Kota Bogor

Dilema Independensi Kejaksaan

Raden Muhammad Mihradi S.H., M.H.,

Oleh

R Muhammad Mihradi SH MH

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif

dan Dosen FH Universitas Pakuan 

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Kejaksaan sebuah lembaga secara normatif ditempatkan dalam dilema berkepanjangan. Di satu sisi, UU Nomor 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) pada Pasal 2 ayat (1) menempatkan kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan. Di sisi lain, kejaksaan merupakan bagian tafsir konstitusi dalam bentuk undang-undang yang memaknai sebagai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat (2) dan (3) UUD 1945 jo Pasal 38 ayat (1) dan (2) serta penjelasannya UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman/UU Kekuasaan Kehakiman). Karena berkaitan kekuasaan kehakiman, maka terikat karakter kekuasaan kehakiman yang independen dan merdeka. Menurut Asrun dalam disertasinya, independensi—dalam konteks peradilan maupun kekuasaan kehakiman—selalu dicirikan oleh dua hal yaitu ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insurality) (Andi M Asrun, 2004:51-52). Tulisan ini hendak menyisir dilema independensi kejaksaan dari sudut hukum tata negara.

Rahim Eksekutif

Sebenarnya, diskursus kejaksaan bisa dikupas dari sudut diskursus ajaran klasik trias politica Montesqueiu yang memisahkan baik organ maupun fungsi dari kekuasaan negara menjadi tiga jenis kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan judicial. Tujuan dari ajaran pemisahan kekuasaan negara menurut Jeffrey M Berry dan Jerry Goldman dalam buku The Challenge Democracy adalah “separation of powers safeguards liberty by ensuring that all government powers does not fall into the hands of a single person or group of people”. Ini untuk menghindari otoritarian di satu sisi dan di sisi lain melembagakan saling awasi dan uji (checks and balances) antar kekuasaan negara. Meski ajaran Montesquieu di berbagai negara tidak murni dianut. Namun, prinsip lembaga kekuasaan kehakiman atau peradilan harus bebas dari pengaruh, campur tangan maupun intervensi kekuasaan lain, itu menjadi hal niscaya.

Baca juga  Usmar Berharap YPMP Terus Fasilitasi Pendidikan Anak Dhuafa

Persoalannya, dari segi sejarah, khusus lembaga kejaksaan memang lahir dari fungsi penuntutan di bawah raja (eksekutif). Maka, tidak heran, di berbagai negara, tidak seragam menempatkan posisi kejaksaan—khususnya di zaman negara hukum modern. Ada yang di bawah eksekutif, seperti Perancis, Belanda dan termasuk Indonesia (dengan segala perdebatannya). Ada yang di bawah parlemen (meski janggal kedengarannya) seperti Hunggaria. Ada pula yang masuk kekuasaan yudikatif, seperti Bulgaria dan Italia. (Antonius, https://media.neliti.com/media/publications/210282-tugas-dan-kedudukan-lembaga-kejaksaan-se.pdf).

Bagimana dengan Indonesia? Indonesia memang ditempatkan dalam dilema. Di satu sisi, UU Kekuasaan Kehakiman menempatkan kejaksaan melakukan fungsi penuntutan sebagai badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Namun di sisi lain, UU Kejaksaan menyebut tegas sebagai lembaga pemerintahan. Yang uniknya, di UU Kejaksaan pada Pasal 2 ayat (2) kejaksaan menjalankan kekuasaan negara yang dilaksanakan secara merdeka. Lalu, penjelasan Pasal 2 ayat (2)nya ditegaskan bahwa yang dimaksud merdeka adalah dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Maka, rumusan ini menjadi kontradiksi, di satu sisi, kejaksaan adalah lembaga pemerintahan namun di sisi lain harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan di mana dirinya masuk didalamnya (bahkan struktural karena jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden, bahkan pada pasal lain sering disebut jaksa adalah pengacara negara dalam kasus perdata dan tata usaha negara karena mendapat kuasa khusus bertindak atas nama negara—vide Pasal 19 ayat (1) dan (2) serta Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan).

Baca juga  Achmad Ru’yat Diprediksi Lolos DPR RI

Memutus Dilema

Konsekuensi mendua selalu konflik kepentingan. Bahkan terdapat jaksa yang merangkap secara fungsional di bawah kejaksaan sekaligus pula menjadi  struktural sebagai kepala bagian hukum pada pemerintah daerah. Meski dimungkinkan secara aturan, karena jaksa adalah PNS, namun bagaimana logikanya jaksa yang mengawasi pemerintah daerah dari sisi legal malah menjadi bagian yang diawasi. Demikian pula posisi jaksa yang merangkap menjadi anggota Tim Pengawalan, Pengamanan, Pemerintahan, dan Pembangunan Pusat-Daerah (TP4D) yang bertugas mengawasi jalannya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun lalu malah terdapat oknum jaksa tertangkap tangan dalam OTT KPK pada saat pengawasan dilakukan (kasus oknum jaksa di kejari yogyakarta lihat https://regional.kompas.com/read/2019/08/22/18393821/jaksa-kejari-yogyakarta-yang-jaditersangka-suap-di-kpk-terancam). Ini diawali dari kewenangan memberikan konsultasi hukum pada kementerian dan pemda namun kemudian tergelincir yang dilakukan oknum jaksa tertentu. Maka, sepenuhnya tidak bisa disalahkan pada personal semata (entah kurang takwa, kurang iman dan sebagainya) namun sistem normatif yang memaksa di situasi konflik kepentingan.

Baca juga  Kelas Jalan Tidak Dibenahi, Zero ODOL Tidak Dapat Diterapkan

Ke depan, harus ada penegasan independensi kejaksaan. Jika perlu melakukan amandemen ke-V UUD 1945 agar jaksa menjadi lembaga negara berfungsi penuntutan yang lepas dari kekuasaan kehakiman sekalipun. Atau dieksplisitkan bagian dari kekuasaan kehakiman. Dengan begitu, enerji konflik kepentingan dapat dipatahkan. Jika hal itu dapat dilakukan maka ini selaras dengan tuntutan global di mana  hasil dari konferensi di Seoul Korea Selatan bulan September 1990 disepakati salah satu kriteria jaksa agung yang independen dan profesional adalah tidak di bawah kekuasaan atau kontrol personal, termasuk kekuasaan eksekutif. Sebab esensialnya, jaksa adalah penegak hukum. Sehingga layak posisinya dibersihkan dari anasir non hukum yang akan mempengaruhi wataknya sebagai kejaksaan bermartabat, merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan. []

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top