Kab. Bogor

Manusia Ambigu, Bilang Cinta Tapi Menyakiti

Oleh: Syarifudin Yunus,

Pegiat Literasi TBM Lentera Pustaka Bogor

BOGOR-KITA.com, TAMANSARI – Zaman boleh maju, teknologi silakan canggih. Gaya hidup pun kian kesohor walaupun tekor. Itulah manusia “ambigu” di masa kini.

Ambigu. Dapat diartikan “bermakna ganda, taksa”. Bisa juga disebut “bias”. Sehingga ambigu menjadikan banyak orang bingung. Punya standar ganda. Kiri boleh, kanan boleh. Apa yang diomong berbeda dengan apa yang dilakukan. Apa yang dituju berbeda denga napa yang dijalankan. Ambigu.

Katanya cinta bangsa Indonesia tapi kerjanya berceloteh tentang kekurangan dan kesalahan bangsanya. Katanya beragama tapi kerjanya justru nyinyir terhadap umat beragama. Katanya lagi “anti korupsi” tapi kerjanya mencari-cari salahnya KPK. Katanya “menghormati proses hukum” tapi giliran dipanggil banyak ngeles-nya. Ada pula orang yang berharap rezeki dari pekerjaannya. Tapi pekerjaan itu pula yang selalu dikeluhkan. Sekali lagi, ambigu.

Memang, manusia bila sudah ambigu itu susah ditebak. Bilangnya cinta tapi perilakunya menghardik dan mencela. Bilangnya paham agama tapi kerjanya menyalahkan orang lain. Manusia ambigu, kian tidak jelas arahnya. Mau kemana dan lewat mana jalannya? Bingung dibuat sendiri.

Baca juga  Publik Harus Tahu, 7 Kendala Prinsip Taman Bacaan di Indonesia

Sebut saja manusia ambigu di masa pandemic Covid-19.

Katanya vaksin sebagai ikhtiar sehat. Tapi tidak sedikit orang yang tidak mau di-vaksin. Katanya terjadi pelecehan seksual di kantor maka dilaporkan. Kini justru dilaporkan balik orang yang melaporkan. Jadi, yang benar yang mana sih? Manusia ambigu.

Seperti anak ABG pacaran. Saat jadian, cerita ke orang-orang bahwa “ini bakal jadi jodoh gue yang dipertemukan untuk masa depan”. Ehh, sebulan kemudian, cerita lagi bilang sudah putus. Katanya “Gue sudah berusaha, tapi emang tidak jodoh mau diapain”. Anak muda zaman sekarang pun banyak yang ambigu.

Persis katanya cinta pada bangsa dan negara. Hidupnya di bumi Indonesia, cari nafkahnya pun di nusantara. Tapi saat bertutur yang diungkap ketidak-becusan negaranya sendiri. Mengeluh melulu soal negara. Tidak beres-lah, tidak becus-lah. Dia lupa, memang ada negara di dunia yang beres?

Manusia ambigu. Makin kemari kayaknya makin banyak. Bilangnya “cinta” tapi kerjanya “menyakiti”. Bilangnya “sayang” tapi perilakunya “berkeluh-kesah”. Manusia-manusia ambigu. Lain di mulut, lain di hati, dan lain pula di perbuatan.

Baca juga  Pasca Bom Makassar Polsek Kemang dan Gunungsindur Langsung Perketat Pengamanan Rumah Ibadah

Sekarang ini, manusia ambigu makin marak. Ada di TV ada pula di gurp WA. Apalagi di media sosial. Bilangnya praktisi, akademisi, politisi. Tapi tiap ngomong “sibuk” mencari salahnya orang, sibuk menjelek-jelekkan orang lain. Mengumbar aib orang lain yang bukan kelompoknya. Bikin publik tambah bingung. Bukannya jadi solusi justru tambah masalah.

Jelas sudah. Manusia ambigu itu suatu waktu “menuntut” kenyamanan untuk dirinya. Tapi di waktu yang lain, dia “merusak” kenyamanan orang lain. Suatu waktu dia minta orang lain untuk “move on”. Tapi di waktu yang lain, dia sendiri tidak pernah “move on”. Masalahnya, di situ-situ saja.

Manusia ambigu ada di dekat kita. Entah mau sampai kapan?

Manusia ambigu. Orang-orang yang tertawa lepas di siang hari. Tapi selalu menangis dan uring-uringan di malam hari. Senang sama yang ramai tapi di malam hari terasa sepi.

Baca juga  Hari Aksara Internasional dan Potensi Krisis Literasi

Makin ambigu manusia ambigu itu.

Dulu saat baru kerja, pengen punya ini pengen punya itu. Semua sudah tercapai. Dan sekarang sudah punya semua; punya kendaraan, punya uang, punya rumah. Ehh, giliran ditanya tentang hidup, jawabnya “tidak bahagia”. Ambigu sekali, sampai lupa bersyukur. Kok bisa sih?

Manusia ambigu. Dia yang bilang “ada siang ada malam”. “Ada duka ada suka”. Ada sedih ada gembira. Ehh, pas giliran lagi kena duka dan sedih, bawaannya mengeluh melulu. Lalu bilang, Tuhan tidak berpihak pada dia. Tapi giliran lagi senang, euforia-nya luar biasa sampai lupa saat lagi sedih. Tuhan pun tiada dipedulikan.

Manusia ambigu memang tidak literat. Standar ganda dan memuakkan. Manusia yang gagal mengejar mimpi-mimpinya sendiri. Lalu menyalahkan orang lain. Manusia yang tidak realistis namun hidup di masa kamuflastis.

Manusia ambigu itu mengerikan. Saat mereka bertanya “Kenapa kita hidup ya kalau pada akhirnya mati. Kenapa kita ada ya padahal kita juga akan binasa?”. Begitulah manusia ambigu. Salam literasi. []

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top