Labirin Pemilu, Parpol dan Demokrasi
Oleh
Raden Muhammad Mihradi
Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif dan Pengajar FH Universitas Pakuan, Bogor
BOGOR-KITA.com, BOGOR – REFORMASI 1998 didesain dan dimaksudkan untuk memastikan ajaran nomokrasi (negara hukum demokratis) melembaga. Ini dipicu oleh pengalaman Orde Baru (Orba) yang pusaran kekuasaan berujung pada Presiden Soeharto saat itu sehingga demokrasi mengalami kelumpuhan.
Tidak terasa, sudah sekitar 24 tahun masa reformasi dilalui sejak 1998. Meski begitu, perjalanan negara hukum demokrasi masih mengalami sisi-sisi terjal. Jelang Pemilu 2024, memanasnya wacara perpolitikan dan hukum mengental. Salah satu yang mengeras mengenai peluang penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional tertutup akibat sedang diujinya UU Pemilu (UU 7/2017) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Timbul polemik sistem pemilu ini, apakah lebih baik proporsional tertutup atau proporsional terbuka?
Ada baiknya kita petik sedikit argumentasi dari MK di masa lalu soal pemilu dengan sistem proporsional terbuka yang tertuang di Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Menurut MK, “dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing Calon Legislatif (Caleg). Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak” (h.106). Atas pertimbangan hukum demikian, nampak MK menegaskan berdasarkan putusan di tahun 2008, pilihan sistem pemilu proporsional terbuka dinilai lebih demokratis. Argumentasi MK ini didasari pula pada pengakuan terhadap kesamaan kedudukan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law) sebagaimana diadopsi dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945, artinya setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum. Meski demikian, MK tidak memasuki substansi sistem pemilu secara mendalam dalam putusan di atas karena melihat soal-soal sistem pemilu merupakan ranah open legal policy dari lembaga legislatif.
Kritik atas proporsional terbuka yang kerap dibunyikan adalah berkurangnya otoritas partai politik dan kompetisi yang cukup keras sesama calon legislatif. Bukan saja di antara partai berbeda, namun sesama partai politik yang sama. Demikian pula dugaan maraknya money politics. Namun pada tafsir lain, perlu diberikan penghormatan pada daulat publik yang ingin menentukan calon wakilnya dengan kualitas demokrasi yang optimal. Sehingga diharapkan dapat mereduksi debat apakah wakil kita di parlemen itu wakil rakyat atau wakil partai?
Sisi Lain
Dalam sebuah diskusi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) (23/2/2023) baru baru ini, Jimly Asshidiqie (Senator dan Guru Besar FHUI) mengingatkan soal perdebatan sistem pemilu apakah proposional terbuka atau tertutup lebih pada bagaimana dengan konteks kualitas demokrasi di internal partai politik. Ada kekhawatiran dari Jimly, jika sistem proporsional tertutup dilakukan dalam pemilu serentak di tahun 2024 ini sementara partai politik belum dioptimalkan demokrasi di tubuh internalnya, ini dapat membahayakan bagi mutu demokrasi. Bahkan dapat berpeluang menyuburkan politik dinasti dan konflik kepentingan yang saat ini menggejala.
Di satu sisi, Pasal 28 UUD 1945 termasuk pada Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 memperkuat hak orang untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat termasuk mendirikan partai politik sehingga kepartaian mendapat konstitusionalisasi eksistensinya. Bahkan pada Putusan MK Nomor 67/PUU-XVI/2019 secara tegas dinyatakan, parpol merupakan organ yang memiliki urgensi konstitional.
Namun di sisi lain, UU Partai Politik (UU 2/2008 jo UU 2/2011) mendelegasikan isu isu demokrasi internal di partai politik ke dalam AD/ART Parpol. Akibatnya, hasil riset Jamaludin Ghafur menunjukan (Jurnal Ius Quia Iustum Januari 2023), terdapat kondisi yang justru menunjukkan bahwa mayoritas parpol tidak diurus secara demokratis, tetapi sebaliknya dikelola secara oligarkis dan bahkan personalistik. Segelintir elit, dan bahkan dalam kasus tertentu, parpol sepenuhnya dikontrol serta dikendalikan hanya oleh satu orang yaitu ketua umumnya. Hal ini tentu merupakan sebuah petaka karena kepemimpinan partai politik yang oligarkis, seringkali akan mengabaikan kepentingan masyarakat, konstituen, atau pun anggota partai politik.
Gejala di atas menunjukan kebutuhan demokratisasi internal partai politik menjadi niscaya. Hal ini untuk memastikan pemilu semakin berkualitas dan partai politik lebih bermutu menyuarakan suara publik secara optimal.
Konflik Kepentingan
Partai politik dalam konteks demokrasi, perlu pula dioptimalkan sisi modernisasinya. Partai harus menjadi bagian agen perubahan. Syaratnya, salah satunya, penguatan kaderisasi dalam partai politik dan membangun ideologisasi yang handal dalam diskursus perpolitikan.
Menurut Titi Anggraeni dari Perludem dalam diskusi BPHN di atas, perlu difikirkan agar partai ketika mengusulkan calon legislatifnya memberikan syarat waktu wajib minimal satu tahun menjadi kader partai sebelum dicalonkan. Ini untuk menghindari calon legislatif yang diajukan oleh partai, lemah dalam pemahaman kepartaiannya, karena tidak melalui jenjang kaderisasi yang memadai.
Demikian pula perlu ditegaskan pembedaan urusan publik dan privat dalam konteks membangun demokrasi. Tidak dapat dinafikan, adanya gejala kalangan privat dalam hal ini pengusaha menjabat jabatan publik baik di eksekutif maupun legislatif, yang bila tidak dilakukan penguatan regulasi dapat menjadi pangkal konflik kepentingan yang bisa jadi merugikan publik. Jika perlu, dibuat undang-undang atau regulasi tentang larangan konflik kepentingan apabila pengusaha menjadi pejabat publik.
Pada akhirnya, perdebatan sistem pemilu terbuka atau tertutup sebenarnya tanpa sadar memunculkan labirin soal perbaikan demokrasi yang harus terus didorong agar daulat publik semakin optimal. Salah satunya melalui peningkatan kapasitas dan kualitas partai politik sehingga dapat melahirkan kader terbaik untuk mengisi jabatan publik yang amanah. Ini tentu bukan pekerjaan “kilat”. Mungkin memerlukan beberapa kali pemilu. Namun tetap agenda ini harus dimulai secara sistematis dan komperhensif dari sekarang. Semoga