Kab. Bogor

OPINI: Tafsir Emansipasi Zaman Now di Hari Kartini

Oleh: Syarifudin Yunus,

(Pegiat Literasi TBM Lentera Pustaka)

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Catatan sejarah sudah membuktikan. Bahwa Ibu Raden Ajeng Kartini, sang pahlawan nasional adalah perempuan hebat. Selain dikenal pejuang emansipasi, Kartini pun punya cita-cita besar untuk memajukan perempuan Indonesia pada masanya. Semasa hidupnya, Kartini terpaksa tidak melanjutkan sekolah dan menjalani pingitan. Akibat budaya dan tradisi Jawa pada saat itu. Namun begitu, Kartini tetap bermimpi untuk bisa meneruskan pendidikannya. Di sela aktivitas surat-menyurat dengan teman-temannya yang berada di Belanda, Kartini pun tertarik pada kehidupan dan cara berpikir perempuan di Eropa. Kartini bermimpi agar perempuan pribumi dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin tanpa terbatas dengan tradisi.

Namun sejatinya, apa yang diperjuangkan Ibu Kartini sejatinya sudah kelar. Emansipasi dan kesetaraan gender sudah tidak jadi isu di Indonesia. Karena perempuan dan laki-laki memang sudah setara, sudah sama dari sisi apa pun. Maka persamaan hak perempuan telah usai, emansipasi bukan lagi masalah. Bahkan tidak sedikit tafsir tentang emansipasi perempuan pun jadi kebablasan.

Baca juga  Tekan Penularan Covid 19, Satgas Kecamatan Parung Gelar Penyemprotan Desinfektan

Bila mau jujur, fakta hari ini emansipasi pun sudah bergeser. Karena emansipasi perempuan, banyak yang menafsirkan sebagai perilaku dan ambisi. Emansipasi tidak lagi dilihat sebagai values atau nilai-nilai ke-perempunan-an seperti yang diperjuangkan Ibu Kartini. Emansipasi sering dianggap sebagai “harga” dan status sosial. Feminisme hanya sebatas gerakan. Sehingga tidak sedikit kaum perempuan yang terjebak untuk mengejar status sosial dan gaya hidup. Sosialita dan komunitas gaya hidup di kantor-kantor justru berkembang pesat. Semata-mata hanya untuk mengejar ambisi dan memenuhi ekspektasi sosial.

Maka sebagai bahan renungan, penting bila hari ini, emansipasi perempuan dikembalikan kepada sikap, bukan ambisi. Sikap perempuan yang dinaungi nilai-nilai positif di dalam diri sendiri, bukan justru mencari dan dikejar ke luar dirinya. Emansipasi sebagai sikap yang dalam perbuatan yang berdasar pendirian dan keyakinan yang baik. Sementara emansipasi yang dipersepsi sebagai ambisi, tentu hanya menjadi pelampiasan hasrat atau nafsu untuk menjadi sesuatu. Ambisi untuk meraih status, pangkat atau kedudukan agar dianggap “berhasil” di mata publik.

Baca juga  Libur Lebaran 1444 H, Tirta Kahuripan Tetap Siaga

Tidak dapat dipungkiri, perempuan hari ini sudah banyak yang pergi pagi pulang malam. Menjadi Menteri, direktur, Wanita karier, bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Di berbagai sektor industri, di berbagai profesi. Tidak ada lagi perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Bahkan lebih dari itu, saking pedulinya negara, ada kementerian khusus bernama “Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA)” yang dulunya bernama “Menteri Urusan Wanita”. Sebuah komitmen negara untuk memberdayakan perempuan.

Akibat emansipasi, terus terang, untuk menjadi perempuan sukses, wanita yang pintar, dan wanita yang kaya nyata-nya tidaklah susah. Tapi di tengah kesuksesannya, perempuan pun harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai. Untuk menjadi perempuan yang solehah, selalu bersyukur, sabar, dan sesuai kodrat ke-perempuanan-nya. Karena perempuan tetap perempuan, apapun status dan jabatannya. Karenanya emansipasi perempuan butuh sikap, bukan ambisi.

Sikap perempuan yang tidak gampang lupa atas kewajibannya dan kodratnya. Perempuan yang tidak hanya mengejar urusan dunia. Tapi mampu pula menjadi tiang keluarga, Amanah, dan tetap mendidikan anak-anaknya melalui contoh pikiran dan perilaku baiknya. Karena sejatinya, emansipasi bukanlah pemberontakan terhadap kodrat kewanitaannya. Bukan pula berjuang untuk setara di satu sisi. Tapi salah kaprah dengan keberhasilan dan kebebasan dirinya di sisi lain.

Baca juga  Ade Yasin: Video Lama Kawin Kontrak  Upaya Rusak Citra Pariwisata Bogor

Emansipasi bukan perempuan sibuk yang akhirnya membiarkan anak-anak kesepian. Bukan pula anak-anak yang mudah dicaci maki karena ibunya merasa benar tanpa mampu introspeksi diri. Bila hari ini, masih ada anak-anak yang “terluka hatinya” karena ibu mereka. Itu tanda bahwa Kartini hanya sebatas ambisi bukan sikap.

Sekali lagi, emansipasi itu sikap bukan ambisi. Maka jangan pernah ada. Kaum perempuan yang berani berkata “ya” untuk orang lain. Tapi mudah berkata “tidak” untuk keluarganya. Maka di Hari Kartini, perempuan harus tetap introspeksi diri. Untuk berubah menjadi sosok yang lebih baik. Tentu, harus dimulai dengan memperbaiki sikapnya bukan mengubah kondisi di luar dirinya. Apalagi hanya untuk mengejar ambisi atau obsesi.

Makna Hari Kartini adalah memperbaiki sikap bukan mengokohkan ambisi. Karena emansipasi adalah sikap bukan ambisi. Salam dari Kartono untuk Kartini. []

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top