NETIZEN – BOGOR-KITA.com – Desentralisasi kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Di balik lahirnya kebijakan desentralisasi ini, terdapat tujuan meningkatkan kedewasaan demokrasi dan kemandirian daerah dalam mengelola sumber daya alam.
Negara memiliki motivasi mengurangi pengeluaran yang dialokasikan untuk pemerintah daerah, mengontrol pengelolaan hutan dan wilayah. Sementara pemerintah daerah butuh mendapat sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga implikasinya hutan banyak dijadikan sasaran eksploitasi untuk sumber PAD. Diskursus yang berkembang pemerintah daerah aktif mengambil inisiatif memperoleh kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya alam, desentralisasi menimbulkan perbedaan interpretasi, ketidakjelasan batasan tupoksi dan wewenang, serta masih sering ditemui tumpang tindih tata kelola antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Efek desentralisasi justru menunjukan ketidakteraturan tata kelola hutan yang meningkat, menjadi sumber konflik antar sesama pemerintah daerah maupun pemerintah dengan pemerintah pusat. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah ini disebabkan oleh isi dan konsep kebijakan yang salah, ataukah pada implementasi kebijakannya. Fakta di lapangan banyak menggambarkan tidak siapnya pemerintah daerah dalam mengelola hutan, akibat keterbatasan pengetahuan, informasi, daya interpretasi dan kapasitas manajerial.
Berbagai peraturan daerah dan ijin yang dikeluarkan bermotif legalisasi penebangan kayu, padahal ilegal menurut Departemen Kehutanan. Motif ini menjadi penyelesaian jangka pendek atas minimnya subsidi pembangunan daerah sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi. Rendahnya kapasitas manajerial dan penggunaan nilai publik oleh pemerintah daerah dalam menyiasati politik lokal masyarakat juga menimbulkan berbagai konflik baru, sebab masyarakat memandang desentralisasi sebagai aktualisasi akses dan hak mereka yang selama ini dibatasi terhadap sumber daya alam.
Implementasi kebijakan desentralisasi ini melibatkan interaksi dan proses transfer informasi, kepentingan, jaringan, dan perebutan sumber daya dari berbagai aktor, diantaranya adalah pemerintah daerah sebagai pelaksana, pemerintah pusat, masyarakat, pelaku industri dan juga LSM dengan masing-masing prefensi kepentinganya.
Interpretasi masyarakat dengan kewenangan akses sumber daya yang besar berdampak pada semakin lemahnya daya industri kayu, sebab pelaku industri perlu menegosiasikan akses sumber daya alam pada aktor disetiap level dan unit di pengelolaan tingkat tapak (KPH). Soal tertutupnya akuntabilitas dalam tata kelola juga meningkat menjadi preferensi sendiri sebagai akar lahirnya korupsi. Budaya patrimonialisme di pemerintah daerah tumbuh subur, juga gaya korupsi “one stop shop” yang terpusat menjadi sistem sistematik yang terfragmentasi dan terdesentralisasi. Persoalan ini juga lahir akibat ketidakjelasan pembagian dan pembatasan wewenang antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, tidak adanya standar pengelolaan hutan yang disepakati bersama, sehingga lebih banyak substansi desentralisasi tidak berjalan.
Terhambatnya implementasi desentralisasi dominan oleh persoalan kapasitas, kejelasan wewenang dan kemampuan leadership pemerintah daerah yang belum memadai, sehingga justru menimbulkan berbagai persoalan dan konflik baru. Upaya perbaikan perlu diperkuat dengan perbaikan struktur kelembagaan di tingkat tapak pengelolaan hutan, kejelasan fungsi, tupoksi, dan wewenang. Fokus pada outcome¸bukan administratif yang menjadi parameter, sehingga penggunaan ilmu pengetahuan yang komprehensif diperlukan. ilmu pengetahuan ini berimplikasi kuat pada perbaikan kualitas SDM yang mengelola hutan, sehingga daya interpretasi dan kemampuan manajerial mendekati substansi tata kelola yang seharusnya. [] Admin
Oleh: Muhammad Indarwan Kadarisman, Mahasiswa Pascasarjana IPB University