Nasional

Denyut Ramadhan di Tengah Pandemi Covid-19

Oleh: Faisal Wibowo

(Alumni PKU Angkatan XI MUI Kabupaten Bogor)

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Sebagai ummat Islam, kita patut bersyukur kepada Allah karena sampai saat ini masih dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan, yaitu bulan yang di dalamnya penuh dengan anugerah, rahmat, berkah, dan ampunan-Nya.

Namun, Ramadhan yang kita lakukan di tahun ini terasa sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Hari ini kita melaksanakan ibadah Ramadhan di tengah wabah pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) yang telah menjangkiti jutaan bahkan menewaskan ratusan ribu orang di berbagai negara termasuk Indonesia.

Wabah ini menimbulkan banyak perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Secara sadar atau tidak, pandemi Covid-19 ini telah mengubah cara berpikir, berperilaku, dan berinteraksi kita terhadap orang lain. Perlahan namun pasti, pandemi ini telah mendefinisikan sebuah “pola baru” (the new pattern) kehidupan manusia.

The new pattern yang dimaksud adalah kondisi di mana masyarakat harus membiasakan diri melakukan kegiatan yang tidak lazim dilakukan, seperti memakai masker setiap keluar rumah, selalu cuci tangan dengan sabun, bekerja dari rumah (Work From Home), berdagang dari rumah, belajar di rumah, dilarang berkumpul atau bekerumun lebih dari lima orang, selalu jaga jarak (physical distancing) minimal satu meter, tidak berjabat tangan, sampai tidak boleh saling berpelukan, dengan tujuan untuk menekan penyebaran Covid-19.

Harian The New York Times, Selasa (21/4/2020), menyebutkan kondisi seperti ini tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir, kondisi ini akan terus berlangsung sampai vaksin atau obat untuk menghentikan virus tersebut dapat ditemukan.

Bagi ummat Islam, ritual ibadah puasa Ramadhan di tengah pola baru kehidupan manusia (the new pattern) akibat Covid-19 ini tetap wajib dilaksanakan sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 183 – 184. Kedua ayat tersebut menjadi landasan teologis yang dianggap cukup kuat dalam memberikan pemahaman kepada kita, jika ada narasi yang mengatakan kewajiban berpuasa Ramadhan tahun ini ditunda atau dibatalkan dengan argumen, bahwa dengan tidak berpuasa Muslim dapat mempertahankan atau meningkatkan imunitas menghadapi virus korona, maka tegas dikatakan bahwa pernyataan itu sangat tidak relevan.

Baca juga  PSBB Hari ke-10 di Jakarta: Penularan Masih Tinggi, Bertambah 108 Menjadi 3.032 Orang

Justru sebaliknya, dengan berpuasa akan meningkatkan imunitas tubuh. Dikutip dari laman Universitas Gajah Mada (UGM) ugm.ac.id pada Sabtu (25/4/2020), ahli Gizi UGM R. Dwi Budiningsari, SP., M. Kes., Ph. D., menyebutkan bahwa puasa mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh atau imunitas. Ia mengatakan, belum ada studi yang menyatakan berpuasa berisiko meningkatkan infeksi Covid-19.

Cendekiawan Muslim Prof. Dr. Azyumardi Azra dalam Harian Kompas (25/4/2020) mengatakan, ibadah puasa dan ibadah lainnya di bulan Ramadhan tidak bisa dibatalkan atau ditunda, namun kaifiyyat, tata cara pelaksanaannya bisa dimodifikasi, hal ini berkaitan erat dengan prinsip penting dalam Islam tentang maqashid al-syari’ah.

Para ulama telah sepakat menetapkan lima hal dalam maqashid al-syari’ah, yaitu: menjaga agama (hifz al-din), menjaga jiwa/kehidupan (hifz al-nafs), menjaga akal pikiran (hifz al-‘aql), menjaga keturunan (hifz al-nasl) dan menjaga harta (hifz al-mal).

Berdasarkan prinsip hifz al-nafs (menjaga jiwa/kehidupan), beberapa ibadah di bulan Ramadhan dimodifikasi kaifiyat-nya, contoh dalam pelaksanaan shalat Tarawih yang biasanya dilaksanakan secara berjama’ah di masjid, I’tikaf atau berdiam diri di masjid untuk membaca al-Qur’an atau berdzikir, Ifthar Jama’i atau buka puasa bersama di masjid, kini cukup dilakukan di rumah.

Badan atau lembaga fatwa di berbagai negara dunia muslim seperti Al-Azhar Mesir, Arab Saudi, dan Indonesia melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memfatwakan atau merekomendasikan agar praktik ibadah yang mengundang banyak orang baik di masjid, mushola, dan majlis ta’lim sebaiknya dilakukan di rumah masing-masing.

Upaya ini dilakukan sebagai bentuk ikhtiar agar tidak terjadi penularan dan penyebaran Covid-19 yang semakin meluas.

Ikhtiar para ulama ini diperkuat oleh kebijakan pemerintah, baik di pusat maupun daerah dengan memberlakukan kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Baca juga  DPR Sahkan Omnibuslaw, KSPI Tolak Keras UMK Bersyarat

Adapun dalam konteks daerah, Kabupaten Bogor telah mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 16 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Sekilas mengenai PSBB di Kabupaten Bogor, kebijakan ini dinilai sebagian pengamat dan akademisi cukup tepat sekalipun belum memberikan dampak yang signifikan dalam upaya pencegahan penularan Covid-19.

Oleh karenanya Pemerintah Kabupaten Bogor akan mempertimbangkan kembali untuk memperpanjang PSBB seperti yang dilakukan DKI Jakarta. Bupati Bogor Ade Yasin di berbagai media mengatakan, PSBB ini harus terintegrasi antara DKI Jakarta dengan wilayah perbatasan seperti Bogor, Depok, dan Bekasi, sementara sampai artikel ini ditulis kebijakan PSBB ini belum terintegrasi dengan baik.

Berdasarkan evaluasi selama penerapan PSBB di Kabupaten Bogor, kesadaran masyarakat dalam menyikapi PSBB masih rendah, masih banyak masyarakat yang belum patuh terkait standar protokol kesehatan dan juga pembatasan aktivitas sosial. Artinya, PSBB ini akan berjalan sukses jika didukung oleh kesadaran yang tinggi dari masyarakat. Spirit PSBB yang dicanangkan oleh pemerintah ini sebenarnya telah sesuai dengan prinsip syariat Islam dalam memelihara jiwa manusia dari ancaman dan marabahaya (hifz al-nafs).

Oleh karenanya, kita sebagai masyarakat muslim harus mematuhi aturan yang telah dibuat oleh pemerintah terkait kebijakan PSBB tersebut dengan melaksanakan semua aktivitas ibadah Ramadhan di rumah saja.

Di tengah pandemi Covid-19 yang kemudian memunculkan pola baru kehidupan manusia (the new pattern) jangan sampai melupakan tujuan ibadah puasa yang sesungguhnya, yakni meraih predikat taqwa. Karena tujuan utama berpuasa adalah La’allakum Tattaquun yakni menjadi hamba Allah yang bertaqwa. Menjadi hamba Allah yang bertaqwa melalui puasa prasyaratnya ialah harus dilandasi dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.

Namun tidak cukup sampai disini saja, untuk memperoleh predikat taqwa di tengah pola baru kehidupan manusia (the new pattern), kita bisa belajar dari seorang Sufi tersohor bernama Jalaludin Rumi yang memberikan perhatian khusus kepada bulan Ramadhan melalui untaian puisi-puisinya.

Baca juga  MPR RI Jalin Kerjasama Pendidikan dengan FH UNPAD

Rumi menggambarkan puasa sebagai Band-e dahan atau penutup mulut. Karena dengan berpuasa, kita dituntut tidak hanya menahan lapar dan haus saja, namun juga mengontrol pembicaraan agar tidak menyakiti orang lain, misalnya berkata kasar, menggunjing, berbohong, memfitnah, dan sebagainya. (Divan-e Shams, puisi ke 634).

Rumi juga mengilustrasikan puasa sebagai kendi yang menampung air jernih. Jika kita tidak berpuasa, maka seperti memecahkan kendi yang dipenuhi air, artinya kita akan kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam kehidupan. (Rubai, puisi ke 1642). Dalam puisi yang lain, Rumi menyebutkan: Berpuasalah dengan segenap jiwa, karena puasa adalah raja dari segala obat. (Matsnawi, jilid 5, bait 2832).

Selain itu, Rumi menjelaskan: Meski nafsu manusia sekuat Rustam (tokoh pahlawan tertinggi dalam mitologi Persia) tapi puasa mampu menahannya. Satu bait puisi Rumi berikut ini patut diketengahkan karena memiliki nilai spiritual yang tinggi:

Meski ragamu kan memucat sebab puasa,

Namun jiwamu kan melembut bagai sutra,

Do’a-do’a di bulan ini mustajab,

Pintu-pintu langit kan terbuka,

Yusuf menjadi pemimpin Mesir yang dicintai,

Sebab ia berabar dalam sumur gelap tak terperi.

(Rumi, Divan-e Shams, puisi 2344)

Melalui larik-larik puisi di atas, Rumi memberikan gambaran singkat tentang pengaruh puasa secara medis dan psikologis, namun sebetulnya jika ditelisik lebih seksama, Rumi mengajak kita untuk mengelaborasi lebih dalam dunia spiritual dan melangkah lebih jauh memaknai puasa secara transendental.

Kita tetap optimis dan yakin di tengah pola baru kehidupan manusia (the new pattern) akibat Covid-19 ini, perjalanan Ramadhan kita tetap bisa berjalan lancar sampai hari kemenangan tiba. Meminjam bahasa Rumi, kita sedang melakukan perjalanan spiritual yang berakhir dengan “jamuan rohani” dari Tuhan Yang Maha Suci.  []

 

1 Comment

1 Comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top