Kota Bogor

Yang Tersisa dari Ramadhan

Oleh: Asep Saepudin

(Sekretaris Pusat Kajian Gender-Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Visi Nusantara, Ketua Bidang Dakwah dan Kajian Keagamaan Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat)

BOGOR-KITA.com, BOGOR- Gema takbir, tahmid dan tahlil saling bersahutan menggetarkan cakrawala menembus pintu-pintu langit. Sepanjang malam lantunan kalimat toyyibah tersebut tak henti-hentinya berkumandang menyambut hari kemenangan hingga hari ini masih terdengar merdu di masjid-masjid menambah suasana gembira dan haru.

Ini pertanda Ramadhan tahun ini telah usai dan berlalu pergi meninggalkan kaum muslimin di jagad raya ini.

Bulan yang penuh berkah itu telah berlalu. Bulan yang akan menjadi saksi yang akan membela setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala atau justru menjadi saksi yang akan menghujat setiap orang yang memandang remeh bulan Ramadhan tersebut.

Oleh karena itu, hendaknya diri kita masing-masing membuka pintu muhasabah terhadap diri kita. Amalan apakah yang telah kita kerjakan di bulan tersebut? Apakah faedah dan buah yang kita petik pada bulan Ramadhan tersebut? Apakah pengaruh bulan Ramadhan tersebut terhadap jiwa, akhlak dan perilaku kita? Jangan-jangan kita hanya mengenang masa berlapar-lapar nan dahaganya saja, atau mengingat beraneka menu berbuka dan santap sahur, atau jangan-jangan kebiasaan qiamulail, tilawatil qur’an, berinfak dan sedekah pun turut sirna seiring Ramadhan pergi?

Lantas apa yang tersisa dari Ramadhan kemarin? Bukankah tujuan akhir dari perintah puasa Ramadhan ini adalah takwa? Sebagaimana yang telah Allah Ta’ala firmankan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Apa itu takwa? Suatu ketika, Abu Hurairah ditanya oleh seseorang, “Wahai Abu Hurairah, apakah yang dimaksud dengan takwa itu?”

Baca juga  Relaksasi (Pengenduran) Ucapan dan Tindakan

Abu Hurairah tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi memberikan satu ilustrasi, “Pernahkah engkau melewati suatu jalan dan engkau melihat jalan itu penuh dengan duri? Bagaimana tindakanmu untuk melewatinya?” Orang itu menjawab, “Apabila aku melihat duri, maka aku menghindarinya dan berjalan di tempat yang tidak ada durinya, atau aku langkahi duri-duri itu, atau aku mundur”. Abu Hurairah cepat berkata, “Itulah dia takwa!” (HR Ibnu Abi Dunya).

Kata takwa, menurut HAMKA dalam tafsirnya, Al-Azhar, diambil dari rumpun kata wiqayah yang berarti memelihara. Memelihara hubungan yang baik dengan Allah Ta’ala. Memelihara jangan sampai terperosok kepada perbuatan yang tidak diridhai-Nya. Memelihara segala perintah-Nya supaya dapat dijalankan. Memelihara kaki jangan terperosok ke tempat yang penuh lumpur atau duri.

Dengan demikian, takwa tidak dapat diartikan sebatas takut kepada Allah Ta’ala saja. Rasa takut kepada Allah Ta’ala adalah bagian kecil dari takwa. Menurut HAMKA lagi, dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridha, dan sabar.

Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal saleh. Bahkan, dalam kata takwa terkandung juga arti berani.

Jadi, setelah Ramadhan ini berlalu, sudahkah kita menunaikan berbagai sebab yang mempermudah amalan kita di bulan Ramadhan kemarin agar diterima di sisi-Nya, dan sudahkah kita bertekad untuk terus melanjutkan berbagai amalan ibadah yang telah kita galakkan di bulan Ramadhan tersebut agar tetap dalam ketakwaan?

Para pendahulu kita, sahabat-sahabat Rasul yang mulia telah memberikan teladan kepada kita, di mana hati mereka merasa sedih seiring berlalunya Ramadhan.

Baca juga  Bank Indonesia Kembali Bangun Urban Farming di Kota Bogor

Mereka merasa sedih karena khawatir bahwa amalan yang telah mereka kerjakan di bulan Ramadhan tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Sebagian ulama salaf mengatakan, ”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadhan. Kemudian mereka pun berdo’a selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya”. (Lathaaiful Ma’arif hal. 232).

Oleh karena itu, para salafush shalih senantiasa berkonsentrasi dalam menyempurnakan dan menekuni amalan yang mereka kerjakan kemudian setelah itu mereka memfokuskan perhatian agar amalan mereka diterima karena khawatir amalan tersebut ditolak. ’Ali bin Abi Thalib radhiallahu‘anhu mengatakan, ”Hendaklah kalian lebih memperhatikan bagaimana agar amalan kalian diterima daripada hanya sekedar beramal. Tidakkah kalian menyimak firman Allah ’azza wa jalla, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa”. (Al Maaidah: 27)”. (Lathaaiful Ma’arif: 232).

Demikianlah sifat yang tertanam dalam diri mereka. Mereka bukanlah kaum yang merasa puas dengan amalan yang telah dikerjakan. Mereka tidaklah termasuk ke dalam golongan yang tertipu akan berbagai amalan yang telah dilakukan.

Akan tetapi mereka adalah kaum yang senantiasa merasa khawatir dan takut bahwa amalan yang telah mereka kerjakan justru akan ditolak oleh Allah Ta’ala karena adanya kekurangan.

Demikianlah sifat seorang mukmin yang mukhlis dalam beribadah kepada Rabb-nya. Allah Ta’ala telah menyebutkan karakteristik ini dalam firman-Nya, ”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka”. (Al Mukminun: 60).

Ummul Mukminin, ’Aisyah radliallahu‘anha ketika mendengar ayat ini, beliau merasa heran dikarenakan tabiat asli manusia ketika telah mengerjakan suatu amal shalih, jiwanya akan merasa senang. Namun dalam ayat ini Allah Ta’ala memberitakan suatu kaum yang melakukan amalan shalih, akan tetapi hati mereka justru merasa takut. Maka beliau pun bertanya kepada kekasihnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Apakah mereka orang-orang yang meminum khamr dan mencuri?” Maka rasulullah pun menjawab, ”Tidak wahai ’Aisyah. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, menegakkan shalat dan bersedekah akan tetapi mereka merasa takut amalan yang telah mereka kerjakan tidak diterima di sisi Allah. Mereka itulah golongan yang senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebajikan”. (HR. Tirmidzi nomor 3175. Imam Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahihut Tirmidzi nomor 2537).

Baca juga  Ini 10 Prioritas Pembangunan Pemkot Bogor 2020

Lihatlah saudaraku, para sahabat Rasulullah adalah generasi terbaik dari umat ini. Sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in)”. (Muttafaq ‘alaih).

Mereka begitu khawatir dan takut amalnya tidak diterima Allah. Mereka senantiasa komitmen dalam menjaga kontinuitas ibadah. Karena pada hakikatnya Ramadhan adalah bulan ujian. Sedangkan sebelas bulan berikutnya adalah pengaplikasian dan pengamalan dari hasil ujian tersebut. Jika hasil ujiannya bagus, maka baguslah amalan  berikutnya. Namun jika sebaliknya, tentu hasil berikutnya bisa lebih buruk. Lanatas bagaimana dengan kita yang amalnya masih sedikit dan jauh dari kesempurnaan jika dibandingkan dengan mereka? Kita masih bisa tertawal lepas, terbahak-bahak, bercanda-ria dengan berbagai celotehan yang mengundang tawa satu sama lain. Karena merasa terbebas dari kekangan Ramadhan? Kalau demikian, “Apa yang kita sisakan dari Ramadhan kemarin?” []

1 Comment

1 Comment

Leave a Reply

Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top