BOGOR-KITA.com, PARUNG – Keterbatasan aktivitas dan usaha masyarakat yang diakibatkan pandemi Covid-19, membuat kondisi atau keadaan ekonomi sebagian besar warga menjadi sangat lemah. Di sisi lain, ada berbagai kebutuhan utama seperti makan, pendidikan dan lainnya yang harus tetap dipenuhi tanpa ada kata berhenti.
Salah satu kebijakan yang saat ini banyak menuai kontroversi dan keluhan masyarakat adalah sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau yang terkenal dengan sebutan belajar dalam jaringan (daring). Pasalnya, banyak pelajar dan orangtua murid mengaku adanya sistem belajar daring menjadi tambahan beban biaya pengeluaran saat dalam kondisi sulit seperti sekarang ini. “Anak saya ngeluh minta beli handphone. Padahal mencari uang untuk memenuhi biaya makan sehari – hari saja saya sudah kesulitan,” ungkap Boim (37) warga Desa Iwul, Kecamatan Parung, Rabu (5/8/2020).
Terkait hal ini, Dr. Rusdi J. Abbas pengamat sosial dari Universitas Pertamina Jakarta mengatakan, saat ini memang banyak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah ibarat menyelesaikan masalah dengan masalah. “Padahal seharusnya dan idealnya, sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, harus telah dipikirkan segala aspek dan dampaknya yang akan muncul secara keseluruhan,” ungkap Dosen Prodi Hubungan Internasional ini.
Abbas sapaan akrabnya menilai, keluarnya kebijakan metode pembelajaran daring oleh pihak Kemendikbud bisa saja mempunyai niat baik. Namun menurut Abbas, sebuah kebijakan tidaklah cukup hanya dengan sekedar niat baik tanpa pertimbangan – pertimbangan lain yang turut serta untuk menunjang pelaksanaan kebijakan tersebut. “Sistem daring seolah membangun asumsi bahwa, setiap sekolah, guru/tenaga pengajar dan murid, harus mempunyai perangkat elektronik seperti laptop, HP dan sejenisnya. Lalu semuanya bisa mengakses internet dengan mudah. Tapi apakah kenyataannya sekarang bisa seperti itu semua?,” ucapnya.
Lebih jauh Abbas mengungkapkan, saat situasi sulit akibat pandemi seperti sekarang ini, kebanyakan masyarakat dihadapkan pada dua pilihan, yaitu pilih makan atau sekolah. Dia menegaskan, tentu saja sebagian besar orang akan memilih makan. Sedangkan di sisi lain, sambungnya, tidak banyak sekolah yang menurunkan biaya pendidikan bagi peserta didik atau orangtua murid. Apalagi sekarang ditambahi beban biaya lainnya seperti pembelian kuota internet. “Jangan – jangan, gurunya juga keberatan dengan sistem pembelajaran daring seperti ini, terutama guru yang berstatus honorer misalnya,” kata Abbas.
Abbas berharap, kemampuan keuangan para guru terutama guru honorer juga patut diperhatikan. Misalnya dengan kebijakan dari pihak sekolah untuk memberikan akses internet gratis bagi para tenaga pengajar, sehingga dapat membantu guru dalam menjalankan proses kegiatan mengajar. Abbas menyimpulkan bahwa, setiap kebijakan memang sangat perlu pertimbangan matang dan komprehensif. “Ini belum bicara daerah – daerah di luar Jawa ya, yang sudah pasti jaringan internetnya tidak sebagus di Jawa. Sebenarnya dalam sebuah kebijakan publik, bisa dilakukan evaluasi, bila ternyata kebijakan tersebut tidak efektif,” tutupnya. [] Fahry