Ahli IPB Angkat Bicara Soal Pernyataan Jokowi Terkait Imbal Balik Subsidi Pupuk
BOGOR-KITA.com, DRAMAGA – Ahli ekonomi pertanian IPB University Dr A Faroby Falatehan, angkat bicara soal pernyataan Presiden Jokowi yang mempertanyakan manfaat subsidi pupuk yang mencapai Rp33 triliun per tahun.
Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (ESL – FEM) IPB itu menilai, subsidi pupuk yang ada selama ini belum menyejahterakan petani.
Oleh sebab itu perlu dilanjutkan dan direkomendasikan agar juga diarahkan pada subsisi dari sisi output atau subsidi pasca panen.
Pernyataan Presiden Jokowi terkait subsidi pupuk disampaikan dalam pembukaan Rakernas Pembangunan Pertanian 2021 secara virtual, Senin (11/1/2021).
“Pupuk, saya jadi ingat pupuk, berapa tahun kita subsidi pupuk? Setahun berapa subsidi pupuk Rp30 triliun-an, berapa Bu Menkeu (Menteri Keuangan Sri Mulyani), Rp33 triliun seingat saya. Rp33 triliun setiap tahun, return-nya apa? Kami beri subsidi pupuk itu kembaliannya ke kami apa? Apakah produksi melompat naik? Rp33 triliun, saya tanya kembaliannya apa?,” kata Jokowi.
Jokowi menilai pemberian subsidi pupuk yang besar setiap tahun tersebut tidak diikuti dengan peningkatan dari sisi produksi. Karenanya, ia meminta semua jajarannya untuk mengevaluasi pemberian subsidi pupuk tersebut.
“10 tahun sudah Rp330 triliun, bapak, ibu, saudara, dan saudari angka itu besar sekali. Artinya tolong ini dievaluasi, ini ada yang salah. Saya sudah berkali-kali minta,” ucap Presiden lagi.
Dr A Faroby Falatehan menyatakan, perihal subsidi sebenarnya perlu dilihat dulu untuk apa dan siapa.
Yang jelas, kata Dr A Faroby Falatehan, petani sampai saat ini belum sejahtera, walau ada subsidi pupuk.
Faroby mengakui, subsidi kepada petani memang sudah diberlakukan sejak lama dengan tujuan membantu meningkatkan kesejahteraan petani dan meningkatkan ketahanan pangan. Tetapi, petani tetap belum sejahtera.
Petani padi, dalam satu kali panen, dapat diasumsikan mendapatkan keuntungan sekitar Rp20 juta/hektar dalam satu kali panen. Produksi dilakukan selama empat bulan, sehingga dalam satu bulan, pendapatan petani adalah Rp5 juta.
Menurut Badan Pusat Statistika (BPS), rata-rata kepemilikan sawah petani kurang dari 0,36 hektar, sehingga pendapatan petani adalah Rp1,8 juta per hektar per bulan, sedikit lebih rendah dari upah minimum regional (UMR) di Jawa Barat yaitu Rp1.810.350.
“Tetapi petani menanggung risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan buruh. Jika kepemilikan sawah dari petani ini lebih luas lagi, maka kesejahteraan petani pun akan lebih meningkat,” ujarnya.
Menurutnya, distribusi pupuk bersubsidi sebenarnya sudah bagus, berdasarkan wilayah, terlebih dengan adanya Kartu Tani yang dapat membuat lebih bagus lagi sehingga lebih tepat sasaran.
“Meskipun pada faktanya, tidak semua kebutuhan petani akan pupuk subsidi diberikan oleh pemerintah,” terang Dr Falatehan dalam rilis dari IPB University kepada BOGOR-KITA.com, Rabu (20/1/2021).
Salah satu bagian yang menjadi tantangan bagi Indonesia adalah harga pupuk, terutama untuk pupuk bersubsidi karena bahan baku pupuknya masih diimpor, kecuali untuk gas. Bahan baku yang dibeli dari luar negeri adalah ZA, MOP/KCL, DAP, SP-36, NPK, phosrock, asam fosfat, sulfur, dan asam sulfat.
“Tidak semua bahan pada pupuk itu lokal. Sebagiannya adalah impor. Hal ini menyebabkan pembayaran pupuk bersubsidi oleh pemerintah biasanya memerlukan waktu, karena adanya audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu mempertimbangkan biaya produksi, biaya distribusi hingga nilai tukar untuk menghitung biaya bahan baku,” tambah Dr Falatehan.
Sementara itu, biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk pupuk ini adalah sekitar 11-13 persen. Jika pada masa tanam, petani tidak diperoleh pupuk bersubsidi, maka ia akan mencari pupuk non subsidi, yang penting agar proses penanaman berjalan dengan baik dan menghasilkan produk yang baik.
Perbedaan harga antara pupuk bersubsidi dan non subsidi, seperti untuk urea adalah antara Rp 1800 – Rp 2000 untuk pupuk bersubsidi dan Rp 4000 – Rp 4500 untuk pupuk non bersubsidi.
Harga pupuk non subsidi harganya hingga dua kali dari pupuk bersubsidi.
Sebagai informasi, saat ini pemerintah tengah menggodok suatu peraturan mengenai korporasi petani, jika ini terwujud dan diterapkan, kemungkinan pertanian menjadi lebih efisien dan hal ini akan dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Dalam rekomendasinya, Dr Falatehan menyampaikan bahwa alokasi anggaran pertanian untuk subsidi pupuk dapat saja diarahkan kepada subsidi output, tetapi jangan sekaligus dicabut subsidi inputnya.
Subsidi ini nantinya dapat digunakan untuk memperkuat kegiatan lain yang terkait dengan pertanian yang juga sudah pernah dilakukan oleh pemerintah tetapi perlu direvitalisasi, seperti pembenahan irigasi, peningkatan jalan usahatani, mekanisasi pertanian dan lainnya.
“Perlu dicatat bahwa bukan berarti subsidi pupuk harus dicabut tiba-tiba, karena tentu akan memberikan tekanan yang cukup mendalam untuk petani. Secara perlahan subsidi lebih menarik apabila diberikan untuk output pertanian (hasil panen), pada komoditas pangan pokok, karena dengan adanya hal ini maka dapat memotivasi petani untuk berproduksi,” imbuhnya.
Jika subsidi output dilakukan, peran pedagang pengumpul pun perlu dipertimbangkan, karena para pedagang ini mengumpulkan beras untuk hidup, sehingga mereka dapat dijadikan sebagai mitra dari pemerintah.
“Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan pernah mengatakan if money could have solved the farm problem, we would have solved it a long time ago.” Artinya jika uang bisa menyelesaikan masalah pertanian, kami akan menyelesaikannya sejak lama.
Ini berarti bahwa permasalahan pertanian di negara maju, seperti Amerika Serikat sama juga dengan yang terjadi di Indonesia, yaitu bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani melalui pembangunan pertanian,” tutupnya. [] Admin