NETIZEN – BOGOR-KITA.com – Perubahan perilaku manusia dan kondisi lingkungan merupakan hal yang semakin tidak menentu pada masa kini. Hal yang menjadi kekhawatiran adalah perubahan yang menuju ke arah yang tidak baik.
Ironisnya awal tahun 2019, tindakan kekerasan yang dilakukan murid terhadap guru ataupun pegawai sekolah kembali terjadi. Kejadian pada tanggal 11 Februari 2019 murid SMP sebanyak 4 orang melakukan penganiayaan terhadap pegawai sekolah di Takalar, Sulawesi Selatan dan 12 Februari 2019 seorang murid mencekik guru di Gresik, Jawa Timur. Dunia pendidikan kembali tercoreng akibat perilaku murid yang melakukan penganiayaan terhadap guru maupun pegawai sekolah.
Seorang murid yang melakukan penganiayaan kepada orang lain, tidak hanya kepada guru tetapi juga temannya baik secara fisik maupun non fisik sebenarnya anak tersebut telah terganggu kesehatan perkembangan jiwanya. Hal tersebut bisa jadi dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya atau pengalaman hidupnya sehingga muncul sikap-sikap kekerasan kepada orang lain. Apa yang harus dibenahi untuk memperbaiki hal itu?
Sekolah merupakan sebuah tempat pendidikan formal seorang anak mulai berhubungan dengan lingkungan yang lebih luas. Tidak hanya dengan teman sebaya yang berstatus murid, namun mereka juga berelasi dengan orang-orang yang lebih tua di luar formasi keluarga awal. Namun, dalam kejadian penganiayaan murid terhadap gurunya maka kita perlu menoleh pada lingkungan masyarakat ataupun keluarga, karena mereka berada di sekolah kurang lebih hanya 8 jam sedangkan di luar sekolah adalah 16 jam baik itu di rumah ataupun di lingkungan perumahan.
Sebagai sebuah institut yang memiliki jurusan ilmu keluarga, apa kata mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan melihat dari sisi ilmu keluarga?
Menurut Rina Fatimah terkait penganiayaan siswa terhadap gurunya bahwa tentunya sangat disayangkan, ada murid yang memperlakukan gurunya dengan kekerasaan. Kita ketahui bersama, bahwa guru adalah seorang pengajar sekaligus pendidik bagi kita. Sebab, bukan hanya ilmu yang dibagikan tapi ada nilai kebaikan yg dibagikan oleh guru agar murid menjadi anggota masyarakat yang baik sehingga guru sudah selayaknya kita hormati dan hargai dengan menunjukkan sikap santun. Namun, di sisi lain kita juga tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada siswa yang menjadi pelaku tindak kekerasan tersebut. Bisa jadi perilaku siswa yang seperti itu merupakan produk belum optimalnya peran pengasuhan di keluarga dan peran sosialisasi di masyarakat.
Namun, anekdok tentang tidak ada asap jika tidak ada api. Mencari-cari kesalahan bukanlah jalan keluar dari penyelamatan dunia pendidikan saat ini. Anak, guru dan orang tua merupakan sebuah komponen yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial. Semua memiliki peran yang sama untuk menghapuskan kekerasan dalam dunia pendidikan. Manyalahkan salah satunya merupakan sebuah tindakan yang tidak bijaksana.
Gaya pengasuhan orang tua berpengaruh terhadap pembentukan karakter remaja. Solusinya perlu ada sinergi antara sekolah-masyarakat-orangtua. Masing-masing memiliki peran dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Salah satunya peran pengasuhan di dalam keluarga. Menurut Sunarti (2013), interaksi yg berlangsung antara anak dan orang tua dalam bentuk kasih sayang, pemberian pemenuhan kebutuhan anak, pengarahan dan perlindungan adalah bentuk pengasuhan.
Peran ibu sangatlah dominan untuk mengasuh dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berkualitas. Kualitas interaksi ibu-anak memberikan pengaruh yang postif dan signifikan terhadap kualitas anak, yaitu peningkatan kualitas interaksi ibu-anak akan selalu diikuti oleh peningkatan kualitas anak (Hastuti, 2015).
Pengasuhan memiliki peran penting dalam pembentukan pribadi anak. Hubungan antara anak dengan orang tua sangat penting, karena perasaan aman dan nyaman anak di dekat orang tua akan mampu menciptakan komunikasi yang baik. Dalam hubungan ini, orang tua akan memberikan panutan kepada anak tentang perilaku kebudayaan yang ada di sekitar dan keluarga adalah sekolah pertama dimana anak mengalami pendidikan sebelum berada di tengah masyarakat. Keluarga harus menciptakan komunikasi yang komunikatif kepada anak.
Sedangkan dari segi sekolah, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pengadaan kontrak kerja dari awal masuk sekolah bersama anak, orang tua dan guru, mengembangkan kembali adab-adab lokal atau budaya lokal yang mulai pudar yaitu menjaga sopan santun, dan optimalisasi layanan bimbingan konseling.
Kordinator Bidang Kaderisasi dan Organisasi, Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN) Nur Alam menuturkan bahwa bimbingan konseling sebagai media partner anak yaitu dengan mengusahakan pelayanan khusus bimbingan konseling yang profesional dalam bentuk pencegahan. Jika hal tersebut berjalan dengan baik, maka tindakan-tindakan penganiayaan akan dapat dicegah. Anak akan lebih serius untuk prestasinya karena layanan bimbingan konseling juga mempunyai layanan akademik dan pelayanan kesiapan masa depan anak. Selain itu, sekolah juga harusnya menyediakan unit kesehatan berbasis pelayanan kesehatan jiwa sehingga anak tidak hanya dilayani kesehatan fisiknya tetapi juga perkembangan jiwa. Sebab, seharian belajar di sekolah dengan tugas-tugas dan pelajaran membuat pengap, di lingkungan luar pun juga seperti itu. Sehingga jika semua tersedia, maka anak punya tempat curhat, tempat komunikasi, dan tempat penyelesaian masalah.
Pembentukan karakter anak tidaklah lahir begitu saja, ada proses yang dilewatinya sehingga proses tersebut pun menjadi karakter yang melekat dalam diri seorang anak. Anak adalah aset harapan masa depan bangsa, masa depan bangsa ada di tangan guru dan nasib Indonesia ditentukan oleh kualitas anak-anak bangsa. Mari bersinergi agar tindakan-tindakan kekerasan tidak lagi terulang.
Penulis : Adiara Firdhita Alam Nasyrah