nilai baku faal pada satwa yang masih hidup sangat penting,” terang Prof Aryani.
Ia pun memberikan contoh penelitian nilai baku faal pada dugong dan kelelawar. Nilai ini diukur melalui parameter hematologi (seperti gambaran darah dan saturasi oksigen), kimia darah (kadar glukosa darah), sistem kardiovaskuler, respirasi, laju metabolisme, serta kadar MDA (Malonaldehyde) dan ROS (Reactive Oxygen Species) dan morfofungsi organ.
Tak hanya itu, ia juga mempelajari pola perilaku dan migrasi kelelawar sebagai reservoir agen penyakit yang terkait dengan penyebaran penyakit zoonosis.
“Penelitian morfofungsi organ jantung, pembuluh darah, dan limpa kelelawar menunjukkan keterkaitan dengan kemampuan terbang dan sistem pertahanan tubuh mereka,” ucapnya.
Ia merekomendasikan beberapa langkah penting dalam mendukung program konservasi satwa liar di Indonesia. Pertama, upaya menekan penurunan populasi melalui penentuan nilai baku faal satwa. Kedua, perlu adanya upaya menekan potensi kejadian zoonosis pada migrasi satwa liar melalui tes cepat (rapid test) pada habitat atau area konservasi.
“Dengan penerapan ilmu faal, diharapkan program konservasi satwa liar di Indonesia dapat lebih efektif dalam melindungi keberlangsungan hidup satwa-satwa ini serta mencegah penyebaran penyakit yang bisa membahayakan manusia,” pungkasnya. [] Ricky