Oleh Petrus Barus
PRESIDEN terpilih Joko Widodo atau Jokowi, memang lain dari yang lain. Kelainannya tidak hanya satu, atau dua atau tiga, atau empat, tetapi lebih banyak lagi. Salah satu kelainan dia yang harus dikemukakan secara cepat adalah keberaniannya memperkenalkan kata revolusi yakni revolusi mental. Dalam catatan penulis, dari 6 presiden sebelumnya, kata revolusi ini hanya diucapkan oleh dua presiden, yakni Presiden RI Pertama Bung Karno, dan Presiden RI ke-7, Jokowi.
Secara cepat pula harus dikemukakan, bahwa semua presiden Indonesia di sana sini pastilah pernah atau malah sering menyebut istilah revolusi. Hanya saja, kualifikasi dan peruntukannya berbeda dengan penyebutan oleh Bung Karno dan Jokowi. Presiden pertama dan ketujuh ini melontarkan kata revolusi dengan peruntukan yang jelas sesuai dengan kandungan kata itu sendiri, yakni upaya menuju suatu perubahan yang mendasar. Bedanya, blla Bung Karno meletakkan peruntukan kata revolusi dalam perspektif asing dan kepentingan nasional, dalam kerangka engkau (bangsa asing) dan aku (bangsa Indonesia), maka Jokowi meletakkannya dalam kerangka perubahan cara berfikir orang Indonesia itu sendiri, tanpa mengait-ngaitkannya dengan hal-hal yang berbau asing. Seperti apa kualifikasi dan peruntukkan kata revolusi yang dikemukakan Jokowi?
Blusukan dan Diplomasi Meja Makan
Bung Karno berkali-kali menyebut kata revolusi. Dia bahan berkali-kali pula menjelaskan apa itu revolusi. Yakni perubahan sampai ke akar-akarnya. Sedemikian rupa, pada intinya Bung Karno ingin mengusir habis ampai ke akar-akarnya semua yang berbau asing dari bumi Indonesia. “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika,” katanya. Kata-kata Bung Karno yang juga terkenal tentang hal ini adalah “go to hell with your aids.”
Kata revolusi ini memang ampuh menyatukan rakyat Indonesia. Hasilnya juga dahsyat. Irian Jaya yang di era Prsesiden Gus Dur diubah namanya menjadi Papua, lepas dari cengkraman asing. Amerika Serikat yang menjadi “kepala suku” sekutu dengan terpaksa memberikan “hukuman” kepada Belanda agar melepaskan cengkramannya di Papua.
Puncak dari anti revolusi asing adalah tahun 1962, ketika Bung Karno berpidato di Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), di mana Bung Karno dengan lantang menawarkan Pancasila sebagai ideologi dunia menggantikan komunisme dan kapitalisme yang saat itu terus ribut tak kenal jeda.
Jokowi lain. Anak Solo ini jarang menyebut kata revolusi, termasuk saat kampanye, satu momentum di mana orang relative bebas mengatakan apa saja.
Walau demikian, penetrasinya luar biasa. Revolusi cara berfikir yang proses inflitrasinya tidak melalui media kata–kata tetapi melalui aksi blusukan ini, sudah begitu merasuk bahkan sudah “meracuni” cara berfikir masayarakat Indonesia saat ini. Melalui media sosial, kata blusukan bahkan sudah mendunia. Tidak kurang bos facebook saat bertemu Jokowi juga siap membuat sebua alamat yang disebut blusukan.org.
Ada sejumlah cara lagi di mana Jokowi ingin menjadikan kata revolusi bukan sekadar jargon melainkan kebutuhan dan oleh sebab itu harus dipenetrasikan ke dalam otak kepala rakyat Indonesia untuk selanjutnya menjadi cara berfikir sehari-hari.
Cara lain itu adalah pembinaan pedagang kaki lima yang sudah dirintis sejakmenjadi Wallikota Solo dan juga berhasil dilakukan di Tanah Abang Jakartam saat dia menjadi gubernur. Yang hebat adalah ketika dia menolak tawaran Bank Dunia membiayai pengerukan 13 kali di Jakarta sebagai salah satu upaya menghentikan banjir yang datang saban tahun di Jakarta. Jokowi ketika menolak skim pinjaman berdurasi lima tahun. Jokowi hanya mau dua tahun saja. Cara berfikir ini dikatakan lain, karena di mana-mana orang biasanya gelap mata kalau bank sudah bersedia mengucurkan kredit apalagi berdurasi panjang.
Cara befikir ini diulangi lagi saat dia ingin merealisasi proyek monorel yang tiangnya sudah dipasang di beberapa titik di Jakarta, tetapi kemudian berhenti. Setelah dihitung-hitung antara harga proyek, ketersedian APBD DKI Jakarta, total kredit dan masa pengembalian kredit, keluar angka bahwa ongkos per orang sekali naik monorel di atas Rp10 ribu. Jokowi sontak menolak. Dia mengatakan, ongkos monorel itu tidak boleh lebih mahal dari ongkos kereta api, yang ketika itu Rp 9000. Solusinya, Jokowi meminta dana tambahan dari pemerintah pusat dan diberikan. Dana tambahan itu bukan berupa APBDP DKI Jakarta, tetapi dana tambahan murni. Peristiwa ini, jika tidak salah adalah yang pertama terjadi di Indonesia.
Kemudian angkutan umum yang begitu tidak baik di Jakarta. Jokowi mengambil kebijakan membeli semuanya, dengan tujuan agar kendali pelayanannya tidak lagi pada tangan pemilik yang jumlahnya banyak, tetapi diberikan ke tangan pemerintah DKI Jakarta. Masih banyak hal lain di mana Jokowi konsisten dengan revolusi mental yang diusungnya.
Dalam hal sepele, Jokowi bersikap sama. Lihat perangainya dengan wartawan. Dia begitu dekat, begitu merakyat. Dibanding dengan Soeharto yang sangat protokoler, Jokowi tampak sangat berusaha tetap sepereti dirinya yang merakyat yang dekat dengan rakyat.
Saat berkemas dari rumah dinas Gubernur DKI, Jokowi ikut berbenah. Yang terdahsyat adalah saat dia dikurung oleh kubu Koalisi Merah Putih (KMP) yang menguasai legislative. Saat itu berkembang opisi, KMP akan menjegal pelantikannya jadi presiden tanggal 20 Oktober, dan kalau pun tidak dijegal, Jokowi akan mandul karena programnya akan dipersulit oleh DPR.
Tetapi apa yang terjadi kemudian? Jokowi bertemu dengan seluruh pimpinan legislative dalam apa yang belakangan dikenal sebagai diplomasi meja makan. Hasilnya, keluar pernyataan jaminan dari Ketua MPR, bahwa Jokowi tidak akan dijegal. Setelah bertemu pimpinan legislative, dilanjutkan bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Setelah bercakap-cakap dengan di meja makan, Aburizal Bakrie mengatakan, “Jokowi adalah sabat saya”. Pertemuan ini kemudiaj berlanjut dengan pertemuan dengan kompetitor utamanya, bos KMP , Prabowo Subianto di rumah kediaman ayah Prabowo, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo di Jalan Kartanegara Jakarta Selatan. Walau hanya 15 menit, tetapi pertemuan itu berhasil membuat suasana cair. Walau Jokawi belum dilantik dan oleh sebab itu belum menyandang status sebagai Panglima Tertinggi TNI, tetapi saat pamit pulang, Prabowo memberikan hormat militer yang disambut Jokowi dengan membungkukkan kepala. Keduanya tampak akrab. Prabowo mengundang Jokowi ke rumah kemdiamannya di Hambalang, Bogor, bernyanyi, tetapi ditolak Jokowi dengan alasan tak bisa bernyanyi. Sebagai gantinya Jokowi minta diajari menunggang kuda. Masih banyak hal yang terjadi beberapa hari sebelum pelantikan di saat parlemen sudah sepenuhnya di tangan KMP. Kader Partai Golkar misalnya, mengultimatum kadernya jika absen saat pelantikan Jokowi.
Jokowi memang lain. Blusukan adalah senjata menaklukkan masyarakat, sedangkan diplomasi meja makan adalah senjata dia menaklukkan para elit politik yang berpotensi menghadang.
Bagi sementara orang blusukan menemui rakyat dengan berpanas-panas, dan diplomasi meja makan menemui lawan politi yang berpotensi menghadang, mungkin biasa saja. Tetapi bagi pejabat, atau sebagian besar pejabat yang bermental minta dilayani hal itu mungkin dianggap sebagai hal yang tidak seharusnya dilakukan. Atas nama kedudukan sebagai gubernur atau presiden pejabat bermental dilayani biasanya bukannya mengunjungi rakyat, tetapi dikunjungi itu pun hanya diperbolehkan pada orang tertentu saja. Kalau pun harus turun ke lapangan biasanya dirakayasa sambutan yang mengagung agungkannya.
Itulah Jokowi, walau dia sudah menjadi presiden, tetapi dia tetap menjadi dirinya sendiri, dia tidak merasa direndahkan wlau harus mendatangi Aburizal Bakrie, walau harus mendatangi Prabowo Subianto. Cara befikir ini memang pula pula sesuai dengan pidatonya sesaat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Prabowo, di mana ketika itu dia memperingatkan kepala daerah untuk melayani rakyat. Dia juga mengancam akan mendatangi kepala daerah yang diketahui tidak melayani rakyat.
* Petrus Barus, Pemimoin Redaksi Harian Pakuan Raya (PAKAR), sebuah harian lokal Bogor, tinggan di Bogor.