Gas Melon Langka Tak Dijual Di Warung Pengecer, Ini Tanggapan Beberapa Warga Bogor
BOGOR-KITA.com, PARUNG – Pemerintah mengeluarkan aturan baru terkait mata rantai dari penjualan gas subsidi 3 kilogram atau gas melon. Aturan baru itu hanya membolehkan penjualan gas di pangkalan atau sub penyalur resmi.
Berdasarkan keterangan resmi Kementerian ESDM, skema penyaluran LPG 3 kilogram tak lagi melalui pengecer (warung maupun toko) melainkan langsung di pangkalan atau sub penyalur resmi Pertamina.
Pemerintah memberikan waktu satu bulan bagi pengecer untuk mendaftarkan usaha nya jadi pangkalan resmi penjual gas LPG.
“Per 1 Februari peralihan. Karena itu akan ada jeda waktu kami berikan untuk satu bulan,” kata Yuliot Tanjung pada wartawan di Kementerian ESDM, Jumat (31/1/2025).
Baru saja aturan baru ini diumumkan, fakta di lapangan, menyebabkan gas melon sudah mulai langka dalam seminggu ini. Sejumlah warga terutama emak – emak mulai mengeluhkan kondisi kelangkaan ini.
“Gas ini kebutuhan pokok kita sehari-hari. Gimana mau masak kalau gas nggak ada. Mestinya pemerintah lebih mementingkan rakyat kecil dong,” ungkap Ida (36) warga Kecamatan Parung, Minggu (2/2/2025).
Keluhan serupa disampaikan Azhar, yang mengaku sudah kesulitan mencari gas melon sejak beberapa hari lalu. Padahal kebutuhan gas untuk rumah tangga jadi hal yang sangat penting saat ini.
“Bicara soal aturan dan alasan – alasan nya, terserah pemerintah deh. Tapi tolong juga seharusnya difikirkan terlebih dulu dampak nya bagi rakyat kecil,” cetusnya dengan nada kekesalan.
Sementara itu, pemerhati kebijakan publik IDC Sloba Institut, WE. Swandana mengaku heran dengan kebijakan yang terkesan di lakukan terburu – buru oleh pemerintah ini.
“Harusnya dipastikan dulu agar stok LPG 3 kilogram di pasaran jangan sampai tiba – tiba mendadak langka. Karena hal itu bisa merugikan dan mengganggu aktivitas sehari-hari masyarakat,” jelasnya.
Swandana melanjutkan, kebijakan baru pemerintah ini terkait penyaluran gas 3 kilogram, meskipun tujuannya baik tapi seharusnya memperhitungkan dampak.
“Kalau warung – warung atau pengecer itu tidak bisa menjual, harus diperhitungkan juga berapa jumlah pangkalan resmi yang ada. Bagaimana bagi warga di pedalaman desa? Masa iya harus jauh – jauh beli satu buah gas melon,” ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, jika pengecer kecil atau warung dan toko kecil tidak bisa menjual gas melon, atau mereka tidak bisa menjadi pangkalan resmi karena berbagai kendala, lalu bagaimana penyaluran atau penjualan gas melon ke kampung – kampung.
“Kalau hal ini tidak diperhatikan, bisa jadi akan dimanfaatkan oknum – oknum yang punya uang untuk menumpuk gas melon dan menjualnya ke warga dengan harga yang tinggi,” tutupnya. [] Fahry