Nasional

Puzzle Demokrasi Kita

R Muhammad Mihradi SH MH

Oleh:

R Muhammad Mihradi SH MH

 (Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif

& Dosen FH Universitas Pakuan, Bogor)

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Sudah menjadi informasi umum, di tahun 2020, terdapat penurunan mutu demokrasi di Indonesia. Mari kita menatapnya melalui data. Sesuai adagium: data adalah suci. Maka data bisa menjadi kompas situasi demokrasi.

Pertama, secara global, demokrasi mengalami resesi. Freedom House melaporkan, 25 dari 45 negara demokrasi mapan mengalami erosi demokrasi berturut-turut selama 14 tahun. Beragam sebutannya untuk gejala ini. Ada sebutan regresi demokrasi, resesi demokrasi dan ada pula menyebutnya dekonsolidasi demokrasi. Namun, maksudnya sama. Longsornya demokrasi. Uniknya, penyebab resesi demokrasi adalah elite politik yang terpilih melalui pemilu demokratis seperti pada kasus Donald Trump di Amerika Serikat.

Kedua, Indonesia mengalami hal serupa. Freedom House mencatat, sejak 2014 sampai saat ini (2020), Indonesia yang semula bebas (free) merosot ke partly free (sebagian bebas). Raport merahnya di kebebasan berkumpul, kebebasan beragama dan korupsi yang tidak mereda.    Survey nasional dari lembaga Indikator Politik Indonesia menunjukan, dari responden yang disurvey, mayoritas publik (76 persen) warga makin takut menyuarakan pendapat. Makin sulit demonstrasi dan protes (78 persen). Serta aparat dinilai semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politik dengan pemerintah (57, 7 persen). Yang menarik, secara umum, responden yang menilai semakin buruk kebebasan sipil politik adalah pemilih Prabowo-Sandi pada pemilihan presiden (pilpres) 2019. Sedangkan bagi pemilih Jokowi Maruf berpandangan sebaliknya. Responden pemilih Jokowi-Maruf tidak menilai memburuk kebebasan sipil politik (Burhanudin Muhtadi, 28 Desember 2020, https://mediaindonesia.com/kolom-pakar/372089/polarisasi-dan-ancaman-resesi-demokrasi).

Baca juga  Milad 29 Tahun Dompet Dhuafa, Parni Hadi: Kita Renungkan Melalui Maturnuwun, Mohon Ampun dan Mohon Dituntun

Polarisasi dan Demokrasi Substansial

Data terpapar di atas menunjukkan, secara umum, enerji demokrasi di global dan termasuk kita, mengalami pelemahan. Celakanya, itu berakar tidak dari suatu fase pemerintahan otoritarian, namun lahir dari elite politik hasil pemilihan demokratis. Jadi ironis. Selain itu, sinyal tersebut menunjukkan bahwa ada kecenderungan terlalu berpuas diri pada demokrasi prosedural yang menekankan kesehatan pemilihan umum. Abai dari soal pelembagaan nilai dan norma demokrasi yang seharusnya mengakar.

Selain itu, tidak dapat dinafikan terjadi polarisasi. Kasus Indonesia, misalnya, menurut Burhanudin Muhtadi (28 Desember 2020 https://mediaindonesia.com/kolom-pakar/372089/polarisasi-dan-ancaman-resesi-demokrasi), polarisasi politik di publik tidak lantas selesai dengan bergabungnya Prabowo-Sandi pada kabinet Jokowi-Maruf. Namun tetap bermukim di ruang publik. Bisa berupa keluhan soal keadilan, kurang optimalnya dialog antar berbeda perspektif atau pendekatan yang terlalu menekankan faktor stabilitas menjadi pencetus. Ini yang tentu harus diperbaiki oleh semua pihak. Apalagi ditambah dengan era post-truth di mana kebenaran kerap tidak didasari fakta. Namun oleh ikatan emosi meski tidak valid. Hoax menjadi hal yang menjamur di situasi seperti itu.

Dalam kondisi kompleks seperti itu, maka pilihan penguatan demokrasi substansial menjadi niscaya. Bagi Donny Gahral Adian (2006:17-21), demokrasi substansial hendak memapankan tiga nilai pokok yaitu: kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Kebebasan dilacak dari indikator mengeluarkan pendapat dan partisipasi politik yang terjamin. Kesetaraan menyangkut akses semua warga mempengaruhi proses politik. Dan keadilan, menjamin persamaan perlakuan kesempatan.

Baca juga  5 Bupati di Jabar Gandeng IPB Kembangkan Data Desa Presisi

Tentu menguatkan demokrasi substansial memerlukan kesamaan visi yaitu mengedukasi baik pemerintah dan publik untuk melembagakan soal nilai dan norma demokrasi. Nilai berkaitan dengan hal-hal idiil demokrasi menjadi bahasa interaksi seperti soal kebebasan, kesetaraan dan keadilan tadi. Sementara norma, memastikan, nilai-nilai demokrasi ada diakomodasi di pelembagaan norma, khususnya norma hukum. Sehingga, misal, ketika ada warga yang menyimpang dari aturan, maka optimalisasi penegakan hukum yang fair, yang berujung pada peradilan independen dan akuntabel wajib menjadi identitas kehidupan demokrasi yang sehat.

Harapan

Harapan, pasca 2020, terkait demokrasi dipastikan masih ada. Pertama, Indonesia punya sejarah panjang bertahan sebagai suatu bangsa. Mempunyai keuletan dan ketangguhan menghadapi pelbagai marabahaya. Ini sudah teruji. Jadi, dipastikan terdapat upaya dari semua pihak untuk membunyikan demokrasi sebagai sarana dan tujuan kehidupan bernegara.

Kedua, publik semakin cerdas menyikapi pelbagai fenomena. Seperti maraknya politik uang kerap kali dihukum oleh pemilih. Diterima uangnya. Namun tidak dipilih orangnya. Tidak sedikit dalam pilkada petahana yang seharusnya di atas kertas memenangkan suara, namun nyatanya kandas.

Ketiga, tidak semua wilayah kita, berdasarkan survey disertasi Burhanudin Muhtadi, yang permisif terhadap politik uang. Warga yang menjadi responden di luar Jawa menunjukkan kecenderungan sebesar 31 persen yang menilai politik uang kewajaran. selebihnya menolak. Bahkan di DKI Jakarta, hanya 24,7 persen warga ibu kota yang permisif pada politik uang. Selebihnya menolak (Burhanudin Muhtadi, Kuasa Uang, 2020).

Baca juga  1 Warga Subang Terjebak di Wuhan China

Keempat, dilakukannya Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus suap korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap beberapa menteri sepanjang tahun 2020 memiliki harapan adanya keseriusan pemberantasan korupsi. Tentu hal ini akan lebih menguat jika ada perbaikan di regulasi berupa pemberian sanksi keras, tegas dan terukur bagi partai politik yang pengurusnya terlibat korupsi serta terbukti adanya aliran dana kepada partai dimaksud. Ini untuk memberikan efek jera dan menghadirkan peran negara sesuai konteksnya. Gagasan tersebut mereplikasi  tindakan tegas serupa yang selama ini telah ditunjukan negara pada organisasi masyarakat (ormas) yang dinilai meresahkan publik.

Berbagai harapan di atas akan menjadi mimpi buruk bila tidak ada ikhtiar semua pihak untuk memastikan keutuhan demokrasi. Jangan sampai demokrasi menjadi puzzle. Hanya sebagian diterima. Lainnya ditolak. Seperti pada gejala peminggiran demokrasi substansial dibandingkan demokrasi prosedural. Hal ini menjadi tantangan semua pihak, khususnya negara, agar dapat meningkatkan kapasitas kepercayaan publik melalui optimalisasi distribusi keadilan, kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan bagi warganya terpenuhi.[]

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top