Kab. Bogor

Revisi UU ITE dalam Perspektif Mahasiswa

Ajeng Fakhira Helmelia dan Dea Nur Eriza

Oleh: Ajeng Fakhira Helmelia dan Dea Nur Eriza

(Mahasiswa Departemen Manajemen IPB University)

BOGOR-KITA.com, DRAMAGA – Segala kemajuan dan pembaharuan teknologi pada era globalisasi mampu mengintegrasikan semua media informasi. Tentunya hal ini menjadikan laju pertukaran informasi turut berkembang mengikuti perubahan yang terjadi.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Hootsuite pada tahun 2020, terdapat sebanyak 175,4 juta pengguna internet dan 160 juta pengguna aktif sosial media di Indonesia.

Data tersebut mengalami kenaikan dibandingkan pada tahun 2019, di mana sebelumnya terdapat masing-masing 150 juta pengguna internet dan pengguna aktif sosial media di Indonesia. Perkembangan yang pesat tersebut menjadikan pertukaran informasi melalui media komunikasi menjadi sulit untuk diawasi sehingga seringkali terjadi penyalahgunaan media komunikasi dan informasi demi kepentingan pribadi.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah memandang Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sangat diperlukan bagi Negara Indonesia dalam mengatur pertukaran informasi dan transaksi elektronik di era yang serba digital ini.

UU ITE sendiri pertama kali disahkan pada tahun 2008 oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Seperti yang termuat dalam CNN Indonesia (2021), secara umum UU ITE dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai tindakan yang dilarang.

Bagian pertama, terkait e-commerce yang mengatur mengenai marketplace. Selanjutnya di bagian kedua mengatur tentang tindak pidana teknologi informasi dengan sub bagian mulai dari konten ilegal, unggahan bernuansa SARA, kebencian, hoaks, penipuan, pornografi, judi, hingga pencemaran nama baik.

Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat untuk bisa lebih aktif dalam melakukan kritik terhadap kinerja pemerintah pada 8 Februari 2021 membuat UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) kembali ramai diperbincangkan.

Baca juga  Mojang Jajaka Kabupaten Bogor Harus Melek Teknologi

Pernyataan Presiden Jokowi tersebut akhirnya menimbulkan reaksi pro kontra dari berbagai kalangan. Bagaimana tidak? Selama ini ketika masyarakat berupaya mengkritisi pejabat atau suatu instansi, UU ITE seolah menjadi tameng untuk berlindung dibalik kritikan tersebut sehinga hal ini berujung pada  desakan masyarakat kepada pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU ITE, terutama terhadap pasal yang dianggap “karet”.

Pasal ”karet” tersebut dianggap masyarakat dan beberapa pengamat politik sebagai pasal yang memiliki makna multitafsir sehingga seringkali pasal ini menyeret korban pelaporan yang salah sasaran.

Pasal-pasal yang dianggap “karet” menurut catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), terdapat pada pasal 27 ayat (1) dan 28 ayat (2).

Pasal 27 ayat (1) berisi larangan bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Permasalahannya terdapat pada kata kesusilaan. Kata kesusilaan di sini dianggap memiliki makna yang luas dan tidak jelas dalam hal yang seperti apa sehingga kerap kali mengalami salah pemaknaan dan salah sasaran.

Pasal 28 ayat (2) memuat larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Baca juga  Kontingen Garut Promosikan Dodol Garut di Pembukaan PORDA Jabar XIII

Contoh kasus salah sasaran dari UU ITE adalah seperti yang termuat dalam CNN Indonesia (14/11/2018), UU ITE sempat menuai kontroversi akibat menyeret Baiq Nuril, guru asal Mataram yang dipenjara akibat merekam percakapan asusila dari kepala sekolah yang kemudian Baiq Nuril dilaporkan dan dikenakan pelanggaran Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kasus yang menyeret Baiq Nuril hanya salah satu dari sekian banyak kasus yang merupakan bentuk pelaporan salah sasaran akibat pasal “karet” yang terdapat dalam UU ITE.

Kemudian, contoh kasus lain terjadi belum lama ini, yaitu pada pertengahan bulan Februari lalu. Dilansir dari berita Kompas yang dirilis pada 27 Februari 2021, seorang pelajar bernama Sebastianus Naitili asal Nusa Tenggara Timur (NTT) dijerat UU ITE akibat membeberkan dugaan pungli (pungutan liar) di sosial media.

Sebastianus menduga salah satu guru adiknya yang berinisial WUN melakukan aksi pungli pada uang beasiswa PIP di SD Negeri Bestobe sebesar Rp25.000.

Mengetahui hal tersebut guru berinisial WUN tidak terima dan melaporkan Sebastianus sebagai pelaku pencemaran nama baik dan polisi menetapkan Sebastianus sebagai tersangka.

Namun Sebastianus mendapatkan pembelaan langsung dari 8 pengacara karena merasa tidak terima jika Sebastianus dianggap sebagai tersangka.

Akhirnya kasus ini diselesaikan melalui penerapan restorative justice dengan mediasi antara pelapor dan terlapor. Kedua belah pihak telah berdamai setelah dimediasi.

Dari kasus tersebut rasanya UU ITE terkesan seperti tameng bagi terungkapnya kebenaran. Aksi pengungkapan kejahatan oleh Satianus malah dianggap sebagai pencemaran nama baik.

Baca juga  APBD 2021 Sudah Ditetapkan, Ini Arahan Wabup Iwan Setiawan

Kasus ini sudah sangat memperjelas bahwa UU ITE kerap kali salah sasaran dan justru menjadi boomerang atas terungkapnya kebenaran dan menjadi salah satu penyebab kebenaran kerap kali justru terbungkam.

Masyarakat merasa seringkali dirampas haknya untuk berekspresi di ruang publik serta menjadi takut dan berhati-hati dalam mengeluarkan pendapat di muka umum akibat dari makna multitafsir pada pasal karet UU ITE, sehingga perlunya kejelasan maksud dari pasal yang dianggap “karet” tersebut melalui revisi UU ITE.

Melakukan revisi terhadap UU ITE memang sudah selayaknya dilakukan dengan memperjelas batasan-batasan seperti apa yang bisa dianggap sebagai tersangka melalui UU ITE, kasus seperti apa yang layak untuk dikatakan sebagai pencemaran nama baik sehingga bisa dilindungi oleh UU ITE. Melalui revisi UU ITE ini pula harapannya pasal yang dianggap multitafsir tidak lagi salah sasaran dan menimbulkan korban, sehingga masyarakat bisa merasa nyaman menyampaikan aspirasinya yang tentu tetap dilakukan dan diatur dengan batasan yang jelas.

Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh Lucius seperti yang termuat dalam Kompas (18/02/2021), revisi UU ITE memiliki peluang untuk dilakukan tahun ini karena DPR belum mengesahkan 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sudah disepakati dalam Prolegnas Prioritas. Kesempatan revisi UU ITE semakin terlihat jika dilihat dari mayoritas fraksi di DPR dan pemerintah yang sepakat untuk mengeluarkan RUU Pemilu dari daftar Prolegnas Prioritas 2021 yang kemungkinan bisa saja digantikan dengan revisi UU ITE. Saat ini revisi UU ITE masuk dalam 248 RUU Prolegnas 2020-2024. []

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top