Guru Besar IPB University Beri Usulan Atasi Kelangkaan Kedelai, Daging, dan Minyak Goreng
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Dewan Guru Besar (DGB) IPB University menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang membahas tentang kebijakan untuk mengantisipasi krisis pangan, belum lama ini. Ketua DGB IPB University Prof Evy Damayanthi, mengatakan FGD ini sebagai respon DGB IPB University terhadap persoalan pangan dalam beberapa waktu terakhir.
“Kami diberi tugas untuk membantu memikirkan persoalan bangsa sesuai dengan kepakarannya terutama terkait persoalan pangan khususnya untuk komoditas kedelai, minyak goreng, dan daging,” kata Prof Evy dalam sambutannya.
Dalam kesempatan itu, Guru Besar IPB Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM) IPB University Prof Muhammad Firdaus membuka fakta-fakta terkait kedelai di Indonesia. Sejak tahun 2019 dan 2021, produksi kedelai nasional menurun cukup signifikan, dari 424.289 ton menjadi 211.265 ton. Pada tahun yang sama, impor kedelai naik dari 87 persen menjadi lebih dari 90 persen dari total kebutuhan nasional sebanyak 2,8 juta ton.
“Saat ini harga kedelai di pasar internasional cenderung meningkat. Jika harga keseimbangan baru kedelai impor di atas 12 ribu per kilogram, maka harga kedelai lokal di atas 10 ribu per kilogram akan dapat memberikan pendapatan bersih meski tidak terlalu tinggi bagi petani,” kata Prof Firdaus.
Dari fakta tersebut, Prof Firdaus memberi usulan kebijakan untuk mengatasi krisis pangan di Indonesia. Ia memberikan usulan dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, kebijakan yang dapat dilakukan adalah membuka pintu kepada lebih banyak importir dan melakukan kerja sama bilateral dan Business to Business (B2B) untuk meningkatkan efisiensi logistik.
Adapun usulan yang bersifat jangka menengah atau panjang meliputi mempertimbangkan instrumen tarif untuk impor kedelai sehingga daya saing kedelai lokal dapat meningkat. Tidak hanya itu, perlu mempercepat penanaman kedelai di dalam negeri untuk captive market sebesar 1 juta ton.
“Perlu peningkatan efisiensi usahatani, baik penggunaan tenaga kerja (dominan) dan biaya input seperti pupuk dengan circular agriculture dan pengembangan varietas yang adaptif terhadap lahan kering disertai dengan penerapan teknologi hemat air,” ujarnya.
Selain kedelai, Prof Firdaus juga menyinggung terkait daging. Ia menyebut, selama tiga tahun terakhir, rata-rata produksi daging sapi nasional hampir 600 ribu ton. Masyarakat Indonesia sendiri mengonsumsi daging ruminansia sangat rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lain, apalagi negara maju.
“Dalam jangka pendek, kebijakan yang dapat dilakukan untuk lebih menjamin penyediaan daging ruminansia adalah dengan mendatangkan lebih banyak daging beku seperti India dan Pakistan, diiringi dengan efisiensi logistik melalui kerjasama bilateral dan B2B,” tuturnya memberi usulan.
Adapun dalam jangka menengah dan panjang, Prof Firdaus mengusulkan kebijakan mengurangi perilaku perburuan rente dengan memperbaiki struktur dan kinerja pasar sehingga mekanisme kartel dapat dihindari. Ia juga mengusulkan agar meningkatkan produktivitas ternak sapi dan kerbau lokal.
“Program seperti Sekolah Peternakan Rakyat (SPR), asuransi ternak, dan lain-lain harus lebih didorong. Korporasi peternak sapi harus dibangun secara serius. Kemudian produksi secara berkelanjutan daging ruminansia Indonesia sangat memungkinkan,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar FEM IPB University Prof Hermanto Siregar membahas terkait minyak goreng yang saat ini juga langka. Dalam jangka pendek, Prof Hermanto mengusulkan agar kebijakan yang dapat dilakukan saat ini terkait Domestic Market Obligation (DMO) dan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah dapat dilanjutkan dengan beberapa penguatan.
Ia mencontohkan, pemerintah harus fokus pada minyak goreng curah. Ia juga menyarankan agar dilakukan operasi pasar oleh BULOG atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perdagangan, bukan kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah.
“Pengawasan atau inspeksi dilakukan secara intensif untuk mencegah serta mengatasi masalah merembesnya minyak goreng curah ke minyak goreng kemasan,” katanya.
Adapun usulan dalam jangka menengah antara lain biodiesel untuk sementera diturunkan dari B30 menjadi B20 atau setidaknya B25. Sedangkan dari sisi konsumsi, Prof Hermanto menyarankan supaya implementasi kartu sembako murah bagi rumah tangga yang memang selayaknya memperolehnya.
“Dalam jangka panjang, produksi Crude Palm Oil (CPO) masih memungkinkan untuk ditingkatkan, terutama melalui peningkatan produktivitas. Ketahanan pangan harus diutamakan. Kemudian minyak goreng berbahan baku kelapa perlu didorong pengembangannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan kelompok menengah dan atas,” tuturnya. [] Hari