Penjelasan BMKG Soal Potensi Gempa di Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai – Siberut
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Pembahasan mengenai potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut kembali jadi perbincangan publik.
Pembahasan potensi soal tersebut bukanlah hal baru, sebab sudah lama dibicarakan, bahkan sudah dibahas sejak sebelum terjadinya musibah gempa dan tsunami Aceh di tahun 2004 silam.
Menyikapi munculnya kembali pembahasan potensi gempa di zona megathrust saat ini, Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, DR. Daryono melalui rilis resmi kepada sejumlah media.
“Pembahasan hal ini bukanlah bentuk peringatan dini (warning) yang seolah – olah dalam waktu dekat akan segera terjadi gempa besar. Tidak demikian,” tegas DR. Daryono dalam rilis yang didapat media ini, Rabu (15/8/2024).
Ia menjelaskan, pembahasan hal itu hanya mengingatkan kembali keberadaan Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sebagai sebuah potensi yang diduga oleh para ahli sebagai zona kekosongan gempa besar (seismic gap) yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.
“Seismic gap ini memang harus kita waspadai karena dapat melepaskan energi gempa signifikan yang dapat terjadi sewaktu – waktu,” ungkapnya.
Munculnya kembali pembahasan potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut, lanjut Daryono, sebenarnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan peristiwa gempa kuat M7,1 yang berpusat di Tunjaman Nankai dan mengguncang Prefektur Miyazaki Jepang.
Menariknya, gempa yang memicu tsunami kecil pada 8 Agustus 2024 beberapa hari lalu mampu menciptakan kekhawatiran bagi para ilmuwan, pejabat negara dan publik di Jepang akan potensi terjadinya gempa dahsyat di Megathrust Nankai.
“Peristiwa semacam ini menjadi merupakan momen yang tepat untuk mengingatkan kita yang ada di Indonesia akan potensi gempa di zona seismic gap Selat Sunda dan Mentawai-Siberut,” imbuhnya.
Sejarah mencatat, gempa besar terakhir di Tunjaman Nankai terjadi pada 1946 (usia seismic gap 78 tahun), sedangkan gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada 1757 (usia seismic gap 267 tahun) dan gempa besar terakhir di Mentawai-Siberut terjadi pada 1797 (usia seismic gap 227 tahun).
“Artinya kedua seismic gap kita periodisitasnya jauh lebih lama jika dibandingkan dengan seismic gap Nankai, sehingga mestinya kita jauh lebih serius guna menyiapkan upaya – upaya mitigasinya,” tegas Daryono.
Terkait rilis gempa di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut “tinggal menunggu waktu” yang telah di sampaikan sebelumnya, lanjut Daryono, hal itu dikarenakan kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar, tetapi bukan berarti segera akan terjadi gempa dalam waktu dekat.
“Dikatakan “tinggal menunggu waktu” disebabkan karena segmen-segmen sumber gempa di sekitarnya sudah rilis gempa besar semua, sementara Selat Sunda dan Mentawai-Siberut hingga saat ini belum terjadi,” paparnya.
Daryono menambahkan bahwa hingga saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dengan tepat dan akurat mampu memprediksi terjadinya gempa (kapan, dimana, dan berapa kekuatannya).
“Sehingga kita semua juga tidak tahu kapan gempa akan terjadi, sekalipun tahu potensinya,” imbuh Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG ini.
Sekali lagi, lanjutnya, informasi potensi gempa megathrust yang berkembang saat ini sama sekali bukanlah prediksi atau peringatan dini, sehingga jangan dimaknai secara keliru, seolah akan terjadi dalam waktu dekat.
“Untuk itu, kepada masyarakat dihimbau untuk tetap tenang dan beraktivitas normal seperti biasa, seperti melaut, berdagang, dan berwisata di pantai. BMKG selalu siap memberikan informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami dengan cepat dan akurat,” pungkas Daryono. [] Fahry