Nasional

Opini : Karakteristik Peserta Dana Pensiun Sektor Informal?

Oleh: Syarifudin Yunus, Edukator Dana Pensiun Asosiasi DPLK

Salah satu topik diskusi kegiatan IOPS Annual General Meeting dan OECD/IOPS/OJK Global Forum on Private Pensions 2024 di Bali kemarin adalah ”memanfaatkan Digitalisasi Dana Pensiun untuk Menjangkau Sektor Informal”.

Data BPS menyebut pekerja sektor informal di Indonesia kini mencapai 59,11% dari 147,7 juta pekerja. Artinya, pekerja sektor informal hari ini mencapai 87,3 juta pekerja. Sangat besar jumlah pekerja di sektor informal.

Pertanyaannya, apakah pekerja sektor informal tidak memiliki hak untuk menyiapkan masa pensiun atau hari tua yang lebih baik? Tentu saja berhak. Karena siapapun, berhak mempersiapkan masa pensiun yang nyaman, baik pekerja di sektor formal maupun informal. Karena itu, edukasi yang masif dan kemudahan akses untuk memiliki dana pensiun menjadi penting. Maka salah satunya dilakukan melalui “digitalisasi dana pensiun” agar dapat menjangkau sektor informal.

Sebagai contoh saja, setelah berdiskusi dengan beberapa rekan pengelola DPLK dan mengkalkulasi kepesertaan individu, saat ini di industri DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) kira-kira ada sekitar 736.000 peserta individu atau mencapai 20% dari total peserta DPLK. Ternyata dari angka tersebut, sekitar 70% peserta berada di sektor informal dan sisanya 30% peserta di sektor formal. Kondisi ini menyiratkan bahwa minat dan atau kemauan individu di sektor informal untuk memiliki program DPLK ada dan sulit untuk dibantah.

Baca juga  1 dari 2 Pensiunan di Indonesia Bergantung Hidup dari Transferan Anaknya

Namun untuk menyasar dana pensiun di sektor informal, memang harus dikenali beberapa karakter DPLK individu yang ada saat ini, yaitu:
1. Pesertanya bekerja di sektor informal, UMKM, dan tergolong masyarakat berpenghasilan rendah.
2. Iuran yang disetorkan untuk DPLK tergolong kecil, paling besar Rp. 100.000,-
3. Iuran yang disetor besarannya berpotensi tidak tetap setiap bulannya atau tidak bisa reguler tiap bulan alias disebut “iuran suka-suka” karena tergantung penghasilan yang diperoleh setiap bulannya
4. Usia pensiun yang ditetapkan biasanya sesuai dengan tujuan keuangannya, seperti untuk anak kuliah, untuk umroh atau naik haji, atau untuk renovasi rumah
5. Motif ikut DPLK karena tidak punya program pensiun untuk hari tua dan simpanan bila ada kebutuhan dana yang sifatnya mendesak.

Mengacu pada karakter di atas, maka untuk meningkatkan kepesertaan DPLK yang bersifat individual atau sektor informal dibutuhkan regulasi yang harus lebih fleksibel dan berpihak pada individu di sektor informal. Harus ada kemudahan bagi individu yang ingin memiliki dana pensiun, di samping edukasi dan akses yang gampang.

Baca juga  OPINI: Gimana Nasib Pekerja Swasta Tanpa Program Pensiun?

Karenaya bila dana pensiun sektor informal, UMKM ingin dikembangkan lebih besar, maka patut “dipikirkan” skema dana pensiun sektor informal yang memberi “ruang” peningkatan kepesertaaan individual, di samping dapat meningkatkan aset kelolaan industri dana pensiun yang lebih signifikan ke depan. Peserta individu di dana pensiun bukan hanya untuk “nice to have”. Tapi benar-benar menjadi potensi pasar yang harus digarap dengan serius. Karena sektor informal sangat jelas berbeda dengan sektor formal. Siapapun yang berada di sektor informal atau UMKM, pasti 1) tingkat penghasilannya bersifat tidak tetap, 2) skala usahanya kecil atau musiman, 3) jenis pekerjaannya informal atau berusaha sendiri, 4) tidak punya mekanisme administrasi yang kompleks, dan 5) masih banyak yang tidak punya izin dan tidak punya NPWP. Maka, perlakuan terhadap dana pensiun sektor informal berbeda dengan sektor formal. Harus ada penyesuaian skema dana pensiun di sektor informal. Dan salah satu solusinya adalah melalui digitalisasi dana pensiun.

Harus diyakini, potensi pasar dana pensiun di sektor informal sangat besar. Karena itu “cara pandang” dana pensiun harus diseimbangkan antara sektor formal dan informal. Pekerja di sektor formal, mungkin sudah punya kesadaran dan punya kemampuang menabung untuk hari tua ditambah adanya kewajiban kompensasi pascakerja bagi pemberi kerjanya. Tapi di sektor informal, harus ada mekanisme edukasi dan kemudahan akses untuk dana pensiun. Di situlah lalgi-lagi, digitalisasi dana pensiun diperlukan. Selain “good will” atau iktikad baik, dana pensiun untuk pekerja informal atau individu akan efektif dikembangkan bila semua pemangku kepentingan mau melakukan 1) edukasi yang masif dan berkelanjutan dan 2) memberi kemudahan akses DPLK melalui digitalisasi pensiun. Dan yang terpenting, butuh waktu dan proses yang tidak instan.

Baca juga  Rektor IPB Paparkan Syarat Pertanian Bertahan di Masa Pandemi COVID-19

Semoga saja suatu saat nanti di Indonesia. Buruh bangunan, pedagang gorengan, tukang las, pedagang jamu, driver ojol, atau pegawai warteg bisa difasilitasi dengan program pensiun yang sifatnya sukarela. Sebagai bagian pemenuhan hak mereka untuk mempersiapkan masa pensiun yang layak. Agar esok, ada obrolan di antara mereka, “saldo dana pensiun elo udah berapa sekarang?”. Bukan memberi tahu, “sudah beli apa hari ini?” Salam #YukSiapkanPensiun

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top