Derita Ciliwung, Perlu Ditangani Bersama
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Walaupun ukurannya tidak sebesar sungai-sungai besar di Kalimantan dan Sumatera, Ciliwung cukup dikenal di Indonesia. Maklumlah, sungai yang berhulu di kawasan Puncak Bogor dan bermuara di Teluk Jakarta itu kerap dikaitkan dengan banjir musiman di Jakarta. Di balik keterkaitan itu, memang banyak derita yang sudah dialami Ciliwung. Mulai dari perusakan di kawasan hulu, pencemaran limbah, timbunan sampah, kerusakan lingkungan DAS Ciliwung sampai dengan pendangkalan.
Untuk memperoleh gambaran utuh mengenai kondisi Ciliwung sebenarnya, Wali Kota Bogor, Bima Arya terjun langsung menyusuri Ciliwung pada 10 – 11 November lalu. Ia didampingi para anggota Komunitas Peduli Ciliwung dan Satgas Ciliwung serta didukung Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) dan unit rescue dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Langkah ini diambil sesuai prinsip kerjanya, seorang pemimpin harus mau terjun langsung ke lapangan, bila ingin tahu dan memahami betul apa permasalahan yang harus dihadapi dan diatasi. Sebagaimana prinsip itu diingatkan Bima kembali, ketika memimpin prosesi pengambilan sumpah janji 243 PNS di Kampung Cikeas, Katulampa, Bogor Timur beberapa waktu lalu.
Beberapa hari sebelumnya, telah dilakukan kegiatan menyusuri Ciliwung mulai dari bawah Jembatan Satu Duit, Warung Jambu, Bogor menuju delta di kawasan Sukaresmi, sepanjang 2 km. Aktivitas itu bertujuan mewaspadai bencana alam, khususnya banjir lintasan di wilayah Kota Bogor dan mengobservasi bangunan-bangunan liar di sempadan sungai. Saat itu tim berhasil mengangkut sampah sekitar 100 karung atau tiga mobil pick-up. “Paling banyak sampah rumah tangga, sampah masker juga banyak. Tapi dominasi sampah styrofoam,” ungkap Bima yang kemudian menjadi terinspirasi melakukan pengaturan penggunaan styrofoam.
Selanjutnya pada tanggal 10 November dimulai penyusuran aliran dan liku-liku Ciliwung sepanjang 70 km. Hari pertama penyusuran dimulai dari Sukaresmi di Bogor sampai di Depok untuk singgah bermalam. Pada hari kedua dari Depok sampai Pintu Air Manggarai, tim dibantu perahu bermotor untuk memudahkan penyusuran karena alirannya sangat datar. Sesekali perahu motor yang ditumpangi tim, pun terganggu mesin mati karena tersumbat sampah.
Dari hasil penyusuran mulai dari Sukaresmi, Depok sampai Manggarai selama 16 jam tersebut, diperoleh gambaran tentang kondisi fisik, pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diderita Ciliwung. Pada ruas Bogor sampai dengan Depok, vegetasi pinggiran sungai relatif masih hijau. Kerusakan mulai terlihat dari Depok sampai Manggarai. “Warga yang nyampah ke sungai dari Bogor sampai Depok ada 34 titik, tapi dari Depok sampai Jakarta, ada ratusan titik,” tutur Bima. Tim juga mencatat ada 11 pabrik tahu dari Bogor sampai Depok dan belasan lainnya dari Depok sampai Jakarta. Rata- rata mereka membuang limbahnya ke Ciliwung.
“Datanya ada, kami akan sampaikan ke pemerintah daerah masing-masing, juga ke Mas Anies (Gubernur DKI Jakarta),” ungkapnya beberapa saat setelah tiba di Pintu Air Manggarai pada Rabu 11 November. Data itu memetakan semua titik yang menjadi persoalan bencana, baik timbunan sampah dan limbah lain serta bangunan yang melanggar sepadan sungai. Selain itu, ia bermaksud menyampaikan hasil pengamatannya itu ke kementerian terkait dan Presiden Joko Widodo agar Sungai Ciliwung dapat perhatian untuk dilakukan normalisasi, sehingga vegetasinya kembali hijau dan dapat menyerap air dari hulu ke hilir serta meminimalisir luapan banjir.
Hal itu perlu dilakukan karena menurut Bima, pembenahan Daerah Aliran Sungai (DAS) membutuhkan perhatian atau atensi dari berbagai kalangan. “Pembenahan ini harus dilakukan bersama-sama, ada ranahnya gubernur, ada ranahnya balai besar, Kementerian PUPR. Bagus banget kalau jadi program strategis nasional dan saya mendorong agar Pak Jokowi bisa memberikan atensi ke Ciliwung,” lanjut Bima ketika berdialog dengan Komunitas Ciliwung Depok di sela perjalanan ekspedisi itu.
Menurutnya, Ciliwung adalah urusan bersama. “PR-nya banyak, perlu kerja bareng dari hulu ke hilir. Kalau kita tidak serius, kalau kita tidak kerjasama, akan begini-begini saja. Ini lihat datanya. Ketika dari Depok ke Jakarta airnya semakin bau, semakin cokelat, kiri kanannya semakin banyak timbunan sampah, baik yang dibawa banjir maupun sampah dari warga yang tinggal di sepanjang aliran sungai,” katanya. Ia melanjutkan, “Kalau kita sama-sama serius membuat Ciliwung bersih, kemudian airnya terserap di hulunya, terserap di Kabupaten Bogor, di Kota Bogor dan di Kota Depok, maka air yang mengalir ke Jakarta akan semakin berkurang.”
Bahkan kolaborasi antar komunitas penting dilakukan agar dapat mengkampanyekan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup bagi kehidupan masyarakat sekitar. Oleh karenanya, semangat itu harus terus disuarakan. Di Kota Bogor lanjut Bima, “Kami sudah bentuk Satgas Ciliwung dan sudah 2 tahun ini dianggarkan APBD. Masih banyak perbaikan yang harus dilakukan dalam hal timbunan sampah dan kebersihan walaupun teman-teman ini aktif full time setiap hari. Kami ingin yang dilakukan di Bogor juga dapat dilakukan di Depok dan Jakarta.”
Selain membentuk Satgas Ciliwung yang tugasnya bersihkan sampah, normalisasi saluran air, edukasi kepada warga, juga ada kegiatan membangun infrastruktur untuk membentuk kultur. Di kampung-kampung pinggiran sungai dibangun IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah) dan sistem pengelolaan sampahnya, supaya warga setempat tidak buang sampah dan buang air sembarangan.
Pada akhirnya, “Kita berharap Sungai Ciliwung bisa seperti sungai Citarum yang menjadi konsen bagi Presiden,” katanya. Pembenahan maupun naturalisasi Ciliwung menurut Bima, bukan hanya sekadar persoalan kebersihan saja, tapi juga menyangkut keselamatan orang banyak, karena lingkungan hidup yang bersih adalah penopang kesehatan masyarakat. Jika Ciliwung tertata hingga menjadi bersih dan sehat maka potensi wisata arung jeram akan sangat diminati oleh masyarakat. Terlebih, sungai tersebut dapat mencegah banjir, maka manfaatnya akan banyak dirasakan oleh banyak orang. []Adv