Prasetyo Utomo
BOGOR-KITA.com – Tidak ada rujukan hukum mengenai tilang terhadap pejalan kaki. Sebab itu, wacana yang pernah dikemukakan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor tentang tilang bagi pejalan kaki yang menyeberang secara sembarang di Jalan Kapten Muslihat, diharapkan bukan tilang dalam arti yang sebenarnya.
Penegasan ini dikemukakan Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH KBR) Prasetyuo Utomo dalam siaran pers yang dikirimkan ke BOGOR-KITA.com, Senin (2/2/2015).
Tilang adalah kependekan dari “bukti pelanggaran” yang pada umumnya dibuat oleh polisi lalu lintas sebagai instrumen penegakan hukum dalam hal lalu lintas, dalam hal ini kendaraan bermotor dan nyaman, agar tercipta lalu lintas yang aman.
Ide untuk menerapkan tilang bagi pejalan kaki di Kota Bogor, bukanlah ide yang baru. DKI Jakarta pernah menerapkan aturan tilang bagi pejalan kaki yang menyeberang jalan sembarangan di beberapa tempat. Hal ini didasarkan pada kondisi obyektif, di mana pejalan kaki yang menyeberang jalan sembarangan, dapat menyebabkan kemacetan, dan tak menutup kemungkinan juga kecelakaan. Namun, perlu dicatat bahwa secara yuridis-normatif, hukum tidak tegas menyebutkan obyek tilang bagi pejalan kaki. Lain halnya dengan kendaraan bermotor. Dalam Pasal 3 PP No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengatur obyek tilang kendaraan bermotor, meliputi: SIM, STNK, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda Coba Kendaraan Bermotor; tanda bukti lulus uji bagi kendaraan wajib uji; fisik Kendaraan Bermotor,daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang; dan/atau, izin penyelenggaraan angkutan.
Operasi Patuh Jaya yang pernah diterapkan di DKI Jakarta, menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai obyek tilang bagi pejalan kaki. Operasi ini terbilang tidak efektif, sebab menggunakan KTP sebagi obyek tilang, yang berdasarkan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, disebut identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri. Soalnya, bukti pelanggaran harus disita, dalam hal ini KTP sebagaimana halnya SIM atau SNTK. Sesuai ketentuan dalam Pasal 38 (2) KUHAP yaitu dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) Penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat guna memperoleh persetujuan. Pengembalian terhadap benda sitaan dilakukan: (a). Setelah pelanggar melaksanakan vonis Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (b). Sesuai yang diatur dalam pasal 46 KUHAP.
Dapat dibayangkan, rumit dan lamanya proses terhadap obyek tilang. Di sisi lain, KTP kadang-kala dibutuhkan secara mendadak untuk keperluan tertentu. Itu artinya, apabila Pemkot Bogor menjadikan KTP sebagai obyek tilang, tindakan tersebut hanya akan semakin mempersulit warga. Merujuk pada obyek tilang, rencana tilang bagi pejalan kaki akan mengalami kendala pada teknis – pelaksanaanya. Selain itu, membuka ruang bagi praktik pungutan liar (punperilaku koruptif, sehingga apabila tilang bagi pejalan kaki diterapkan, mekanisme pengawasan harus diperketat.
Karena itu tilang bagi pejalan kaki, dipikirkan matang-matang dan tidak bersikap reaksioner, baik dari sisi yuridis maupun dari sisi yang lain. Pemkot Bogor lebih baik memperhatikan sistem pengawasan yang efektif dan efisien untuk mencegah terjadinya pungli dalam penegakan aturan tilang bagi pejalan kaki. “Selain itu mengundang masyarakat untuk ikut terlibat aktif dalam pengawasan kebijakan-kebijakan publik, khususnya di Kota Bogor,” kata Prasetyo. [] Admin