Nasional

Pilkada 2024 Potensial Rusak Kualitas Pemilu

Toto Izul Fatah, peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA,

BOGOR-KITA.com, JAKARTA – Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 2024 yang berbarengan dengan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) sangat potensial bukan saja menurunkan, tapi juga merusak kualitas pemilu dan demokrasi.

Demikian disampaikan peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Toto Izul Fatah kepada pers di Jakarta, Rabu (3/2/2021), merespon pro kontra isu pilkada serentak pada 2024. “Bukan saja berpotensi merusak kualitas pemilu, juga berpotensi mengundang iklim politik nasional yang tidak kondusif,” katanya.

Menurut Toto yang juga Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA, semua stakeholder mulai dari DPR, Pemerintah, KPU, Bawaslu dan civil society harus duduk bersama mengaji ulang berbagai aspek terkait dengan pilkada serentak pada 2024 tersebut dengan membedah untung rugi, plus minus, manfaat dan mudhoratnya.

Agenda politik nasional lima tahunan yang satu ini, tak bisa hanya dilihat dari satu aspek saja seperti merujuk pada Pasal 101 ayat 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang Pilkada serentak diadakan pada November 2024. Tapi lebih dari itu, pasal yang sering dijadikan acuan pemerintah ini juga harus dilihat dalam kontek yang lebih utuh, komprehensif dan integral dengan mengaitkannya dalam situasi dan kondisi kekinian.

Baca juga  Rapat dengan Mendagri, Ade Yasin Siap Gelar Pilkades dengan Protokol Kesehatan

Termasuk, jelas Toto, melihat masalah ini dari aspek kepentingan demokrasi dalam menjaga dan merawat kedaulatan rakyat yang harus berjalan normal secara periodik. Sebab, pada saat pergantian kepemimpinan, baik Bupati, Walikota, Gubernur dan bahkan Presiden tak berlangsung sesuai jadwal, memberi indikasi adanya keadaan yang tidak normal.

“Kalau proses demokrasinya tidak berlangsung normal alias abnormal, maka proses untuk melahirkan pemimpin baru untuk  melayani rakyat secara periodik pun pasti terganggu. Dan otomatis rakyat pun kehilangan haknya untuk berdaulat memilih pemimpinnya karena jadwal tertunda,”jelasnya.

Toto berpendapat, dalam kondisi proses demokrasi yang tidak normal, biasanya sangat rawan ditunggangi kepentingan kelompok tertentu yang bisa merusak keadaan makin tidak kondusif, baik kecurangan maupun penyalahgunaan kekuasaan.

Setidaknya, ada 272 kepala daerah yang PLT (pelaksana tugas). Hal ini tentu bukan saja rawan terjadinya politisasi ASN juga akan berefek buruk pada terganggunya pelayanan publik. Rakyat akan makin kehilangan hak dan kedaulatannya.

Baca juga  Ekspos Destinasi Wisata Melalui Jabar Explore 2020

Dalam kontek inilah, Toto kembali mengingatkan, semua stakeholder, khususnya pemerintah dan para elit parpol di DPR untuk tidak menonjolkan kepentingan politik praktisnya saja. Tapi, mulai berpikir jauh ke depan tentang pentingnya menjaga kualitas Pemilu dan iklim politik nasional yang kondusif. Salah satunya dengan tidak memberi ruang terjadinya keadaan abnormal.

Dalam pandangan Toto, setidaknya, ada tiga hal teknis yang potensial berefek buruk jika pilkada serentak tetap ngotot  digelar pada 2024.

Pertama, dari aspek kesiapan penyelenggara Pemilu (KPU) yang sangat diragukan. Terutama mengacu pada pelaksanaan Pemilu 2019 lalu (Pileg dan Pilpres) yang banyak menelan korban, lebih dari 700 anggota KPPS meninggal dan sekitar 5000 sakit, karena beban mereka yang tidak normal.

Berkaca dari itu, menurut Toto, DPR dan pemerintah harusnya berpikir 1000 kali untuk memaksakan Pilkada serentak berbarengan dengan Pileg dan Pilpres pada 2024. Jika beban penyelenggara terlalu berat, maka otomatis hasilnya juga berefek buruk alias tak berkualitas.

“Pemerintah tak perlu berkilah bahwa yang penting dilaksanakan dulu, evaluasi belakangan. Karena sudah jelas dan nyata, dengan merujuk pada Pemilu 2019 saja keteter, apalagi ditambah Pilkada. Pasti penyelenggara bukan saja akan overlapping tapi juga overload,” tegasnya.

Baca juga  Pembentukan KPAD Kabupaten Bogor, Wujud Kepedulian Ade Yasin Atas Kasus Kekerasan Anak

Kedua, dari aspek keamanan, sangat potensial mengundang konflik yang menumpuk dan membuat aparat keamanan sangat kewalahan. Apalagi, di tengah kondisi pemerintah sedang fokus mengatasi wabah covid 19. Meskipun, hal itu tak bisa dijadikan alasan untuk menunda Pilkada ke 2024, karena pada tahun tersebut tidak ada yang bisa menjamin kapan wabah ini berakhir. Yang penting, jangan membebani kita dengan beban yang sudah jelas efek buruk dan negatifnya buat kepentingan bangsa ini.

Ketiga, dari aspek partisipasi pemilih, juga harus dipertimbangkan karena potensial membuat rakyat malas datang ke TPS alias golput, dan dimanfaatkan oleh para kontestan, baik Pilkada, Pileg maupun Pilpres, untuk menebar politik uang. Hal ini tentu akan makin memperparah kualitas demokrasi dan Pemilu kita. Rakyat baru mau pada datang ke TPS karena ada iming-iming pemberian baik uang maupun sembako. [] Admin

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top