Kota Bogor

Menakar Demokrasi Indonesia Menuju Masa Depan

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Pakuan menggelar webinar dengan tema ‘Menakar Demokratisasi Lokal Dan Nasional: Tantangan Demokrasi Indonesia Masa Depan’ pada Selasa (23/6/2020). Hadir sebagai narasumber Bupati Bogor Ade Yasin, Anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja, , Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Barat Yulianto, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan R. Muhamad Mihradi dan Isep H Insan selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan. 

Berikut materi yang dipaparkan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan R. Muhamad Mihradi SH MH dalam webinar tersebut selengkapnya. (Redaksi)

Demokrasi adalah pilihan niscaya Indonesia sejak merdeka. Baik pra maupun pasca amandemen UUD 1945, demokrasi selalu mendapat penegasan. Bedanya, UUD 1945 pra amandemen pada Pasal 1 ayat (2) mengalirkan kedaulatan rakyat untuk dijalankan sepenuhnya oleh MPR. Namun, pasca amandemen UUD 1945, masih di pasal dan ayat yang sama, kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD. Jadi, MPR tidak lagi dimitoskan sebagai cerminan daulat rakyat seutuhnya. Semua lembaga negara—yang penting ada fungsi, tugas dan wewenang dari konstitusi, maka mengalirkan daulat rakyat.

Tentu tidak sembarang negara bisa disebut negara demokrasi. Ia harus diuji setidaknya—menurut Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, oleh enam indikator. Pertama, adakah proteksi konstitusional. Artinya pasal-pasal di konstitusi memang harus melembagakan nilai dan hak demokrasi. Kedua, adakah pengadilan yang bebas dan tidak memihak. Dalam terminologi kontemporer—lebih tepat disebut pengadilan independen dan akuntabel. Ketiga, apakah pemilihan umumnya bebas—boleh ditambah kosa kata jujur dan adil sebagai penguat hasil amandemen UUD 1945. Keempat, bagaimana dengan kebebasan jaminan berpendapat. Termasuk—mungkin—tambahan penulis—jaminan untuk bersenda gurau dan humor. Kelima, kebebasan berserikat, artinya membentuk organisasi dan kepartaian, termasuk pula hak untuk mengontrol negara—dalam bahasa Kusnardi-Harmaiy, tugas oposisi. Keenam, pendidikan kewargaan.

Raport Demokrasi

Budiman Tanuredjo di Harian Kompas Sabtu 20 Juni 2020, hlm.2 dalam Kolom Politik Berjudul Over Sensitif dan Resesi Ekonomi mengutip Laporan Indeks Demokrasi 2019 dari The Economist Intelligence Unit memasukan Indonesia dalam kategori demokrasi cacat. Satu sisi, pemilu dan kemajemukan mendapatkan nilai tertinggi demokrasi kita. Namun, untuk yang lain rendah seperti partisipasi politik (6,11 persen), budaya politik (5,63 persen), dan kebebasan sipil (5,59 persen).  Menurut Budiman Tanuredjo—institusi kenegaraan—termasuk kepolisian punya tanggung jawab merawat demokrasi. Termasuk mengatasi pendengung (buzzer) yang sering membungkam kebebasan berekspresi. Sedangkan hasil Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2018 hasil BPS ada enam indikator demokrasi masih buruk yaitu: (1) indikator ancaman penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan sipil; (2) indikator persentase perempuan terpilih terhadap total anggota DPRD Provinsi; (3) indikator demonstrasi (mogok) yang bersifat kekerasan; (4) indikator perda yang merupakan inisiatif DPRD; (5) indikator rekomendasi DPRD kepada eksekutif dan (6) indikator upaya penyediaan informasi APBD oleh pemerintah daerah. 

Baca juga  Dekan FH Unpak Bogor Sambut Baik Peradi Bersatu

Tantangan Demokrasi

Mari kita lihat lebih mendalam dari sisi esensi demokrasi, tantangan demokrasi yang sering dikeluhkan publik.

  1. Menguatnya populisme. Populisme merupakan sebentuk khas retorika politik yang berorientasi pada keabsahan politik masyarakat semata dan mendikotomi kelompok elite sebagai korup. Sisi positif populisme dapat menjadi cermin persepsi dan defisit demokrasi dalam perspektif publik. Namun sisi negatif, populisme mengkapitalisasi retorika intoleran, sara dan pecah belah dimana memandang buruk kelompok lain yang tidak sehaluan dengan agendanya.
  2. Menguatnya politik identitas. Aktivitas politik—kerap—mengekploitasi identitas, entah berbasis etnis maupun agama. Celakanya, ini bekerja di ruang majemuk dan heterogen publik. Akibatnya, akar konflik horizontal menjadi semakin mendalam dan dapat menimbulkan infeksi di paradigma demokrasi.
  3. Masalah penegakan hukum yang dipersepsi publik kerap tidak proporsional. Kasus di mana ada seseorang bernama Ismail Ahmad, usia 41 tahun di Kabupaten Sula Maluku Utara mengutip lawakan Gusdur lalu diperiksa kepolisian menjadi bagian dari hal yang perlu dibenahi agar—istilah Budiman Tanuredjo—tidak over sensitif dalam berdemokrasi. Demikian pula kasus-kasus tekanan diskusi ilmiah soal pemberhentian presiden dari sudut hukum tata negara di UGM yang viral menjadi penanda penegak hukum harus peka untuk menjaga hak demokrasi dan menindak kelompok yang berpotensi mengancam hak demokrasi. Termasuk pula kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan turut mempengaruhi konstruksi publik yang kurang baik pada penegakan hukum.
  4. Menjamurnya industri hoax akibat era post-truth. Industri hoax basisnya adalah kebohongan. Ia mendapat wahana ketika masyarakat terkena sindrom era post-truth di mana perasaan lebih penting dari fakta. Dalam konteks dan kondisi demikian, maka demokrasi akan dilucuti rasionalitasnya. Ini harus dilawan dengan penalaran publik tercerahkan, informasi akurat dan edukasi.
Baca juga  Sukseskan Vaksinasi, Mahasiswa IPB University Bagikan Voucher Vaksin ke Desa Lingkar Kampus

Gagasan

Bagi penulis, gagasan untuk memperbaiki kondisi demokrasi yang belum sepenuhnya memadai dapat dilakukan di dua tataran yaitu konseptual dan implementatif. Maka, deskripsi berikut ini mencoba mendekatkan konseptual dan implementasi sehingga terkoneksi.

Pertama, perlu ditimbang konsep radikalisasi demokrasi—dari Laclau dan Mouffe. Bukan berarti demokrasi yang membabi buta. Namun, demokrasi yang memberikan ruang bahwa demokrasi tidak hanya dimaknai sebagai konsensus. Namun, dapat juga melembagakan disensus. Kita bisa sepakat untuk tidak sepakat. Penting demokrasi dissensus dihadirkan karena basis demokrasi adalah kemajemukan. Jika majemuk dihomogenisasi maka akan menguat peluang anarki dari kelompok berbeda. Maka, demokrasi dissensus hendak mengelola konflik dan perbedaan sebagai niscaya. Demokrasi dissensus memahamkan kebutuhan radikalisasi demokrasi.

Kedua, demokrasi dapat dimaknai pula—meminjam pemikiran filsuf Slavoj Zizek—sebagai ruang penanda kosong. Artinya, kekuasaan dalam demokrasi tidak boleh dipermanenkan. Ia merupakan daulat rakyat yang bisa diisi—dengan sirkulasi pemilu misalnya—agar kekuasaan tersebut diisi sementara waktu—sesuai kalender ketatanegaraan misalnya. Termasuk pula demokrasi memberikan peluang agar hal-hal kosong tadi diisi gagasan untuk merealisasikan hal-hal esensial yang bisa dijalankan oleh warga bebas berdaulat

Baca juga  Naturalisasi Ciliwung, Bima Perintahkan Satpol PP Tegakkan Hukum

Ketiga, demokrasi deliberatif—dalam perspektif Juergen Habermas—dapat dimanfaatkan untuk menyempurnakan dan meremajakan gagasan demokrasi. Demokrasi deliberatif menghendaki demokrasi tidak sekedar pemilu ke pemilu. Namun ruang partisipasi publik yang bebas, rasional tanpa tekanan (nir kekerasan) baik di dalam maupun di luar parlemen untuk mempengaruhi kebijakan publik. Dengan begitu, ketika publik dilibatkan maka kebijakan publik menguat legitimasinya.

Selain ketiga konsepsi di atas, edukasi publik baik untuk penyelenggaraan negara maupun warganya penting dilakukan: (1) untuk memahami bahwa demokrasi butuh sabuk pengaman hukum. Hukum yang adil. Dengan begitu, hukum dan prosedur demokrasi dapat mencegah dari desakan massa yang bisa bersalin rupa anarki fisik dan di sisi lain, hukum dan prosedur demokrasi melindungi individu dari intervensi kekuasaan yang tidak sejalan dengan hakikat kehidupan bernegara dan hukum itu sendiri. (2) hak-hak warga yang berbasis nilai kebebasan, kesetaraan dan keadilan harus dilembagakan sebagai oksigen dalam membangun interaksi membangun demokrasi baik di nasional maupun lokal. Dengan demikian, niscaya, tubuh demokrasi akan menguat dan berakar karena berbasiskan nilai yang telah menjadi ruang hidup dan tumbuh bagi demokrasi itu sendiri. (3) penguatan SDM seperti bagaimana mendorong perempuan lebih terlibat di parlemen, pemerintah lebih optimal transparan seperti memudahkan akses informasi serta meningkatkan peran parlemen daerah dalam menginisasi rancangan produk hukum pro publik dan (4) ujungnya adalah demokrasi melembagakan solidaritas yang penting dikonstruksi agar di era pandemi kita bisa melewatinya secara bersama sehingga dapat menjadi lebih baik. [] Hari

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top