Kab. Bogor

Genosida Rohingya

Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH
(Ketua DPW PPP Jawa Barat/Calon Bupati Bogor 2018)

BOGOR-KITA.com – “Anda tidak perlu menjadi muslim untuk membela Rohingya. Anda hanya perlu menjadi manusia…” (Recep Tayyib Erdogan)

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendesak negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, bersikap tegas atas kekerasan yang dialami etnis Rohingya. Partai Persatuan Pembangunan mendesak negara di ASEAN keluar dari prinsip tidak mencampuri negara lain.

Ya, negara-negara di ASEAN memang menganut prinsip tidak mencampuri negara lain atau doctrine of non-interference. Dengan prinsip tersebut, antar-negara di ASEAN tak bisa mencampuri urusan ‘rumah tangga’ masing-masing negara.

Namun tragedi yang menimpa etnis Rohingya, sungguh sudah masuk kategori “genosida” atau pemusnahan manusia secara massal. Sampai saat ini sudah 30.000 muslim Rohingya terusir ke hutan dan lautan.
Sebagian telah menemukan ajal karena dibantai atau karena sakit tak terobati. Mereka terus diburu, kelaparan dan sakit terus mendera.

Rohingya adalah kelompok minoritas Muslim yang sebagian besar mendiami negara bagian Arakan (kini Rakhine) di Myanmar. Meski berpuluh generasi telah lahir, Pemerintah Myanmar tetap tidak mau mengakui orang-orang Rohingya sebagai warga negaranya.

Tanpa kewarganegaraan, Rohingya harus menelan pahitnya penindasan. Tak hanya di tanah tempat mereka lahir dan besar, tapi juga di kamp pengungsian di perbatasan Bangladesh – Thailand. Mereka seolah tertolak di semua sudut dunia.

Baca juga  Warga Curug Bitung Tuntut Pemekaran

Kendati kaum Buddha Myanmar menolak keberadaan Rohingya, literatur sejarah secara gamblang menyebut bahwa etnis ini telah hidup di Rakhine selama berabad-abad. Populasi Muslim yang cukup besar pernah hidup di bawah Kerajaan Mrauk-U yang memerintah Rakhine pada pertengahan abad 15 hingga akhir abad 18 (1430-1784).

Raja-raja Buddha dari kerajaan Mrauk-U kala itu bahkan menghormati Muslim dan menggunakan istilah-istilah Islam untuk beberapa jabatan kerajaan seperti yang digunakan Dinasti Moghul di Asia Selatan.

Banyak juga orang Rohingya yang bekerja melayani Raja Narameikhla (Min Saw Mun) yang memerintah Arakan pada 1430-an Masehi.

Raja Narameikhla memberi ruang bagi Muslim untuk menjadi penasihat dan pejabat di pengadilan di ibu kota Arakan. Bahkan, komunitas Muslim saat itu boleh membangun masjid yang kemudian disebut Masjid Santikan.

Komunitas Muslim inilah cikal bakal etnis Rohingya. Kelompok ini kemudian berasimilasi dengan kelompok pendatang dari Bangladesh yang dibawa Inggris di masa pemerintahan kolonial.

Lepas dari kolonialisme Inggris, parlemen Myanmar pada 1948-1962 mengakui Rohingya sebagai warga negara. Perdana Menteri U Nu menyebut kelompok Muslim Rakhine dengan istilah Rohingya. Kepada orang Rohingya, Pemerintah Myanmar saat itu memberikan kartu tanda penduduk dan dokumen legal, bahkan beberapa program siaran radio mengudara dalam bahasa orang Rohingya.

Peneliti London School of Economics, Maung Zarni bahkan mengunggah beberapa dokumen bahasa Burma yang menunjukkan pengakuan Pemerintah Myanmar atas etnis Rohingya selama dipimpin Perdana Menteri U Nu dan era awal masa kepemimpinan Jenderal Ne Win.

Baca juga  MUI Kabupaten Bogor Gelar Ijtima Ulama, Apa Saja Hasilnya?

Beberapa anggota parlemen Myanmar pascakemerdekaan secara terbuka menyebut diri mereka orang Rohingya. Mereka menolak memasukkan kawasan permukiman Rohingya ke dalam Negara Bagian Arakan.

Karena itu, pada 1961, U Nu memutuskan untuk membagi Buthidaung, Maungdaw, dan separuh Rathedaung yang didiami warga Rohingya menjadi wilayah administrasi bernama “Mayu Frontier Administration” yang terpisah dari mayoritas Buddha di Arakan. Namun, semua berubah saat Myanmar dipimpin rezim militer di bawah komando Jenderal Ne Win.

Benedict Rogers, dalam buku Burma: A Nation at the Crossroads menulis, pemerintahan Ne Win memiliki aturan tidak tertulis, yakni menghabisi komunitas Muslim, Kristen, Karen, dan etnis lain. Karena itu, pemerintahannya saat itu sangat ketat mengatur kewarganegaraan. Mulai dari aturan imigrasi dan puncaknya adalah keluarnya aturan kewarganegaraan pada 1982.

Mayu Frontier Administration akhirnya kembali disatukan dalam Negara Bagian Arakan. Ribuan warga Rohingya mencari suaka ke Bangladesh selama konflik pada 1978 dan 1991. Sejak saat itu pula, warga Rohingya secara sistematis kehilangan kewarganegaraan.

Dari generasi ke generasi, warga Myanmar hidup dengan doktrin bahwa orang Rohingya adalah orang yang tak diinginkan di Myanmar. Etnis ini dianggap pencuri tanah dan ekonomi, serta berniat buruk menghabisi warga Buddha sebagai mayoritas.

Untuk mendapat kewarganegaraan, mereka harus membuktikan telah tinggal di Myanmar selama 60 tahun. Namun, dokumen macam itu hampir tak dimiliki orang Rohingya. Bilapun ada, mereka sering tetap ditolak. Bila beruntung mendapat kewarganegaraan, status mereka adalah warga naturalisasi. Karena itu, mereka tak punya hak untuk belajar, bekerja, bepergian, dan menjalankan agama. Semua terlarang bagi mereka.

Baca juga  Polsek Jasinga Gelar Olah TKP dan Evakuasi Mayat Tanpa Identitas di Sungai Cipangaur

Dan sekarang kita sedang menonton pembantaian etnis itu secara massal. Hingga saat ini sudah 30.000 muslim Rohingya terusir ke hutan dan lautan. Sebagian di antaranya telah menemukan ajal karena dibantai dan kelaparan. Perihal ini tentu tidak boleh didiamkan atas nama kemanusiaan.

Oleh sebab itu, saya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan kita semua meminta Pemerintah Indonesia untuk bertindak tegas.

Krisis Rohingya sungguh merupakan tragedi kemanusiaan yang secara etis dan politik menuntut dunia internasional untuk melakukan intervensi. Contoh tindakan tegas Pemerintah Indonesia yakni dengan melakukan langkah mengeluarkan Myanmar dari ASEAN, melakukan embargo perdagangan, dan menurunkan hubungan diplomatik.

Negara-negara ASEAN jangan lagi berlindung dibalik prinsip menghormati kedaulatan Myanmar atas tragedi ini. Genosida atau pembantaian massal manusia merupakan sebuah kejahatan internasional yang masuk dalam kompetensi absolut International Criminal Court (ICC).

Maka sekali lagi atas nama kemanusiaan, Pemerintah Indonesia wajib menjadi pelopor penanganan Rohingya. []Admin

Hj. Ade Yasin, SH, MH adalah Ketua DPW PPP Jawa Barat/Calon Bupati Bogor 2018

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top