Laporan Utama

Penyadapan Oleh KPK Diimbuhi Sejumlah Koridor, Ini Versi Barunya

BOGOR-KITA.com, JAKARTA – Presiden Jokowi melantik 5 Komisioner KPK dan 5 Dewan pengawas. Komisioner dan dewan pengawas bekerja berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kondisi kedua UU ini sangat berbeda, terutama terkait penyadapan. Dalam UU KPK  Nomor 30 Tahun 2002, tentang penyadapan diatur dalam pasal Pasal 12 (1) berbunyi “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.”

Kalimatnya hanya seperti itu, tidak ada batasan-batasan, tidak ada koridor. Dengan kalimat yang seperti itu penyidik KPK lama dapat melakukan penyadapan sesuka hati, termasuk menyadap atau merekam pembicaraan yang tidak terkait dengan pembicaraan soal korupsi.

Tentang hal ini antara lain ditunjukkan oleh hasil penyadapan kasus korupsi mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yang becampur baur dengan masalah lain yang ketika terkenal dengan istilah pustun yakni wanita berdarah Afghanitan atau Pakistan.

Baca juga  IBR Berharap KPK Usut Dugaan Korupsi di DPRD Kabupaten Sukabumi

Bukan hanya rekaman pembicaraan tentang korupsi yang diperdengarkan ke publik, tetapi juga soal pustun itu.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tentang penyadapan sudah sangat berbeda.

Dalam Pasal 12 (1) disebutkan, dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan.

Bedanya, jika dalam UU KPK sebelum revisi, tidak ada kalimat lanjutan, maka dalam UU setelah revisi, pasal penyadapan diimbuhi dengan sejumlah ketentuan.

Dalam Pasal 12B (1) disebutkan, penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Dalam ayat (2) disebutkan untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Baca juga  IPW: Hentikan Cakar-cakaran di KPK

Dalam ayat (3) disebutkan, Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak permintaan diajukan.

Dalam ayat (4) disebutkan, dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

Masih ada ketentuan lain.

Dalam Pasal 12C (1) disebutkan, penyelidik dan penyidik melaporkan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang sedang berlangsung kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala. Kemudaian dalam ayat (2) dikatakan, penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan.

Baca juga  31 Pejabat Kabupaten Bogor Belum Lapor Harta Kekayaan

Belum cukup sampai di situ.

Dalam Pasal 12D (1) disebutkan lagi, hasil penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam ayat (2) ditegaskan, hasil penyadapan yang tidak terkait dengan Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi wajib dimusnahkan seketika.

Jika tidak dimusnahkan ada risiko dipidana. Hal ini diatur dalam ayat (3), yang menyebutkan dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan, pejabat dan/atau orang yang menyimpan hasil penyadapan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka, pasal penyadapan KPK tidak lagi semenakutkan sebelumnya. Hal-hal yang tidak terkait dengan pembicaraan soal korupsi harus dimusnahkan. Setidaknya tidak akan ada lagi hasil penyadapan yang terkait misalnya dengan pustun. [] Petrus Barus.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top