OPINI: Pegiat Literasi, Orang Kecil atau Orang Besar?
Oleh: Syarifudin Yunus,
(Pegiat Literasi TBM Lentera Pustaka)
BOGOR-KITA.com, TAMANSARI – Kecil atau besar di zaman begini ternyata bukan hanya ukuran. Tapi menyangkut status sosial. Begitu kata netizen di media sosial. Kecil diartikan status rendahan atau orang kampung. Sementara orang besar dianggap orang berada atau orang kota. Jadi kata netizen, orang kecil atau orang besar diukur dari materi alias ekonomi. Hingga identik dengan status sosial.
Dulu, orang kecil atau orang besar itu dilihat dari postur fisik. Orang kecil yaitu orang yang pendek, kuntet, dan tidak tinggi. Fisik kecil juga identik dengan orang yang kurus alias kerempeng. Sedangkan orang besar ukurannya berbadan gemuk atau gendut. Badannya tinggi atau atletis. Maka dibilang, orang kecil tidak enak dilihat. Tapi orang besar enak dipandang mata. Ujungnya, muncul sebutan “orang kecil dianggap susah, orang besar dianggap bahagia”. Begitulah orang-orang zaman begini menilai orang lain.
Kok bisa, mengukur orang kecil dan orang besar hanya dari status sosial?
Orang kecil dianggap miskin, orang besar dianggap kaya. Orang kecil identik dengan hidup susah, tidak punya pangkat, dan pendidikannya biasa-biasa saja. Sementara orang besar katanya hidup baagia, punya pangkat dan jabatan, dan pendidikannya tinggi bila perlu jebolan luar negeri. Muncul lagi istilah, orang kecil tidak penting. Orang besar berarti orang penting. Apa iya begitu?
“Wah, dia mah orang besar, orang terhormat” begitu kawan saya. Itu berarti, si orang besar itu dianggap penting, kaya, berpangkat, dan status sosialnya tinggi. Orang besar diukur dari uang atau harta. Sementara orang kecil kebalikannya, dianggap tidak penting dan tidak punya uang. Makanya, orang kecil jarang diminta nasihat apalagi saran. Intinya, orang kecil sering dipinggirkan di negeri ini. Orang kecil mah tidak dianggap.
Banyak orang lupa. Menyebut orang kecil atau orang besar dari status sosial atau fisik itu salah. Kata siapa orang kecil itu tidak bahagia? Kata siapa pula orang besar itu selalu bahagia? Bahagia itu sifatnya relatif. Tidak ada hubungannya dengan status sosial apalagi fisik. Apalagi karena sering update gaya hidup dan hedonism di media sosial. Di medsos, ada ungkapan “jangan lupa bahagia”. Itu sejatinya hanya ungkapan kamuflase. Akibat banyak orang gagal mencapai mimpi-mimpinya. Lupa bahwa bahagia itu bersifat batiniah, sebuah kenyamanan secara psikologis.
Orang kecil atau orang besar. Sejatinya, dilihat dari amal perbuatan dan manfaatnya untuk orang lain. Untuk apa punya ilmu tinggi tidak diamalkan? Untuk apa pula kaya tapi tidak membantu orang miskin dan jarang sedekah? Jadi, orang kecil atau orang besar itu harusnya diukur dari “cara berpikir”. Orang kecil atau besar itu dilihat dari tingkat literasi-nya. Mampu tidaknya memahami realitas dan mengambil hikmah positif dari apa yang terjadi.
Orang besar itu berani menerima realitas. Berani berpikir besar, membahas ide-ide besar. Bukan sebaliknya, malah melihat apapun dari pikiran sempit. Mengeluh, menyalahkan orang lain, membenci bahkan mencaci-maki orang lain. Seolah-olah jadi “korban” dari orang lain dan lupa bersyukur. Lihat saja, mereka yang dikasih rezeki cukup dan peluangnya seperti “ikan besar”. Tapi setiap hari teriak-teriak susah dan mengeluh. Karena pikirannya terlalu sempit.
Cara berpikir, amal perbuatan, dan seberapa manfaat untuk orang lain. Itulah kata kunci orang kecil atau besar. Orang kecil itu sukanya ngomongin orang lain, pikirannya sempit. Sementara orang besar lebih suka ngomongin ide, karena pikirannya luas. Orang kecil fokusnya di orang lain, bukan dirinya sendiri. Energinya negatif, kerjanya mengintip orang lain. Karena semboyannya, “harus untung untuk dirinya”. Dalil hidupnya, semuanya “tidak mungkin”, “tidak dapat dikerjakan”, dan “tidak ada gunanya ” untuk urusan apapun.
Sementara orang besar fokusnya di diri sendiri, cara merealisasikan ide besar. Untuk mengembangkan diri dan menebar manfaat untuk orang lain. Selalu energik dalam berkarya dan berbuat untuk orang lain. Orang besar berpikir positif dan selalu optimis. Lalu bertindak untuk menebar kebaikan seperti pegiat literasi di taman bacaan. Sekalipun hanya menyediakan akses bacaan ke anak-anak kampung, taman bacaan dikelola dengan sepenuh hati dan konsisten. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi masyarakat.
Jadi orang besar itu ada di taman bacaan. Karena apapun kondisinya, hambatan yang ada segera diubah jadi kemenangan. Niat baik diubah jadi aksi nyat di taman bacaan. Orang yang berpikir besar untuk sediakan akses bacaan di tengah gempuran era digital. Orang bear di taman bacaan, selalu optimis dan berani bertindak.
Dan yang paling penting, orang kecil maupun orang besar pasti punya masalah. Karean tidak ada orang yang tidak punya masalah selagi masih di dunia. Bedanya adalah, orang kecil selalu menganggap masalah sebagai beban. Kadang masalah kecil dibikin besar atau dibesar-besarkan. Jadi kepo, gibah, bahkan fitnah. Sementara orang besar, masalah apapun dianggap ujian dan tantangan. Tiap masalah dianggap cara untuk “naik kelas” dan dilihat dari sisi positif.
Hanya orang besar, masalah dilihat sebagai hadiah dari Tuhan untuk diselesaikan. Agar menjadi manusia yang lebih matang, lebih baik, dan lebih bermanfaat untuk orang lain. Khoirunnaas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia adlaah yang paling bermanfaat untuk orang lain. Salam literasi.