Sugeng Teguh Santoso, Advokat Plus
SUGENG TEGUH SANTOSO. Penampilan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini biasa saja. Jauh berbeda misalnya jika dibandingkan dengan koleganya, Hotman Paris Hutapea yang terkenal dengan penampilan glamour, modis, dan terbiasa menunggangi mobil mewah sekelas Lamborghini.
Tetapi secara cepat harus dikemukakan, penampilan pengacara Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dalam kasus sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi ini, tidak ada kaitannya dengan pundi-pundi keuangan, juga tidak ada kaitannya dengan pemahamannya terhadap trend busana mutakhir dan pernik pernik kemewahan lainnya. Penampilan sederhana Wakil Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini, lebih karena begitulah ia ingin menampilkan dirinya, kesederhanaan adalah karakter Sugeng Teguh Santoso.
Pendiri Serikat Pengacara Indonesia (SPI) yang sudah banyak merasakan manis dan pahitnya dunia kepengacaraan ini, memang pula agak unik. Keunikan pria yang sudah menangani ratusan kasus ini adalah, komitmennya yang sangat kuat untuk memperjuangkan hukum agar tidak hanya runcing ke bawah, tetapi juga ke atas.
Komitmen itu bukan sekadar hiasan dalam berkata-kata, tetapi dilaksanakan secara konkret di tengah-tengah kesibukannya yang luar biasa membela orang-orang berkantong tebal, Ayah dua anak ini masih menyisakan cukup waktu membela kaum papa. Jangan tanya soal bayaran. Sebaliknya Sugeng, rela merogoh koceknya. Jangan pula dikira karena gratis, ia lalu menahan-nahan keseriusan atau konsentrasinya ketika membela klien miskinnya, tidak. Sebaliknya seringkali ia harus meluangkan waktu melebihi waktu yang disisihkan untuk klien kantong tebalnya. Kalau pun pada saat bersamaan harus melayani klien kantong tebal, Sugeng biasanya mengontrol dari jauh penanganan yang dilakukan anak buahnya.
Itulah Sugeng Teguh Santoso. Komitmennya memperjuangkan hukum agar juga runcing ke atas, membuatnya menjadi salah satu dari sedikit advokat yang pantas menyandang gelar sebagai advokat plus seperti pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Adnan Buyung Nasution, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjajanto, dan beberapa yang lainnya.
Anak Tukang Becak
Sugeng Teguh Santoso lahir di Semarang, Jawa Tengah, 13 April 1966. Ayahnya bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan di Semarang, yang aktif sebagai aktivis buruh di perusahaan itu. Sedang ibunya seorang guru.
Sugeng sempat berpisah dengan ayahnya ketika usianya masih belum lima tahun. Ayahnya “menghilang” dari Semarang ketika terjadi pergolakan politik tahun 1965. Sebagaimana ditulis dalam banyak buku sejarah, pergolakan politik ketika itu berlangsung kejam menyusul pembunuhan tujuh jenderal yang dituding dilakukan oleh aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI).
Rezim Soeharto yang belakangan disebut Rezim Orde Baru, menjadi perpanjangan tangan Pemerintahan Amerika Serikat di Indonesia khususnya, dan di Asia Tenggara pada umumnya, dengan medan tugas melenyapkan kekuatan PKI yang ketika itu besar di Indonesia, sekaligus membantu Amerika Serikat membasmi meluasnya gerakan komunisme di Asia Tenggara.
Tidak tanggung-tanggung banyaknya manusia Indonesia yang dibunuh selama pergolakan itu. Menurut seorang Indonesiais dari Amerika, jumlah warga Indonesia yang terbunuh ketika itu mencapai lebih satu setengah juta jiwa. Bagaimana itu bisa terjadi? Tidak lain karena, rezim Soeharto melakukan politik hantam kromo. Tidak ada daftar nama pasti yang saja yang menjadi target operasi. Yang penting, semua orang yang dinilai terkait dengan Partai Komunis Indonesia, atau semua anggota organisasi yang ada kaitan dengan Partai Komunis Indonesia, lepas dari bagaimana kualitas atau derajat keterkaitannya, tanpa tedeng aling-aling menjadi target operasi.
Tidak heran kalau peristiwa itu, kini menjadi penyesalan sekaligus melahirkan kesedihan mendalam. Bagi beberapa keluarga korban ada yang berkembang menjadi luka politik, karena begitu banyak orang yang tidak tahu menahu tetapi kemudian terbunuh dalam pergolakan tahun 1965 itu.
Itu pula yang membuat istilah serikat buruh yang di luar negeri berkembang menjadi partai buruh dan berkuasa di banyak sejumlah di Eropa seperti di Inggris dan Australia, di Indonesia diganti menjadi serikat pekerja seperti yang dikenal sampai sekarang. Masyarakat Indonesia trauma mengidentifikasi diri sebagai buruh atau serikat buruh karena takut dicap berhaluan politik komunis dan disingkirkan dari tata pergaulan sehari-hari.
Tentu saja Sugeng kecil belum mengerti mengapa ayahnya menghilang ketika itu. Beberapa tahun setelah pergolakan politik mereda, Sugeng baru bertemu lagi ayahnya, setelah ibunya memboyong keluarga hijrah ke Jakarta. Ayahnya yang dulu pegawai menengah di sebuah perusahaan, didapatinya sudah menjadi tukang becak di kawasan di Mangga Dua, Jakarta Pusat. Di kawasan yang dikenal keras itu pula Sugeng menjalani masa kecilnya. Walau terbiasa berantem, tetapi Sugeng mulus melalui pendidikan tingkat sekolah dasar di SDN Pademangan Timur 04 Jakarta, mulus melalui pendidikan setingkat SMP di SMPN XLII Jakarta, mulus melalui pendidikan tingkat SMA di SMAN 15 Jakarta, bahkan berhasil masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan meraih gelar sarjana hukum.
Rumahnya Digusur
Ayahnya yang tukang becak dikenal gigih. Setapak demi setapak sang ayah dapat melewati masa-masa susah, berkembang dari seorang tukang becak, menjadi juragan becak dan memiliki bengkel sendiri. Sugeng kecil sering bermain di bengkel milik ayahnya itu. Tetapi, tak secuil pun pernah terlintas di benaknya menjadi juragan bengkel apalagi menjadi tukang becakj. Yang pernah terlintas di benaknya ketika masih hendak masuk ke bangku pendidikan tingkat SMA adalah menjadi tukang komputer, menjadi ahli komputer yang ketika itu masih merupakan hal baru di Indonesia, yang gengsinya tinggi, karena orang yang menguasai komputer di zaman tahun 80-an itu pasti disebut orang pintar.
Sugeng berkehendak, Tuhan yang menentukan. Tahun 1985, rumah orangtuanya di Mangga Dua, yang sudah ditempati selama 19 tahun, digusur paksa pemerintah dengan ganti rugi sebesar Rp2,5 juta. Alasannya, lahan rumah keluarganya dan tetangganya itu akan digunakan untuk pembangunan fasilitas umum (fasum) berupa kantor pemerintah. Kenyataannya malah dibangun fasilitas bisnis berupa pertokoan mewah. Kesal dan marah menghasut dalam pikiran. Tetapi apa daya, tak ada daya melawan.
Suatu saat, ketika amarah sudah mulai mereda, datang seorang pengacara bernama Sunarto Surodibroto. Pengacara ini menawarkan jasa hukum memperjuangkan hak atas tanah orangtuanya yang digusur paksa. Sugeng terpesona dengan kegigihan Sunarto membela warga Mangga Dua itu. Langkah-langkah pengacara itu menusuk dan menguasai alam pemikiran Sugeng yang ketika itu masih duduk di bangku SMA.Walau demikian, sudah barang tentu Sugeng belum mengerti sepenuhnya seperti apa peran yang dimainkan pengacara dalam dunia penegakan hukum. Logikanya ketika itu sederhana, bahwa pengacara itu kerjanya membela orang miskin seperti dirinya. “Ternyata tugas advokat membela hak-hak rakyat yang terpinggirkan,” tukas Sugeng mengenang.
Sejak itu, Sugeng seperti kecantol dunia pengacara. Lulus SMA, Sugeng tak pikir panjang lagi, langsung iku seleksi penerimaan mahasiswa baru(sipenmaru) dan memilih Fakultas Hukum Universitas Indonesia. “Saya dulu termotivasi menjadi advokat karena ingin membela hak – hak rakyat tertindas. Ada semacam ‘dendam’ pada peristiwa penggusuran yang menimpa keluarga dan warga di sekitar rumah saya. Dalam hati saya tertanam siapa yang bersedia membela hak – hak rakyat yang diperlakukan tidak adil,” kenang Sugeng lagi.
Setelah duduk di bangku Fakultas Hukum Universitas Indonesia, muncul wawasan baru, bahwa sarjana hukum itu memiliki peluang kerja di banyak tempat. Antara lain bisa jadi jaksa, bisa jadi hakim dan lainnya. Tetapi, peristiwa penggusuran yang dialaminya, ditambah kesannya yang mendalam terhadap pengacara Sunarto Surodibroto yang membela keluarganya, membuat Sugeng terpatri memakai kacamata kuda. Ia tak lagi plintat plintut, sasarannya satu dan lurus ke depan, yakni menjadi pengacara, Maka sambil kuliah Sugeng sudah mempersiapkan diri menjadi pengacara, Antara lain magang di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan ikut mendirikan sebuah kantor pengacara bersama rekannya yang sudah lebih dulu menjadi pengacara. Lulus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sugeng langsung memroses keinginannya menjadi pengacara, sampai akhirnya menjadi pengacara dengan legalitas resmi dan sah.
Pengacara Papan Atas
Kini Sugeng Teguh Santoso tercatatat sebagai salah seorang pengacara papan atas di Indonesia, dengan kantor pengacara atas namanya sendiri yakni, Sugeng Teguh Santoso dan Rekan. Dari segi organisasi, Sugeng bersama Trimedya Panjaitan tercatat sebagai pendiri Serikat Pengacara Indonesia (SPI) dan juga Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang belakangan, personelnya ada yang masuk ke dalam struktur Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) termasuk Sugeng dan Trimedya Panjaitan.
Di organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Sugeng duduk sebagai Wakil Ketua Umum sampai sekarang. Sebagai Wakil Ketua Umum Peradi, Sugeng adalah salah satu yang bertanggung jawab terhadap penegakan etik advokat, sebuah tanggung jawab yang tidak ringan karena harus berhadapan dengan ratusan advokat termasuk pengacara yang lebih senior darinya.
Dari segi klien, sudah ratusan kasus yang ditangani Sugeng. Tidak sedikit orang berkantong. Sebut misalnya pengusaha perminyakan, dan lain sebagainya. Klien dari kalangan polisi juga banyak. Sebut misalnya Megawati Soekarnoputri yang didampinginya ketika bersengketa di Mahkamah Konstitusi dalam kasus pemilihan presiden tahun 2009 berhadapan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sugeng juga menjadi tim pengacara Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) menghadapi gugatan calon Presiden Prabowo Subianto di Mahkamah Konstisusi. “Setelah dijalani,prosesi advokat ternyata, selain membela dapat hak–hak rakyat, juga sebuah pekerjaan yang menyenangkan,” kata Sugeng.
Tetapi jangan dikira apa yang dicapai sekarang ini berlangsung semudah yang dibayangkan, tidak. Pada awalnya, berat, jalan terjal didaki, jalan menurun tetapi licin menjadi bagian perjalanan karirnya.
Ketika klien masih terbatas, Sugeng bahkan sempat menerima pekerjaan sebagai debt-collector. Pekerjaan penuh risiko itu nyaris membuatnya tamat. “Saya dan anak buah saya nyaris ditembak oleh debitur asal Kalimantan,” kata Sugeng seraya menambahkan debiturnya itu sempat terpilih menjadi anggota MPR RI Utusan Daerah.
Kini, klien datang sendiri. Sebagian cukup ditangani rekannya saja Sugeng sendiri, tampak banyak meluangkan waktu di Bogor. Selain mengurus kebunnya yang luas, yang merupakan hobi baginya, Sugeng juga mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Keadailan Bogor Raya (LBH KBR). Bersama LBH KBR, Sugeng menangani sejumlah kasus yang nota bene semuanya justru menguras koceknya. “Tetapi saya iklas dan senang,” katanya.
Salah satu yang ditangani Sugeng saat ini di Bogor adalah keluhan rakyat Kecamatan Pamijahan terkait PT Chevron Geothermal Salak. Awalnya, kata Sugeng, warga Pamijahan mengeluh dan menuding PT Chevron Geothermal sebagai penyebab merosotnya debit air yang mengalir ke persawahan warga dan sungai yang menjadi sumber air untuk kebutuhan sehari-hari warga. Setelah diundang oleh PT Chevron melihat bendungan yang dituding warga sebagai penyebab, Sugeng malah menemukan hal lain, yakni adanya pembatasan bagi warga melintas kawasan yang dikuasai PT Chevron. “Saya menduga ada pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Karena itu saya mendesak pihak pemerintah mengaudit HAM Chevron,” kata Sugeng.
Sebelumnya LBH KBR membela pedagang dan lain sebagainya. Sedemikian rupa kepedulian Sugeng terhadap kepentingan orang miskin, membuktikan komitmennya yang ingin menegakkan hukum tidak hanya runcing ke atas tetapi juga ke bawah. Komitmen itu pula yang membuatnya memperoleh julukan sebagai salah seorang pengacara plus. = PBS
BIO-DATA
Nama : SUGENG TEGUH SANTOSO
Tempat/Tgl lahir : Semarang, 13 April 1966
PENDIDIKAN
1979 : SDN Pademangan Timur 04 Jakarta
1982 : SMPN XLII Jakarta
1985 : SMAN 15 Jakarta
1991 : Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Pengalaman
1988-1991 : Magang Sebagai Voluntair Lawyer di LBH Jakarta
1992-1993 : Mendirikan Kantor Hukum SH’S & Partners
1993-1998 : Ikut Mendirikan Kantor Hukum Santoso & Partners
1988 : Ikut Mendirikan Kantor Hukum Pangaribuan, Pondaag & Santoso
2000 : Membagi Waktu Antara Profesi Advokat Dan Usaha Tani
2013 : Mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Keadailan Bogor Raya (LBH KBR)
Organisasi
Pendiri Dan Deputi Bidang Advokasi Dan Bantuan Hukum Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia (PBHI) 1997-1999
-Pendiri Dan Sekretaris Jenderal Serikat Pengacara Indonesia, 1997 sampai sekarang
-Sekretaris Majelis PBHI Wilayah Jakarta, 2001-2004.
-Anggota Tim Pembela Demokrasi Indonesia(TPDI), 1997 – sekarang)
-Anggota Kelompok Kerja Hukum Persatuan Gereja Indonesia(PGI)
-Sekretaris Majelis PBHI Wilayah Jakarta, 2001-2004
-Tim Advokasi Tim Kampanye Mega-Hasyim(TKMH) mendampingi Megawati Soekarnoputri dan KH. Hasyim Muzadi di Mahkamah Konstitusi 2004
-Wakil Bendahara Umum Perhimpunan Advokat Indonesia(Peradi)
-Ketua Bidang Analisa Kebijakan dan Advokasi Dewan Koperasi Indonesia(Dekopin), 2004-2009
Penghargaan
Penghargaan “Anugerah Citra Abadi Pembagunan Indonesia” 2001dari Yayasan Pesona Indonesia
-Penghargaan dari DPP PDI, pada 1993-1998 sebagai TPDI 1997
Publikasi
Menulis berbagai artikel tentang hukum di berbagai sejumlah media massa
-Mengasuh Rubrik Konsultasi Hukum Pada Majalah Kapital
-Mengasuh kolom hukum di Harian Metropolitan Bogor
-Menjadi nara sumber sejumlah media cetak, media elektronik dan media online.