Pilipus tarigan SH., MH.
Selama hampir tiga bulan semua media, lokal dan nasional diwarnai oleh berita kisruh antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dengan DPRD DKI terkait dugaan dana siluman sebesar Rp12,1 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2015.
Menarik, karena di satu sisi, kisruh diwarnai aksi DPRD yang menggunakan hak angket yang bisa berujung pemecatan terhadap Ahok, di sisi lain Ahok melaporkan kisruh ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa berujung seluruh anggota DPRD DKI masuk penjara. Lalu pertanyaanya pembelajaran terbaik apa yang bisa diambil dalam perseteruan ini?
Kisruh APBD DKI
Kisruh APBD DKI dilatarbelakangi ketika Ahok melontarkan pernyataan di berbagai media perihal adanya dugaan DPRD “menyelundukpan” danggaran siluman sebesar Rp 12,1 triliun ke dalam Rancangan APBD DKI Tahun2015 yang sudah disahkan oleh DPRD DKI dalam Rapat Paripurna yang diselenggarakan pada 27 Januari 2015. Sebelumnya dalam pembahasan APBD di tingkat komisi DPRD terkait, sebelum paripurna itu, Ahok menyebut salah satu Wakil Ketua Komisi di DPRD memotong 10-15 persenanggaran yang telah disusun oleh Pemerintah Provinsi DKI. Selanjutnya diganti dengan anggaran pembelian perangkat Uninterruptible Power Supply (UPS) untuk seluruh kantor kecamatan dan kelurahan di Jakarta Barat. Namun kemudian, setelah dicek, ternyata berdasarkan keterangan dari berbagai pihak, tidak satu pun camat atau lurah yang merasa pernah mengajukan anggaran pembelian UPS yang nilainya bila dibagi rata dengan jumlah kecamatan dan kelurahan yang ada di Jakarta Barat, mencapai Rp 4,2 miliar per 1 unit UPS. Tentunya angka ini adalah angka yang cukup besar untuk pengadaan barang di Pemrpov DKI. Hal inilah yang memicu kisruh ketika DPRD DKI melalui Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Banggar DPRD) DKI justru menyebut Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemprov DKI telah mencoba melakukan upaya suap dalam penyusunan APBD DKI 2015 sebesar Rp12 triliun.
Hal inilah yang kemudian membuat Ahok ber “marah” dan membawa permasalahan ini dengan mengadukan adanya dugaan korupsi ke KPK. Sebagai bagian dari respons DPRD atas pengaduan ke KPK, DPRD melakukan berbagai macam cara mulai dari menggunakan hak angket yang sudah mendapatkan dukungan penuh hampir dari seluruh fraksi yang ada di DPRD DKI, hingga melaporkan Ahok ke Polri. Kisruh yang terus berkepanjangan pada akhirnya dimediasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui berbagai forum. Hasilnya Kemendagri memberikan sejumlah catatan untuk diperbaiki kembali sebelum pengesahan APBD 2015 melalui Rancangan Peraturan Gubernur.
Transparansi Ala Ahok
Sepak terjang Ahok di dunia politik memang memiliki rekam jejak yang berbeda dari para politisi lainnya. Pria yang akrab disapa Ahok kemudian dikenal sebagai sosok yang tak kenal kompromi, tapi juga pekerja keras, cuek, apa adanya, jujur, dan berbicara tanpa basa basi, tidak suka bilang tidak suka. Saat Ahok menjabat sebagai Bupati Belitung Timur, dia juga sudah terbiasa melawan sikap DPRD yang dianggapnya tidak transparan. Ketika terpilih menjadi angota DPR RI, gaya dan ciri khas Ahok tetap tak berubah.
Sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta Ahok melakukan strategi baru dalam mendorong perbaikan system penganggaran. Pemprov DKI membuka menerapkan sistem e-budgeting, untuk perbaikan system dalam pengajuan anggaran agar transparan dan bisa dikoreksi secaa sama-sama dengan DPRD.
Ahok mengundang DPRD DKI memberikan password serta menyosialisasikan sistem kerja e-budgeting kepada Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi. Dengan e-budgeting, Ahok meyakini warga juga dapat mengetahui pihak-pihak mana saja yang melakukan permainan kongkalikong dengan anggaran. Warga maupun DPRD bisa ikut menilai anggaran mana saja yang dirasa tidak sesuai atau tidak masuk akal, karena dengan sistem e-budgeting, semiua pihak mana yang memasukkan serta mencoret anggaran dapat terlihat jelas. Namun, strategi Ahok membangun Pemprov DKI Jakarta menjadi lebih baik itu justru direspon oleh DPRD dengan menggunakan hak angket yang bisa berujung pemecatan terhadap Ahok.
Situasinya mirip saat Ahok dalam proses menggantikan Jokowi menjadi gubernur. Ahok ketika itu ditentang oleh sejumlah ormas dengan membentuk gubernur tandingan. Bahkan ketika pelantikan berlangsung terjadi ketegangan yang berujung pada kericuhan antara aparat keamanan yang berjaga dengan ormas yang melakukan demonstrasi menolak Ahok menjadi gubernur. Demikian juga setelah resmi menjadi gubrnur, Ahok juga mendapatkan perlawanan dari sebagian internal pemprov hingga akhirnya sebagian mengundurkan diri.
Simpati Publik
Buah dari konsistensi dalam melakukan pembenahan, Ahok mendapatkan simpati publik yang luar biasa. Hal ini terjadi karena publik sudah bosan dengan “ketidakjujuran” pejabat yang tidak transparan dalam tata kelola pemerintahan mulai dari hulu sampai hilir. Ahok membuktikan bahwa dirinya siap diperiksa dan dipecat jika memang dalam pengelolaan pemprov terdapat kesalahan. Inilah pembelajarannya yangdapat dipetik dari aksi Ahok, dia tidak gentar dipecat, sebaliknya malah mendapat reaksi posiotif dari publik. Dia memberikan pembelajaran, pejabat yang jujur, berani dan konsisten, akan mendapat dukungan publik.
Pembelajaran terbaik seorang pemimpin seperti Ahok yang berani “melawan arus” inilah tenu saja langka dan sangat sulit dicari. Ahok dengan transparansinya ingin memberikan pesan tegas kepada semua pihak bahwa ketidakadilan, ketidakjujuran, kebohongan dan kemunafikan harus dilawan. Ahok bergaya seperti cowboy yang siap berhadapan dengan siapa pun yang melawan kebenaran. Sikap tersebut penting ditunjukkan di rezim pemerintahan yang masih belum terbebas dari belenggu dan praktik korupsi sekarang ini. Etika, moral, sopan santun, dan ramah tamah yang selama ini dipertontonkan pejabat tidak membuat pemerintahan menjadi bersih. Justru sebaliknya malah melakukan korupsi.
Gaya Ahok penting dimaknai sebagai sebuah akumulasi kemarahan dari “akutnya” praktik korupsi yang terus tumbuh subur. Sebagai salah satu cara, gaya “cowboy” ala Ahok memang menjadi pilihan dalam melakukan pembenahan yang menyeluruh dengan diawali terlebih dahulu melalui pengajuan anggaran pemerintahan. Setidak-tidaknya kisruh antara Ahok dan DPRD DKI bisa membuat publik semakin paham dan memiliki kesadaran akan pentingnya partisipasi publik dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Pada hakikatnya partisipasi memang pula menjadi keharusan dalam sebuah negara demokrasi. Alhasil siapa pun yang hendak dan berencana memakzulkan Ahok sama dengan menghina akal sehat publik. Transparansi itu sendiri adalah pilar dalam sebuah negara demokrasi. Dan Ahok sudah membawa wacana itu dalam pemerintahannya. Pertanyaannya adalah, apakah ada kepala daerah yang berani dan mau mengikuti gaya kepeminpinan Ahok guna mendorong transparansi? Semoga.
[]Pilipus Tarigan SH, MH., adalah advokat dan konsultan hukum, salah seorang pendiri Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH KBR), sebuah lembaga non-pemerintah yang fokus pada pembelaan dan pendampingan hukum bagi masyarakat yang terpinggirkan, dan mendorong kebijakan pemerintah yang berperpektif HAM, melakukan pendidikan hukum dan membangun kesadaran mayarakat di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor.