Nasional

Gisel dan Pengakuan dalam Tindak Pidana

Fatiatulo Lazira SH

Oleh: Fatiatulo Lazira SH

Advokat dan Konsultan Hukum

BOGOR-KITA.com, JAKARTA – Artis berinisial GA (Perempuan) resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus video porno yang ramai di media sosial beberapa waktu lalu. Selain GA, pemeran laki-laki dalam video tersebut berinisial MYD, turut ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya disangkakan melanggar ketentuan Pasal 4 Ayat 1 jo Pasal 29 atau Pasal 8 Undang-Undang Nomor 44 tentang pornografi (selanjutnya disebut “UU Pornografi”).

“Sudah disampaikan dua orang ini mengakui bahwa betul-betul dalam video yang ada dan beredar di medsos kemarin kedua-duanya adalah GA dan laki-laki MYD,” demikian kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus kepada wartawan, Selasa (29/12/2020).

Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi berbunyi: “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

a.persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

b.kekerasan seksual;

c.masturbasi atau onani;

d.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

e.alat kelamin; atau

f.pornografi anak.

Pasal 8 UU Pornografi berbunyi: “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 29 UU Pornografi berbunyi: “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Yang menarik perhatian penulis, bukan soal perbuatan maupun pidana dan ancaman pidana yang disangkakan ke GA dan MYD, melainkan kata “pengakuan” jika dihubungkan dengan keterpenuhan alat bukti yang sah dalam sebuah tindak pidana. Penyidik tentu sudah memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti untuk dapat menetapkan GA dan MYD sebagai tersangka dalam kasus video pornografi tersebut. Namun, bagaimana persepsi publik terhadap “pengakuan” dalam sebuah tindak pidana? Mari kita ulas!

Baca juga  Elly Rachmat Yasin Ajak Milenial Jalankan 4 Pilar Bangsa

Jenis-jenis alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), antara lain:

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.

Untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam sebuah tindak pidana, maka harus dipenuhi minimal 2 (dua) bukti permulaan yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut. Hal ini perkuat dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014.

Senada dengan itu, jika sebuah tindak pidana sudah dilimpahkan ke pengadilan, maka Pasal 183 KUHAP mensyaratkan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada seorang apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sistem ini dikenal sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wetteijk stelsel), dimana minimal 2 (dua) alat bukti yang meyakinkan hakim bahwa seseorang bersalah. Dengan demikian, jika sekalipun terdapat 5 (lima) alat bukti, namun jika tidak menyakinkan, maka hakim tidak boleh menjatuhkan putusan bersalah kepada seseorang.

Pengakuan Dalam Hukum Acara Modern

Pengakuan hanyalah bagian dari keterangan terdakwa. Kadang, pengakuan dianggap sedemikian penting untuk membuktikan kebersalahan seseorang, jika perlu dipaksa, diancam, diintimidasi atau dianiaya. Semata-semata untuk membuat pengakuan. Cara yang seperti itu, merupakan konsekuensi dari proses penegakan hukum yang menggunakan metode inquisitoir.

Proses hukum dengan metode inquisitoir menganut pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting, sehingga tersangka/terdakwa dalam model ini dijadikan sebagai objek. Dalam pemeriksaan, pemeriksa berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Kadang–kadang untuk mencapai maksud tersebut, pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan, ancaman/ tekanan dan intimidasi.

Baca juga  Komisi IX DPR RI: Angka Kematian Ibu di Indonesia Memprihatinkan

Proses hukum dimulai dengan pengakuan tersangka yang dalam prosesnya disertai kekerasan, lalu kemudian mencari alat-alat bukti lain untuk dicocok-cocokan, adalah proses hukum peninggalan kolonial Belanda masa HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) yang bertentangan secara diameteral dengan metode penegakan hukum modern yang menganut sistem accusatoir, dimana seorang tersangka/ terdakwa yang diperiksa bukan menjadi obyek tetapi sebagai subyek, sehingga setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/ atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (asas praduga tak bersalah alias presumption of innocent).

Dalam hukum modern yang menganut sistem accusatoir wajib menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) dan prosedur hukum acara yang berlaku. Sementara pada sistem inquisitoir, jaminan perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa belum memadai, artinya sering terjadi pelanggaran hak asasi dalam bentuk kekerasan dan penyiksaan pada tahap pemeriksaan penyidikan. Tidak ada jaminan bantuan hukum. Semua itu dilakukan semata-mata untuk mendapatkan pengakuan.

Salah satu yang mencirikan sistem accusatoir dalam KUHAP, dapat kita lihat pada Pasal 52 KUHAP yang mengatur: “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”. Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa “Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan. dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa. Apabila saat diperiksa penyidik, tersangka mengalami penyiksaan atau tekanan sehingga dengan terpaksa memberikan keterangan yang tidak benar di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), maka tersangka/terdakwa bisa mencabut (menyatakan tidak benar) keterangan dalam BAP tersebut di persidangan dengan menyampaikan alasan disiksa dan ditekan.

Baca juga  Bertemu PM Australia, Presiden Jokowi Bahas Vaksinasi Hingga Pembentukan VCL

Akan tetapi, meskipun tanpa siksaan dan tekanan, kadang dalam praktiknya kita bisa menemukan seseorang yang memberikan pengakuan melakukan tindak pidana. Namun penegak hukum tidak boleh yakin begitu saja. Kenapa? Karena tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran materil, yang berarti kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum secara jujur dan dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindakan pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Konsekuensi hukum untuk mencari dan menemukan kebenaran materil, meskipun seorang terdakwa dalam suatu perkara pidana mengaku telah melakukan tindak pidana, pengakuan tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagaimana telah penulis uraikan di atas.

Oleh karena itu, telah jelas bahwa meskipun seseorang mengaku telah melakukan tindak pidana, penegak hukum tidak boleh percaya begitu saja. Bukankah dalam praktiknya, apapun motifnya, kita bisa temukan kasus dimana seseorang rela “pasang badan” untuk menutupi pelaku lain? Karenanya dalam hukum dikenal asas “dalam perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya” (In criminalibus, probationes bedent esse luce clariores). Semoga mencerahkan! []

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top