OPINI: Jokowi di Ambang Jebakan
Oleh : Lasmi Purnawati*)
BOGOR-KITA.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, muncul di ruang publik menyampaikan hasil big data yang diklaim menunjukkan banyak pemilih Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan PDIP mendukung penundaan pemilu 2024. Entah mengapa isu ini diangkat ke permukaan setelah Komisi Pemilihan Umum menetapkan jadwal pemilu 2024.
Sungguh memprihatinkan melihat sepak terjang elite partai dan penguasa akhir-akhir ini, gaduh tak berkesudahan ingin memperpanjang kekuasaan. Perilaku elite penguasa dan partai ini, mengingatkan publik pada politik ala Machiavelli. Bagaimana kekuasaan direbut dan dipertahankan dengan segala cara, termasuk menggunakan trik-trik kotor, tipu muslihat, licik, kebohongan, dan bahkan brutal. Demi kekuasaan, moral dan etika diabaikan.
Elite politik sibuk mempertahankan kekuasaannya. Perilakunya menggambarkan betapa kekuasaan menjadi candu. Kekuasaan memang melenakan dan memabukkan, sehingga siapapun yang menikmatinya menjadi lupa diri, hilang kesadaran, dan akal sehat. Candu kekuasaan pun melahirkan keserakahan, ingin melahap semua sumber daya tanpa sisa dan tak pernah merasa puas. Sifat tamak menjadi akar politik transaksional, perselingkuhan antara penguasa dan pemodal. Benarlah pernyataan Lord Acton bahwa, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut). Yang paling mengerikan adalah korupsi kekuasaan dalam bentuk kebijakan, sebab kebijakan yang salah dapat meruntuhkan sebuah bangsa.
Konsistensi Jokowi
Sejak awal, Jokowi sudah memberikan pernyataan bahwa ia tidak punya niat dan tidak berminat untuk melanjutkan atau meneruskan kekuasaannya untuk 3 periode. Ini menandakan bahwa Jokowi paham betul dan sudah memperkirakan di periode kedua akan ada pihak-pihak yang mendorong untuk memperpanjang masa jabatannya 3 tahun atau menjadi 3 periode. Karena kekuasaan itu adalah kenikmatan, dan ada pihak-pihak yang berusaha melanggengkan kekuasaannya.
Pada masa periode kedua, pemerintahan Jokowi menghadapi bencana berat yaitu pandemi covid 19. Seluruh energi pemerintahan dihabiskan atau dicurahkan untuk mengatasi dampak pandemi tersebut. Kebijakan pemerintah mengatasi dampak pandemi relatif tidak mendapat penolakan masyarakat, meskipun agenda-agenda pembangunan yang dijanjikan pada periode kedua pemerintahan Jokowi tidak berjalan.
Mirisnya, peristiwa pandemi justru dimanfaatkan oleh sejumlah pihak yang dengan mudahnya mengatasnamakan rakyat, dan bencana pandemi dijadikan justifikasi untuk mendorong Jokowi memperpanjang masa jabatannya. Alasanya, masyarakat tidak ingin anggaran yang begitu besar yaitu sekitar 76 triliun dipakai hanya untuk menyelenggarakan pemilu, sementara kondisi ekonomi masyarakat sedang susah.
Argumentasi ini sebenarnya jebakan bagi Jokowi, seolah-olah motivasi usulan penundaan pemilu atau presiden 3 periode betul untuk kepentingan rakyat, padahal hanya untuk mengamankan kepentingan bisnis. Kredibilitas Jokowi digadaikan oleh segelintir elite. Persoalan pandemi justru dimanfaatkan kelompok oligarki yang memainkan praktek-praktek bisnis yang menyusahkan rakyat. Fenomena paling nyata adalah terjadinya kelangkaan minyak goreng yang tidak ditangani secara cepat seperti pada masa periode pertama, dan terkesan dibiarkan berlarut-larut. Ini menandakan semakin lemahnya kekuasaan Jokowi mengontrol pergerakan politik para pembantunya yang mulai kehilangan konsentrasi menjalankan pemerintahan dan sibuk dengan agenda politik masing-masing.
Konsistensi politik Jokowi sedang diuji, apakah DPR MPR akan memproses usulan perpanjangan masa jabatan presiden dengan mengamandemen konstitusi. Jika proses politik tersebut terjadi, itu artinya posisi Jokowi secara pribadi dan politik lemah, dan hanya dimanfaatkan oleh kepentingan elite politik dan kapitalis di sekitarnya untuk melanggengkan kekuasaan oligarki. Andai Jokowi memilih menyelamatkan demokrasi di Indonesia, ia akan konsisten pada ucapannya. Meskipun DPR MPR melakukan proses politik mengubah konstitusi, Jokowi tetap memegang kata-katanya tidak bersedia memperpanjang masa jabatan dan memberikan kesempatan pada calon pemimpin yang baru yang bisa melanjutkan tatanan demokrasi yang telah dibangun selama dua tahun masa pemerintahannya.
Jika pada akhirnya Jokowi menolak memperpanjang masa jabatannya, ini menjadi catatan sejarah yang baik bagi proses demokrasi. Penolakan ini akan memperkuat citra Jokowi sebagai negarawan sejati di tengah kuatnya kepentingan oligarki. Sebaliknya, jika Jokowi menerima, maka akan menimbulkan resistensi dan penolakan yang kuat di masyarakat karena ketidakkonsistenan antara pernyataan dan tindakannya yang bisa juga disebut melakukan kebohongan publik.
Harapannya Presiden Jokowi tidak tergoda dengan manuver para elit politik dan tetap tegak berdiri memberikan teladan kepemimpinan yang baik bagi generasi mendatang.
*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Pena Demokrasi Indonesia