Nasional

Menyelamatkan Demokrasi

BOGOR-KITA.com – Indonesia dipuja sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Percontohan bagi negara lain. Memiliki ideologi Pancasila yang melembaga. Menjadi karakter, nafas dan falsafah hidup bangsa. Kemajemukan mempesona. Beragam suku, etnis, bahasa, agama dan kepercayaan. Dikelola dan tumbuh atas ide-ide brilyan pendiri bangsa. Sebutlah Soekarno, Hatta, Yamin dan Soepomo. Tokoh besar yang menggoreskan makna pada ke-Indonesia-an.

Demokrasi yang dielu-elukan kini terancam. Lautan aksi penolakan oleh mahasiswa dan pelajar atas RUU revisi UU KPK, RUU KUH Pid dan RUU Pertanahan misalnya, menggugat cara hidup berdemokrasi kita. Bagaimana terdapat proses diam-diam berselimut representasi rakyat, bekerja hendak mengesahkan berbagai undang-undang yang sangat penting menakar kehidupan publik. Partisipasi publik mengalami defisit. Nyaris bangkrut apabila tidak ada perubahan.

Defisit Demokrasi

Reformasi 1998 ditebus dengan darah mahasiswa. Melahirkan pemilu demokratis di pasca orde baru. Saking bagusnya sistem pemilu kita di awal reformasi, banyak ditiru negara lain. Menjadi proyek percontohan demokrasi.

Namun hal di atas tidak bertahan lama. Kini setelah melewati beberapa dekade penerapan demokrasi di Indonesia  mengalami penurunan signifikan seiring dengan munculnya berbagai permasalahan yang mendera negeri ini. Mulai dari kasus korupsi  yang seolah tiada habisnya dimana diantaranya banyak sekali oknum anggota DPR dan oknum pengurus partai politik terlibat kasus suap dan korupsi tertangkap tangan oleh KPK. Publik menangis. Demokrasi dicederai korupsi. Belum lagi kasus-kasus penggusuran masih terjadi mengusik naluri Hak Asasi Manusia (HAM). Demikian pula dugaan kasus pembakaran hutan yang asapnya menyebrang hingga ke negara tetangga.

Baca juga  Opini Rahadi Teguh Wiratama: Selamat Datang Tahun Politik, Pemenang Pilkada 2018 Ditentukan Oleh Langkah Politik Sekarang

Belum lagi kesitegangan di publik warisan pemilu 2019. Istilah cebong dan kampret yang mestinya harus dikubur (hidup-hidup kalau bisa), ternyata masih berlanjut meski sinyalnya makin lemah. Demikian pula berbagai hoax  masih bekerja. Sebagai dampak merajalelanya dinasti era post-truth. Sebuah era di mana kebenaran hanya yang ingin didengar. Bukan kenyataan apa adanya.

Fakta di atas menunjukan defisit demokrasi yang berbahaya. Pertama, terdapat gejala partisipasi publik kurang mendapat wahana yang leluasa. Ini dikonfirmasi gelombang aksi tolak RUU revisi UU KPK, RUU KUHPid dan RUU Pertanahan misalnya. Partisipasi publik seolah tidak penting. Karena ada pemilu yang sudah mewakafkan suara publik pada parlemen. Padahal, demokrasi tidak demikian. Partisipasi publik tidak dapat ditebang hanya karena sudah ada pemilu. Partisipasi harus selalu ada di dalam ruang publik. Baik pra maupun pasca pemilu. Kedua, hukum yang kehilangan karakternya yaitu menciptakan rasa adil. Praktik tebang pilih penegakan hukum masih ditemukan. Belum lagi soal hukum yang dibentuk diam-diam seperti pada kasus di atas. Maka, bila hukum tidak bekerja. Ancaman anarki di depan mata. Ini yang tentu harus kita perbaiki dan tidak kita harapkan. Semua pihak harus membangun kembali hukum yang tegak secara optimal. Ketiga, partai politik. Partai politik tidak memiliki visi yang bernafas panjang. Partai politik terjebak mahalnya biaya politik. Akibatnya, transaksi hak publik menjadi seperti kewajaran. Perlu perbaikan sistem kepartaian, pola rekrutmen dan menekan biaya dalam pemilu.

Baca juga  Pakar Keamanan Pangan IPB University Bahas Isu Terkini dan Kompetensi Keamanan dan Mutu Pangan

Tidak dapat disangkal terkait pemilu memang berbiaya tinggi. Pemilu berbiaya tinggi karena praktik politik uang masih pula bercokol.  Aspinall dan Ward Berenchot (2019) mencatat bahwa dari masa ke masa, pemilu di era reformasi semakin mahal dari mulai level lokal sampai nasional dengan pemilu 2019 sebagai pemilu termahal.  Biaya pemilu yang tinggi ini berdampak pada maraknya praktik korupsi di berbagai level lembaga negara karena para calon terpilih baik di legislatif berkepentingan mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan. Bahkan, penelitian Edi Rohaedi dan R. Muhammad Mihradi (the Practices of Licence and Politics of Local Leader Election In Indonesia, American Journal of Humanities and Social Sciences Research, Vol.03-Issue 09,pp122-127) menunjukan pemilu yang mahal—khususnya di daerah—melahirkan praktik penyimpangan perizinan akibat praktik cukong saat pra dan pasca pilkada.

Baca juga  Opini Sugeng Teguh Santoso: Begal Merebak di Jabotabek, di Mana Polisi?

 Agenda Ke Depan

Demokrasi harus diperbaiki. Oleh semua pihak. Ruang publik harus kembali disehatkan. Melalui partisipasi publik. Bukan koersi apalagi mobilisasi. Partisipasi peran aktif masyarakat yang luas dalam mengawasi semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus segera terwujud. Sebab, dalam negara yang menganut sistim demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Selain itu, hukum harus diperbaiki. Dikembalikan marwahnya. Tegak lurus pada siapapun. Yang melanggar hukum ditindak tanpa pandang bulu. Korupsi dimatikan hingga keakarnya. Terakhir, partai politik dan pemilu harus dibenahi total. Kepartaian harus dijauhkan dari politik uang dengan syarat partainya sederhana dan pemilunya berbiaya murah. Semua harus didorong oleh semua pihak. Karena hanya dengan jalan itu, demokrasi bisa diselamatkan. [] Penulis : Raden Romy Achmad Ramdhan, A.Md, S.H (Mantan Jurnalis, Penulis dan Karyawan FH Universitas Pakuan)

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top