Beban Pencemaran Sungai Ciliwung dan Cisadane Melebihi Batas
BOGOR-KITA.com, DRAMAGA – Dalam riset untuk memetakan potensi sumber pencemaran air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cileungsi, Cikeas dan Kali Bekasi, diperoleh data bahwa di sekitar tiga wilayah sungai tersebut ada banyak sekali industri yang berpotensi menjadi sumber pencemaran air.
Perhitungan software Qual2kw terlihat, bahwa Sungai Ciliwung sudah melebih batas total beban pencemaran. Begitu pula dengan Sungai Cisadane. Dan ini sudah dijadikan sebagai basis nilai DTBP untuk kedua sungai dan sudah dijadikan peraturan menteri terkait seberapa besar Daya Tampung Beban Pencemaran Air DTBP kedua sungai tersebut
Hal ini dikemukakan Prof Dr Hefni Effendi, dosen IPB University dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar, di Bogor, Kamis (5/11/2020).
Prof Hefni mengatakan, ada regulasi pemerintah yang mengatur soal status kualitas air. Ada status mutu air kelas 1 (terbaik, untuk air minum), 2 (wisata), 3 (perikanan) dan 4 (pertanian).
Wilayah sungai di negara kita ditentukan dengan penghitungan status mutu ini. Setiap pemerintah daerah membuat status mutu air terhadap sungai yang ada di wilayah mereka untuk penetapan peruntukan sungai tersebut.
Berdasarkan pemodelan DTBP dengan software Qual2kw yang dikembangkan Prof Hefni, total beban pencemaran existing Sungai Ciliwung dan Cisadane sudah terlewati.
“Perhitungan software kami melihat bahwa Sungai Ciliwung sudah melebih batas total beban pencemaran. Begitu pula dengan Sungai Cisadane. Dan ini sudah dijadikan sebagai basis nilai DTBP untuk kedua sungai dan sudah dijadikan peraturan menteri terkait seberapa besar DTBP kedua sungai tersebut,” imbuhnya.
Tentu kita ingin mendapatkan mutu air yang berkualitas, maka ada yang namanya mutu air sasaran. Yakni mutu air yang direncanakan untuk diwujudkan dalam jangka waktu tertentu melalui program kerja pengendalian pencemaran air. Untuk pencapaiannya perlu diformulasikan langkah makro upaya pengelolaan terhadap badan air dan sumber pencemar, dengan tolok ukur keberhasilan.
Menurut Prof Hefni, pengolahan air limbah dengan bioremediasi via biomagnifikasi dan fitoremediasi air limbah perikanan menggunakan tanaman hortikultura dan vetiver secara RAS (Recirculating Aquaculture System)-Akuaponik-Floating wetland, terbukti mampu memperbaiki kualitas air. Sistem RAS-Akuaponik-Floating wetland ikan nila dan selada Romaine Lettuce (Lactuca sativa) mampu menurunkan nitrogen anorganik limbah cair ikan nila sebesar 91,50 persen (NH3), 34,41 persen (NH4), 22,86 persen (NO2) dan 49,74 persen (NO3).
“Pada sistem RAS-Akuaponik-Floating wetland ini, telah berhasil dikultivasi ikan nila, ikan lele, ikan hias, lobster air tawar, serta aneka sayuran (selada air, seleda mentega, selada romaine, pakcoy), tomat, cabai, dan terong, yang merupakan produk ikan dan hortikultura organik,” katanya.
Prof Hefni menengarai, sekitar 90 persen air bekas di negara berkembang tidak diolah namun dibuang begitu saja ke badan air sehingga dapat mengancam kesehatan manusia dan lingkungan.
Sesuai Sustainable Development Goals (SDGs) No 6 tentang penjaminan air bersih dan sanitasi yang baik, tahun 2030 diharapkan sudah tercapai peningkatan kualitas air dengan mengurangi polusi, menghilangkan pembuangan air limbah, meminimalkan pelepasan material dan bahan kimia berbahaya, mengurangi setengah proporsi air limbah yang tidak diolah, peningkatan daur ulang air, dan penggunaan kembali air daur ulang.
“Indonesia turut serta dalam SDGs ini melalui penilaian status mutu air, pengendalian sumber pencemar, dan sejumlah upaya restorasi. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) tahun 2019, perhitungan Indeks Kualitas Air (IKA) Indonesia di 34 provinsi sebesar 52,62, meningkat 1,61 poin dari 51,01 pada 2018,” ujar Prof Dr Hefni. [] Admin