Sugeng Teguh Santoso
Berita begal motor marak di seantero Jabotabek dan hingar bingar di seluruh media. Masyarakat saling berkirim informasi tentang wilayah yang sering disatroni begal motor. Ketakutan kolektif merebak.
Terkirim juga dengan foto pembegal yang dikromas (kroyok massa ), dibakar hidup-hidup seperti yang terjadi di Pondok Aren. Juga ada khabar di sana sini korban pembegalan yang luka bahkan ada yang tewas dianiaya pembegal. Bersamaan dengan isu begal muncul stereotype orang Lampung, Palembang sebagai asal tempat pelaku begal. Pertanyaannya, di mana polisi?
Polisi dipertanyakan kehadirannya ditengah masyarakat. Alih alih dapat membuat rasa tentram dan aman, masyarakat justru mempertanyakan di mana polisi berada ketika isu begal meneror. Tugas polisi adalah menjaga rasa aman dan ketentraman masyarakat. Ketika langkah preventif tidak bisa mewujudkan rasa aman dan tentram maka tindakan represif sah dilakukan untuk menegakkan hukum.
Yang terjadi saat ini cukup menghawatirkan, karena apabila tidak dapat diatasi, bisa muncul konflik horizontal di masyarakat yaitu antara orang yang dituduh pembegal dengan masyarakat. Masyarakat akan main hakim sendiri melakukan penghukuman tanpa melalui prosedur pengadilan dengan mengeroyok terduga pembagal, seperti terjadi di Pondok Aren yang membakar pembegal hidup hidup. Padahal dalam negara hukum pelaku kejahatan harus diproses hukum dan dihukum oleh pengadilan setelah sebelumnya diproses hukum oleh polisi. Belum lagi kalau terjadi tindakan main hakim sendiri yang berindikasi salah sasaran, semisal korban sudah tewas digebukin bahkan dibakar, ternyata yang tewas tersebut adalah petugas penagih kredit macet leasing, bukan pembegal. Bisakah masyarakat disalahkan melanggar pasal 351, 170 dan atau 406 KUHP, penganiayaan, pengeroyokan maupun pengrusakan?
Masyarakat merasa terteror dengan pembegal. Akan tetapi negara (Polri ) belum bisa menjawab rasa resah masyarakat. Akhirnya masyarakat mencari jalannya sendiri untuk memenuhi rasa keadilannya. Kalau sampai hal tersebut terjadi, maka semakin menegaskan terjadinya kekosongan hukum ditengah masyarakat. Negara (Polri ) dipertanyakan keberadaannya.
Kekosongan itu semakin dirasakan, karena faktanya teror begal tidak hanya merebak di Pondok Aren, tetapi juga menelan korban Taman Yasmin Kota Bogor , Depok.
Polisi kemudian memang bergerak, bahkan berdasarkan info dari jaringan penulis, tidak kurang Wakapolri Komjen Badrodin Haiti turun ke lapangan melakukan pengecekan di Depok.
Namun demikian, fenomena begal bagaikan antitesa yang menghujam tajam pada Polri atas tes Polri melalui Kabareskrim yang begitu proaktif dinilai oleh masyarakt melumpuhkan KPK, tapi antitesanya adalah fenomena begal yang menyiratkan terjadinya vakum hukum. Pada saat yang berdekatan saat ini proses legislasi prioritas atas 3 RUU terkait Keamanan Nasional sedang berjalan. Adakah antara RUU tersebut dengan fenoimena begal?
Menurut penulis yang penting segera dilakukan adalah kepolisian segera bertindak cepat, memetakan wilayah rawan kejahatan begal, memetakan potensi pelaku, mempersempit ruang gerak dan merepresi pelak pembegal. Data intelijen harusnya sudah cukup untuk digunakan kepolisian agar masyarakat merasa aman dan tentram, dan tidak ain hakim sendiri karena berpotensi salah sasaran orang yang tidak bersalah. Ayo polisi tunjukkan apakah Anda bisa dipercaya?
[] Sugeng Teguh Santoso, Ketua Yayasan Satu Keadilan