Nyi Pohaci
BOGOR-KITA.com – Seperti apa perempuan Sunda? Kedudukan perempuan amat terhormat dalam ruang domestik dan terlebih lagi ruang batin manusia Sunda. Jelang pelaksanaan Konferensi Internasional bertajuk Reinventing Sunda, yang digelar di Hotel Salak 25 -27 Oktober, bogor-kitacom mengumpulkan sejumlah tulisan yang terkait dengan konferensi. Salah satunya yang ditemukan adalah tulisan Jakob Sumardjo yang diterbitkan oleh Pikiran Rakyat, 8 Agustus 2002, berjudul “Perempuan dalam Masyarakat Sunda Lama.” Seperti apa perempuan Sunda? Amat terhormat dalam ruang domestik dan terlebih lagi dalam ruang batin manusia Sunda. Berikut tulisan lengkap Jakob Sumardjo o redaksi
Ayattrohaedi, dalam tulisannya, "Citra Perempuan dalam Sastra Sunda", (Pikiran Rakyat, 8 Agustus 2002), kesimpulan pertamanya berbunyi: "Di
masyarakat Sunda, baik yang tradisional maupun masyarakat masa silam, perempuan memiliki kedudukan dan peran yang cukup penting. Bahkan, kadang
kala terkesan bahwa kedudukan perempuan itu demikian penting, sedangkan laki-laki muncul sebagai 'pelengkap' untuk mendukung kehormatan dan
kemuliaan perempuan". Kesimpulan ini menegaskan bahwa nilai-nilai lama dalam suatu masyarakat terus hidup di tengah-tengah perubahan nilai-nilai
lainnya."
Perempuan dalam pandangan semesta masyarakat Sunda lama memang menduduki tempat terhormat. Meskipun tidak sampai menduduki tempat terpenting dalam
ruang publik (matriarkat), namun kedudukan perempuan amat terhormat dalam ruang domestik dan terlebih lagi ruang batin manusia Sunda. Mengapa hal ini
dapat terjadi? Jawabannya terletak dalam pemahaman nilai-nilai asal orang peladang yang masyarakat Sunda termasuk di dalamnya.
Ada yang menafsirkan bahwa orang Sunda lebih bersifat Melayu-Tua dari pada Melayu-Muda, secara ras bangsa. Suku-suku Melayu-Tua di Indonesia banyak
yang hidup dari berladang di daerah perbukitan atau di tepi-tepi hutan. Suku-suku Melayu-Muda datang kemudian, dan telah mengenal logam perunggu.
Mereka hidup dari bersawah. Fokus perladangan inilah yang menstruktur nilai-nilai kualitas dari dalam batin menjadi nilai-nilai ideal dalam sistem
pengetahuan ladang. Nilai yang dari dalam (jiwa) diwujudkan dalam bentuk-bentuk budaya (luar).
Ladang dalam masyarakat Sunda, disebut huma. Dalam masyarakat Jawa (sawah), ada omah, yang berarti "rumah". Tetapi di Pulau Mentawai, huma berarti
"kampung". Padanan antara "ladang", "rumah", dan "kampung", menunjukkan pentingnya ladang dalam masyarakat Sunda lama. Dalam laporan-laporan
antropologi disebutkan bahwa orang-orang Kanekes (Baduy) pada siang hari lebih banyak berada di huma dari pada di rumah. Jadi, ladang memang dapat
berarti "rumah", pusat kehidupan orang peladang.
Ladang adalah pertanian kering yang amat menggantungkan pada curah hujan. Data meteorologi menunjukkan bahwa curah hujan di daerah-daerah perbukitan
Jawa Barat cukup tinggi. Ekologi yang kondusif ini memungkinkan masyarakat Sunda lama lebih betah hidup dalam budaya ladang. Kalau perladangan ini kita
hubungkan dengan kepercayaan tertua di Indonesia, bahwa semua yang ada, eksistensi ini terdiri dari dua pasangan oposisi, yakni bumi-langit,
lelaki-perempuan, maka manakah yang masuk kategori "lelaki" dan "perempuan" dalam masyarakat ladang? Terdapat kesamaan-kesamaan mitos di kalangan
masyarakat primordial ladang di Indonesia bahwa langit itu perempuan. Ada Bundo Kandung di Minang, ada Te'ze di Riung Flores, ada Sunan Ambu di Sunda.
Semua itu penguasa dunia atas, langit.[] Admin – bersambung