BOGOR-KITA.com – Jika Pilkada Kota Bogor digelar bulan depan, maka Bima Arya Sugiarto diyakini akan muncul sebagai favorit pemenang. Sedang Sugeng Teguh Santoso (STS) menjadi kuda hitam. Calon-calon lain bukan tidak diperhitungkan, tetapi adalah Bima dan STS yang samoai hari ini nyaris tiada hari tanpa berinteraksi dengan masyarakat. Keduanya juga cerdik memanfaatkan publikasi media massa untuk mengumpulkan poin poin popularitas sebagai salah satu dasar untuk mendirikan bangunan elektabilitas setingi-tingginya.
Mengapa Bima disebut favorit pemenang? Karena sebagai petahana atau incumbent, Bima berada dalam posisi paling diuntungkan. Sebagai petahana, Bima selalu harus menjalankan tugas pemerintah berinteraksi dengan seluruh lapisan masyarakat, baik dalam rangka sosialisasi kebijakan, koordinasi, motivasi dan lain sebagainya. Dalam interaksi itu, terjalin komunikasi yang bersifat kedinasan tetapi bisa berkembang menjadi komunikasi politik.
Kalau nakal, petahana bahkan berpeluang mengarahkan kebijakan kota untuk kepentingan pencalonannya dalam pilkada, misalnya dengan mengarahkan dana-dana pemkot untuk memperluas jejaring partai pendukung, atau memperluas jejaring simpatisan calon pemilih. Semua itu bisa dilakukan secara gratis, alias dibiayai oleh dana APBD Pemerintah Kota. Sejak terpilih jadi walikota tahun 2013, mungkin sudah semua lapisan masyarakat Kota Bogor yang sudah berinteraksi dengan Bima Arya. Pesan-pesan positif yang tertinggal dalam ingatan masyarakat itulah yang menjadikan, petahana Bima Arya sebagai favorit pemenang.
Sementara STS sangat gigih nyaris tak kenal lelah bergeriliya bertemu dengan berbagai kelompok masyarakat. Dia juga rajin bergaul dengan berbagai kelompok aktivis, baik aktivis mahasiswa, pemuda, dan lain sebagainya. Kegigihannya yang tak kenal lelah ini yang kemudian secara perlahan menjadikannya sebagai sosok yang semula dianggap bukan siapa siapa dalam konteks Pilkada Kota Bogor, menjadi seseorang yang mulai diperhitungkan. Oleh saebab itu, apabila pilkada digelar bulan depan, maka STS adalah kuda hitam. Dalam olah raga, kuda hitam adalah peserta pertandingan yang semula tidak diperhitungkan, tetapi akhirnya berhasil menjadi pemenang.
Mengapa kuda hitam? Walau jangkauan interaksinya belum seluas jangkauan Bima, tetapi ibarat mobil, STS sudah menekan pedal gas kecepatan tinggi, yang mungkin jauh lebih tinggi ketimbang kandidat lain yang masih dalam tahap memanaskan mesin mobil sebelum memicunya kencang pada saat yang tepat jelang pilkada.
Menghitung Peluang
Status STS sebagai kuda hitam, mungkin akan mengalami perubahan jika kandidat lain mulai memicu mesin politiknya dalam kecepatan tinggi pula. Jika kandidat lain sudah mulai memicu mesin politiknya lebih kencang, STS bisa kalah cepat mengingat mesin politiki STS adalah mesin perseorangan sedang mesin kandidat lain adalah mesin partai politik. Mesin partai politik sudah barang tentu memiliki jangkauan yang lebih luas karena sudah memiliki struktur di seluruh wilayah pemilihan. Partai politik tentunya juga memiliki adventage berupa basis suara, setidaknya sebanyak kartu tanda anggota dan pengalaman dalam pemilu sebelumnya. Jika pengurus partai digerakkan secara simultan dengan simpatisannya, maka dalam sekali gerak bisa menjangkau area pemilihan yang lebih luas dan mengikat calon pemilih dalam jumlah yang lebih banyak.
STS memang sudah mengambil formulir dari PDIP. Tetapi sampai sejauh ini, PDIP belum bekerja untuk STS. Beda dengan ketua partai. Walau timing memanaskan mesin menunggu watu yang tepat, tetapi ketika mesin sudah dipanaskan, seluruh organ partai dan simpatisan bisa bergerak secara simultan sehingga daya jelajah dan penetrasinya bisa dipacu tinggi dan menyalip kegigihan STS yang hanya menggunakan mesin perseorangan.
Perjalanan waktu akan menentukan apakah STS tetap menggunakan mesin perseorangan atau menggunakan mesin PDIP atau partai lain atau gabungan beberapa partai. Tetapi apabila pilkada dilakukan bulan depan, STS adalah kuda hitam yang berpotensi mengalahkan Bima Arya sebagai favorit pemenang. Setidaknya STS memiliki peluang yang bisa dikatakan cukup besar. Peluang itu terkait dengan golput (golongan putih) yang jumlahnya sangat besar di Kota Bogor.
Pada Pilkada Kota Bogor 2013, jumlah pemilih yang memiliki hak pilih mencapai 673.938 orang. Mereka terdaftar sebagai pemilih tetap. Dari jumlah ini hanya 63,4 persen saja yang mengunakan hak pilihnya. Yang golput mencapai sekitar 270 ribu orang. Sebuah angka yang jauh lebih besar ketimbang suara yang diperoleh pasangan Bima – Usmar yang keluar sebagai pemenang Pilwakot Bogor tahun 2013.
Bima – Usmar pada Pilwakot 2013 yang didukung PAN, Demokrat, PBB, PKB, dan Gerindra, hanya memperoleh 132.835 suara, atau tidak sampai setengah suara golput yang mencapai 270 ribu orang. Perolehan suara Achmad Ru’yat-Aim Halim Hermana yang didukung PKS, PPP, Hanura, hanya 131.080 suara. Pasangan Dody Rosadi-Untung W Maryono yang didukung seabrek partai meliputi PDI-P, Golkar, PKPI, PDS, PDK, PPN, PNBKI, PIS, PNIM, PKNU, PPDI, PPRN, PPI, Barnas, PBR, hanya memperoleh 67.715 suara. Pasangan Syaiful Anwar- Muztahidin Al Ayubi (independen) bahkan hanya 43.448 suara. Dengan kata lain, pemenang Pilwakot Bogor 2013 yang sesungguhnya adalah kaum golput dengan “perolehan suara” mencapai sekitar 270 ribu orang, atau lebih dua kali lipa dari suara Bima – Usmar. Suara golput inilah salah satu peluang besar STS dalam memnangi Pilwakot Juni 2018 mendatang.
Menggerakkan Golput
Mengapa golput dikatakan peluang besar untuk STS?
Golput adalah masyarakat yang memiliki hak pilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya. Setidaknya ada tiga faktor penyebab golput.
Pertama, orang yang tidak mengerti, tidak peduli politik, malah takut politik. Masyarakat seperti ini disebut tipe budaya politik parokial. Masyarakat tipe ini pada umumnya buta huruf, miskin dan mungkin hidup terisolir di pinggiran desa.
Kedua, pemilih yang sedang berada di luar kota atau orang sangat sibuk saat hari pencoblosan. Masyarakat tipe seperti ini bisa disebut sebagai masyarakat dengan tipe budaya politik kaula (subjek). Mereka ini melek politik dan tidak miskin. Namun, mereka pesimis bisa ikut berperan dalam merumuskan kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, mereka memilih melakukan pekerjaan yang ada ketimbang mencoblos.
Ketiga, pemilih yang sangat melek politik, tetapi pesimis atau sudah tidak percaya terhadap partai dan kandidat. Mereka ini disebut masyarakat dengan tipe budaya politik partisipan, yaitu masyarakat yang melek dan mengusai persoalan pemerintahan, tetapi tidak yakin pemerintah bisa membawa perubahan.
Apa pun alasannya, sebagian besar golput adalah kelompok masayarakat yang pada umumnya melek politik, tetapi pesimis dengan peranan pemerintah sebagai agen yang bisa membawa masyarakat ke arah yang lebih baik.
Secara umum mereka ini dapatlah disebut akan termotivasi mencoblos apabila ada suatu yang diyakini bisa membawa perubahan, bukan untuk kebaikan diri mereka, melainkan untuk kebaikan masayarakat.
Dalam istilah yang sekarang sedang populer, mereka ini adalah kaum populis.
Dalam konteks Bima dan STS, maka kaum golput ini di atas kertas lebih dekat dengan STS. Alasannya karena Bima adalah orang partai dan sedang memerintah sebagai walikota. Sementara STS adalah pengacara, dan menjabat sebagai sekretaris jenderal di sebuah organisasi pengacara tingkat nasional, tetapi mampu bersikap sebagai orang kebanyakan dan saat ini mengusung isu penegakan hukum dan keadilan.
Masalahnya, mampukan mesin perseorangan STS menghidupkan kaum golput yang berjumlah 270 ribu itu menjadi pemilih yang aktif?
Jika setengah saja dari mereka tergerak untuk mencoblos, maka posisi STS sebagai kuda hitam (underdog) berubah menjadi the winner. []Petrus Barus