Pakar IPB: Indonesia Mengalami Defisit Ekologi 42 Persen
BOGOR-KITA.com, DRAMAGA – Berdasarkan data Global Footprint Network tahun 2020, Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42 persen. Artinya konsumsi terhadap sumberdaya lebih tinggi daripada yang tersedia saat ini. Hal ini akan menyebabkan daya dukung alam terus berkurang, dan terjadinya kerusakan ekologi. Hal ini terjadi karena kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia masih belum memperhatikan modal alam secara serius.
Hal ini dikemukakan Guru Besar IPB University dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Prof Dr Akhmad Fauzi, dalam rilis dari IPB University kepada BOGOR-KITA.com, Senin (8/2/2021).
Prof Dr Akhmad Fauzi sebelumnya menjadi narasumber diskusi yang diselenggarakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat.
Prof Dr Akhmad Fauzi menyebutkan index modal alam Indonesia masih rendah yaitu di urutan 86. Padahal negara tropis umumnya ada di peringkat sepuluh besar urutan index modal alam.
Prof Dr Akhmad Fauzi juga mengatakan, terdapat kerusakan yang cukup masif pada alam di Indonesia.
Kerusakan alam ini misalnya disebabkan oleh alih fungsi lahan. Laju pencemaran lingkungan khususnya air juga tinggi. Selain itu keberagaman alam juga sudah semakin berkurang. Hal ini membuat perekonomian nasional kita melemah. Mengabaikan modal alam berakibat memperbesar angka ketimpangan ekonomi.
Prof Akhmad mngatakan, pembangunan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kelestarian lingkungan. Selain itu, kearifan lokal yang ada di masyarakat juga harus diperhatikan dengan baik.
Biasanya pembangunan yang menyertakan kearifan lokal masyarakat akan selaras dengan kelestarian lingkungan.
Sehingga penting bagi Indonesia untuk melakukan upaya dalam memperbaiki paradigma pembangunan ke arah yang lebih berkelanjutan.
Lebih lanjut Prof Akhmad menegaskan perlu reorientasi pengelolaan modal dalam pembangunan wilayah di Indonesia.
Strategi pertama adalah dengan mengembangkan faktor untuk meningkatkan kompleksitas produktivitas sumberdaya untuk meningkatkan nilai tambah sebuah produk.
Selanjutnya adalah memanfaatkan sumberdaya dengan kearifan lokal yang ada di masyarakat.
“Ekstraksi sumberdaya alam sering menimbulkan fenomena hysterisis. Yaitu dampaknya yang berlangsung lama meski penyebabnya sudah diatasi. Misalnya dampak akibat penggundulan hutan. Strateginya adalah menggunakan pengetahuan lama untuk melakukan sebuah terobosan baru. Membangkitkan ekonomi daerah lewat sumberdaya lokal, membangkitkan perekonomian daerah,” tambah Prof. Akhmad.
Terakhir, harga sumberdaya alam di pasar tidak mencerminkan kondisi sebenarnya yang di alam. Penting untuk memahami biaya yang harus dibayar oleh generasi selanjutnya akibat kerusakan dari alam. Ekstraksi sumberdaya alam bukan hanya untuk satu generasi saja. Tata kelola modal alam harus terus diperbaiki untuk kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang. [] Admin