Oleh: Muhd Indarwan Kadarisman
BOGOR-KITA.com – Kita sudah jauh berjalan dengan kehidupan bersama dengan suka dan dukanya. Kita sudah jauh melangkah dengan segala pencapaian dalam hidup, banyak yang memuji tapi juga tidak sedikit yang mencela. Ada rasa syukur namun tidak jarang juga muncul keluhan.
Sedikit saja keluhan itu muncul, namun jika akhirnya sering dan terus menerus ia pun akan merenggut ketenangan jiwa dan batin. Ia juga bisa merenggut nilai-nilai dan keindahan dari tuma’ninah qalbiyah yang ada di hati orang-orang beriman, ia bisa merusak keindahan qalbu yang selalu membersamai Rabb-Nya. Maka sudah seyogyanya kita selalu meminta untuk dijaga hati ini agar selalu dalam petunjuk-Nya.
Ketenangan dan keindahan jiwa lahir dari hati yang hidup, hati yang bersih, hati yang penuh dengan cahaya cinta-Nya. Hati yang hidup akan mampu menangkap sebanyak mungkin hikmah, pesan, dan segala entitas nilai dalam kehidupan sebagai bagian dari proses kehidupan yang menghambakan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, Allah swt.
Sejalan dengan kehidupan yang kita jalani sampai titik ini, ada sejumlah lintasan pikiran yang tidak sempat tertulis, ada suara gaduh yang kadang memekakan telinga, ada pemandangan indah yang terlewatkan, ada moment yang juga tidak sempat terdokumentasikan. Ada kesempatan untuk berkarya yang terlewatkan, ada waktu yang tidak termanfaatkan, ada senyum yang tidak sempat dibalas, dan ada nikmat yang tidak sempat disyukuri.
Hidup layaknya seperti sebuah roda, kadangkala kita di atas dan kadang di bawah. Semuanya memberi pesan bahwa hidup adalah proses belajar yang tiada henti, hidup juga proses mengabdi pada Tuhan.
Ramadhan membawa pesan indah untuk setiap insan dan hamba Allah, “mari kita berhenti sejenak.”
Berhenti untuk merefleksikan kehidupan ini, berhenti untuk menengok kembali “sesaat saja” apa yang sudah kita lakukan dalam hidup, dan menengok tinggal berapa saat lagi kehidupan ini masih akan dirasakan.
Berhenti sejenak bukan berhenti dalam waktu yang lama, namun sekadar dan sesaat untuk melihat kembali entitas diri ini diciptakan.
Sejatinya kehidupan adalah sebuah misteri, seperti rejeki yang kemanapun kamu berlari dan bersembunyi maka ia akan tetap mengejarmu dan engkau pun akan mendapatkannya.
Sama seperti ajal, walaupun kamu mendatangkan semua kekuatan dan bersembunyi di belahan bumi mana pun, jika sudah tiba ajal, maka saat itu pun nyawa akan dicabut dari tubuh.
Jadi mari berhenti sejenak di sini, kita memerlukan saat-saat untuk melepaskan kelelahan, kepenatan, kegusaran dan kekhawatiran yang bisa mengurangi ketajaman hati. Kita memerlukan saat-saat untuk mengisi kembali energi kita, saat-saat untuk tersenyum syahdu sebagai kesyukuran akan hidup ini.
Seperti kata seorang sahabat Rasulullah saw Ibnu Mas’ud: “Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak.”
Duduk menguatkan kembali ukhuwah yang sempat renggang, duduk untuk menguatkan kembali cinta yang pernah rapuh, dan duduk untuk kembali menguatkan komitmen cinta pada agama dan Allah sang pembolak-balik hati.
Kita berhenti sejenak dalam ramadhan ini untuk untuk membersihkan debu-debu yang sempat menempel dalam hati, mengisi kembali energi iman, bahwa kita akan tetap teguh memegang iman sampai nafas terakhir yang ditetapkan-Nya untuk menuju surga-Nya.
Hari-hari yang panjang dalam kehidupan yang telah kita lalui, telah menguras segala energi itu. Maka majelis iman dalam ramadhan menjadi moment tarbiyah (pendidikan) untuk membentuk pribadi rabbani, dan menumbuhkan iman yang berkesinambungan.
Iman adalah wujud hakikat, ia adalah sesuatu yang menghujam di dalam jiwa dan bertransformasi menjadi perbuatan. Iman lahir dari hati yang hidup, karena hati yang hidup ini menjadi perantara turunnya hidayah Allah sebagaimana hadist Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Muslim, “Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk tubuhmu dan hartamu tetapi ia memandang hatimu dan amal perbuatanmu.”
Tanpa hati yang hidup dan dipenuhi cahaya keimanan, sejatinya manusia telah mati meskipun secara fisik masih hidup.
Allah mengingatkan kita melalui ayatnya (Qs. Al-An’am: 122): “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat dikeluarkan daripadanya ?”
Oleh karenanya, ramadhan ingin berkata agar manusia menjaga hati, merawatnya agar tidak rusak oleh banyaknya debu, dan melembutkanya agar senantiasa basah oleh cinta-Nya.
Ramadhan mengajak kita untuk merindu kembalinya Iman. Iman melahirkan ketaqwaan sebagaimana tujuan puasa dalam bulan ramadhan (Qs: Al-baqarah: 183): “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
Taqwa menjadi outcome yang diharapkan hadir dan tumbuh dari ramadhan, taqwa menjadi signal suburnya iman dalam hati seorang hamba, dan taqwa menjadi predikat yang diharapkan dari Allah swt. Kehidupan yang sejatinya bukanlah sesuatu yang stabil, ia penuh dengan ketidakpastian akan ketentuan Allah, sehingga taqwa menjadi jalan untuk menerima segala ketentuan dan ketatapan-Nya.
Seperti konsep hidupnya seorang abdi Allah, bukan apa yang ingin aku lakukan, tapi apa yang Allah inginkan dari diriku, dan apa yang Allah tetapkan dariku. Konsep taqdir memerlukan iman yang kokoh untuk memahami dan menjalankan kehidupan dengan entitas kesyukuran dan keyakinan pada qada qadar.
Ajakan ramadhan untuk berhenti sejenak sejatinya juga untuk menumbuhkan makna kekhusyukan dalam kehidupan. Mengintegrasikan semua nilai iman, menumbuhkan taqwa dan menghadirkan hati dan merindu pada-Nya.
Kata Allah dalam firman-Nya: “Belumkah datang saat bagi orang-orang yang beriman untuk mengkhusyukan hati dalam mengingat Allah dan dalam menjalankan kebenaran yang diturunkan. Dan bahwa hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang telah diberikan Alkitab sebelumnya (di mana) ketika jarak antara mereka (dengan sang rasul) telah jauh, maka hati-hati mereka menjadi keras, dan banyak dari mereka menjadi fasik” (Qs: Al-Hadid:16).
Maka ramadhan yang sekarang kita dapatkan sudah seharusnya menjadi momentum untuk menumbuhkan kekhusyukan hati, senantiasa mengingat Allah dan menjadikannya setiap moment sebagai bagian dari dzikir kepada-Nya.
Tahukah kita, bahwa penduduk surga pun ternyata mereka menyesal sejadi-jadinya, mereka menangis dan ingin kembali walau sedetik saja ke dunia untuk memperbaiki hidupnya. Mereka penduduk surga menyesal karena ada satu bagian, satu moment, satu hembusan nafas atau satu detak jantung dalam hidup mereka yang terlewatkan tanpa berdzikir dan mengingat Allah.
Maka, berhentilah sejenak untuk merindu pada-Nya, berhentilah sejenak untuk menangis kepada-Nya, maka berhentilah sejenak untuk memohon ridho-Nya, berhentilah sejenak untuk diberikan akhir hidup yang baik (khusnul khatimah). Who knows, apakah ini adalah ramadhan terakhir yang ditaqdirkan untuk kita bertemu denganNya.
Berhentilah sejenak untuk memulai yang lebih besar, untuk memberi yang lebih besar, untuk beramal yang lebih baik. Pesan ramadhan juga ingin kita agar menjadi pribadi yang kuat. Bukanlah orang yang kuat itu yang mampu bergulat, namun yang kuat adalah orang yang mampu menahan amarah dan hawa nafsunya.
Kita belajar dari sosok Umar Bin Khattab, di balik ketegasan, keras, temperamen, dan watak kasar yang melekat padanya walaupun bukan sepenuhnya seperti itu, ternyata ada hati yang tiap malamnya menangisi dosa-dosanya, ada rindu yang selalu membuncah pada qalbunya untuk bertemu rabb-Nya, ada air mata yang selalu mengalir di balik kelopak mata sang khalifah tersebut, ada kaki yang senantiasa berdiri menegakan salat malam, dan ada tangan yang selalu menengadah memohon kepada-Nya, ada kepada yang selalu bersujud kepada-Nya, dan cinta-Nya yang selalu menyuburkan setiap detak jantung dan hembusan nafas.
Kita belajar dari anak kecil yang masih sedikit dosanya untuk selalu menambah amalan, kita belajar dari orang tua yang amalannya sudah banyak.
Kita belajar dari segala sesuatu yang merupakan ciptaan-Nya agar kita berpikir, dan keimanan bertambah. Berhentilah sejenak untuk kita merefleksikan kembali bahwa kita menerima dan bersaksi Allah adalah Tuhan kita, Rasulullah saw adalah utusan-Nya, dan Islam adalah agama kita. Berhentilah sejenak untuk merindu-Nya bersama ramadhan ini.
[] Ditulis di Bogor, 8 Ramadhan 1440 H, bakda duhur 12.46 WIB (14 Mei 2019). Dalam hening dan sejuknya udara siang Kabupaten Bogor.