Laporan Utama

75 Tahun Negara Hukum

Oleh: Raden Muhammad Mihradi 

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif, Staf Ahli Komite III DPD-RI

dan Dosen FH Universitas Pakuan

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Pada 17 Agustus 2020, usia Indonesia merdeka mencapai 75 tahun. Dalam bilangan biologis, usia ini sangat matang. Bahkan, menjelang senja. Maka, sudah seharusnya selain disyukuri, usia 75 tahun menjadi momentum. Seberapa jauh kemajuan—khususnya dalam konteks hukum—telah dicapai. Demikian pula, apa saja kekurangan yang harus dibenahi.

Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Pada keesokannya, 18 Agustus 1945, UUD 1945 disahkan. Dalam penjelasannya—saat itu—ditegasnya, Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaats). Bukan negara kekuasaan belaka (machtstaats). Apa artinya, semua tindak tanduk, pengelolaan dan kehidupan bernegara, menjadikan hukum sebagai pedoman. Bahkan, Pancasila—ditetapkan pula—-sebagai cita hukum. Sebuah bintang pemandu (leitsstaar), kemana hukum hendak diarahkan dan dibangun.

Salah satu persoalan hukum paling serius sejak merdeka hingga sekarang adalah korupsi. Korupsi monster besar perusak negara yang entah sudah ribuan kali dikaji, namun keberadaannya sukar dimusnahkan. Bahkan, diminimalisasi saja sudah bagus. Di Indonesia nyaris tidak berbilang, aparatur negara yang terkena kasus korupsi. Semua merata, baik kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudisial. Semua berkelindan satu irama: menyedot dana negara untuk mengkapitalisasi kekayaan pribadi, kelompok atau golongan.

Berdasarkan indeks persepsi korupsi, Indonesia di 2019 mengalami perbaikan skor. Pada 2018, berada di skor 38 dari skor 100 dengan peringkat 89 dari 180 negara. Sedangkan 2019, skornya 40 dari skor 100 dan berada di posisi 85 dari 180 negara. Indeks ini dirilis oleh Transparency Internasional Indonesia (TII) pada 2019. Hal ini tentu harus diapresiasi meski belum ideal. Setidaknya sampai tahun 2019 ada sinergitas positif antara pemerintah, KPK, lembaga keuangan dan masyarakat dalam memberantas korupsi.

Baca juga  Jokowi Lantik Listyo Sigit jadi Kapolri

Tantangan

Bila meminjam pendekatan Lawrence M Friedman (American Law System) bahwa membangun sistem hukum dapat didekati tiga pendekatan yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture).

Berkaitan dengan struktur, pemberantasan korupsi menurut Jon ST Quah, ada tiga pola inisiatif pemberantasan korupsi di Asia. Pola pertama, negara punya undang-undang pemberantasan korupsi tetapi tidak punya badan pemberantasan korupsi independen. Pola kedua, negara punya undang-undang pemberantasan korupsi dengan banyak badan pemberantasan korupsi. Dan pola ketiga, negara punya undang-undang pemberantasan korupsi dengan satu badan pemberantasan korupsi yang independen. Menurutnya, model ketiga yang paling efektif di Asia (Vishnu Juwono, Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia, 1945:2014, 2018).  Indonesia nampaknya mengambil kombinasi varian pola kedua dan ketiga. Punya badan independen yaitu KPK untuk memberantas korupsi. Sisi lain, semua penegak hukum seperti Polisi dan Kejaksaan juga dapat menangani korupsi. Ke depan, perlu dipikirkan untuk difokuskan saja—seperti ke KPK—untuk memberantas korupsi sehingga kinerjanya dapat optimal. Tentu dengan syarat, KPK memiliki kapasitas, independensi, anggaran dan aturan yang memastikan kinerja, transparansi dan profesionalitasnya dijaga. Jika perlu, KPK dapat membangun aparaturnya sendiri—tidak lagi meminjam tenaga kejaksaan dan kepolisian—agar dapat membangun totalitas kapasitas.

Kedua, berkaitan substansi hukum. Tidak dapat dielakan, kontroversi revisi UU KPK berujung pada tudingan pelemahan KPK. Tentu hal ini dapat diperdebatkan. Namun, sebagai lembaga independen memang sebuah keniscayaan memiliki undang-undang yang kuat. Meski demikian, hal itu perlu diikuti pula oleh pelembagaan sistem yang mampu memastikan tidak ada maladministrasi di tubuh lembaga KPK itu sendiri dan integritas aparatnya mampu dijaga. Ini yang kemudian mengalami peningkatan suhu. Indonesian Corruption Watch (ICW) misalnya, menilai kinerja KPK saat ini dengan rapor merah. Termasuk tudingan KPK rawan konflik kepeningan menurut peneliti ICW, bila ada perkara menyentuh oknum kepolisian. Terlepas dari pro kontra itu, bagi penulis, Revisi UU KPK (UU Nomor 19 tahun 2019) yang mengubah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK seharusnya bisa menjawab—dan ini harus dibuktikan dengan fakta—yaitu: (a) keseimbangan pola penanganan korupsi baik preventif maupun represif; (b) dukungan kinerja KPK dalam proses penanganan korupsi dan (c) penguatan sistem internal dan eksternal menyangkut integritas KPK itu sendiri.

Baca juga  Plt Bupati Bogor Iwan Minta Maaf Kepada Seluruh Umat Islam soal Pernyataan Injak Alquran 

Ketiga, kultur. Ini paling rumit. Tidak bisa kita elakan, kita menghadapi kultur yang tidak selalu kompatibel dengan pemberantasan korupsi. Di masyarakat kita dengar istilah “uang dengar”, “salam tempel”, “kadeudeuh”, yang semuanya, memiliki nuansa korupsi. Istilah “tau sama tau” sudah merasuk pada ruang bawah sadar publik. Bahkan, publik masih kompromi, kalau salam tempel tidak terlalu besar dianggap sebagai bentuk rasa “terima kasih”. Di tengah situasi seperti itu, maka memberantas korupsi kadang seperti slogan. Maka, membangun kultur anti korupsi adalah proses panjang. Tidak sederhana. Harus bergerak di semua lapisan baik masyarakat, pemerintah maupun swasta.

Antisipasi

Bagi penulis, menghapus korupsi sama sekali dalam waktu singkat nyaris mustahil. Namun meminimalisasi masih ada peluang. Bagi penulis, yang harus fokus—sebagai pemantik—adalah mengurangi korupsi politik. Dalam waktu dekat, akan diadakan pilkada kepala daerah. Maka, aturan, penegak dan sistemnya harus fokus melakukan pengurangan korupsi politik. Sebab dampaknya panjang. Pertama, harus diberantas money politics dalam pilkada. Harus ditekan ongkos politik yang mahal. Dibangun sistem deteksi dini dari penyelenggara dan pengawas pemilu untuk dapat mengatasi apabila ada korupsi politik dengan berbagai variannya. Sebab jika pilkada diwarnai korupsi politik maka sudah dapat dipastikan kebijakan kepala daerah hasil pilkada demikian akan melahirkan perampokan besar pada anggaran publik untuk mengembalikan investasi kotor mereka. Ini yang harus diantisipasi. Kedua, harus dipastikan aturan yang dapat membatasi oligarki politik dan politik dinasti. Ini jika tidak ada aturan akan menjadi sarana konsesi konsesi yang berpotensi korupsi. Tugas besar kita semua untuk mendorong agar legislator membentuk aturan demikian. Ketiga, mengedukasi publik agar anti korupsi politik. Tidak terima uang politik. Karena akan menggadaikan demokrasi. Bahkan membusukkan sampai titik nadir terendah.

Baca juga  Wakil Walikota Bogor Diminta Optimal Cegah Korupsi

Optimisme masih ada. Karena kita dihadapkan arus global yang menolak korupsi. Dengan memantik memberantas korupsi politik terlebih dahulu, maka arah pemberantasan korupsi bisa dipercepat. Dilengkapi kelembagaan, sistem dan aturan yang memastikan integritas untuk dapat dijaga, penulis kira, dapat menjadi masa depan masyarakat anti korupsi. Dan itu berkontribusi besar pada pemuliaan negara hukum. []

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top