BOGOR-KITA.com, CIBINONG – Sampai kapan banjir di Jabodetabek akan terjadi? Akankah masyarakat terdampak terus menderita akibat banjir yang nyaris menerjang setiap tahun?
Sampai Februari 2020 ini, banjir masih menjadi pembicaraan dan perhatian para pejabat dan masyarakat.
Respon dan reaksi muncul dari berbagai kalangan. Ada yang mengajukan gugatan class action terhadap Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Sementara Gubernur Jabar Ridwan Kamil mempercepat kunjungan di Australia dan bergegas pulang ke tanah air guna memimpin pengendalikan banjir yang terjadi di Karawang dan Subang.
Pada Rabu (26/2/2020), Komisi V DPR RI menggelar rapat dengan Kementerian PUPR dan kepala daerah di sekitar Jabodetabek. Pada Rabu (26/2/2020), Trans 7 melalui MataNajwa juga membahas soal banjir, mengusung tema “Ketar-Ketir Banjir, Normalisasi atau Naturalisasi.”
Beban Berat Bupati Bogor
Banjir di Jabodetabek bisa terjadi karena tiga hal, yakni karena rob, hujan lokal dan kiriman dari Bogor.
Walau tidak ada rob, walau tidak ada hujan lokal di Jakarta dan Bekasi, tetapi jika di Bogor turun hujan, maka banjir bisa terjadi di Jakarta dan Bekasi. Hal ini terjadi, selain karena faktor ketinggian, Kabupaten Bogor juga merupakan hulu Sungai Ciliwung yang mengalir dari Puncak sampai jauh ke Jakarta.
Karena itu pula, Kabupaten Bogor, nyaris menjadi perhatian dan pihak yang disalahkan setiap kali banjir melanda Jabodetabek. Kabupaten Bogor nyaris selalu menjadi pihak tertuding. Bupati Bogor nyaris selalu menanggung beban berat atas banjir yang melanda Jabodetabek. Lihat saja pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang mengatakan, banjir di Jakarta akan sulit diatasi jika hulunya tidak ditangani.
Pertanyaannya, haruskah beban berat tersebut diwarisi oleh siapa pun Bupati Bogor? Haruskah Bupati Bogor selalu disalahkan jika terjadi banjir di Jakarta atau di Jabodetabek?
Haruskah banjir di Jakarta atau Jabodetabek menjadi “kutukan” bagi siapa pun Bupati Bogor?
Keterbatasan Bupati Bogor
Dalam catatan BOGOR-KITA.com, Kabupaten Bogor sudah melakukan sejumlah upaya mengendalikan banjir kiriman.
Pada masa kepemimpinan Rachmat Yasin, antara tahun 2008 – 2013, sudah dirancang pembangunan waduk Ciawi dan Sukamahi. Ketika Itu, Joko Widodo (Jokowi) menjabat Gubernur DKI Jakarta. Keduanya sering bertemu untuk waduk Ciawi.
Bukan hanya itu. Rachmat Yasin ketika itu juga sudah merancang membangun bendungan Cijurey dan Cibeet.
Dalam catatan BOGOR-KITA.com, perencanaan itu sudah jauh, karena sudah ada studi kelayakan, bahkan sudah ada calon investor, konon dari Tiongkok.
Waduk Ciawi terkait dengan pengendalian banjir di Jabodetabek, sedang bendungan Cijurey dan Cibeet terkait dengan pengendalian banjir di Karawang dan Banten.
Pembangunan waduk dan bendungan tersebut tentu saja tidak hanya terkait pengendalian banjir di Jabodetabek, tetapi juga terkait dengan pembangunan di Kabupaten Bogor. Sebab waduk dan bendungan itu dapat juga dimanfaatkan memasok air untuk pertanian, suplai air baku minum, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), wisata atau olahraga air dan lain sebagainya. Sayang, di masa kepemimpinan setelah Rachmat Yasin, rencana pembangunan waduk dan bendungan, seakan terlupakan.
Setelah Kabupaten Bogor dipimpin Bupati Ade Yasin dan Wakil Bupati Iwan Setiawan, pembangunan waduk dan bendungan kembali menjadi perhatian. Ade yasin menjadikan pembangunan waduk Ciawi, Sukamahi dan Bendungan Cijurey dan Cibeet sebagai proyek strategis.
Namun, untuk merealisasi proyek strategis Kabupaten Bogor itu jelas tidak mudah. Biayayanya mencapai triliunan, jauh untuk bisa dicover oleh APBD Kabupaten Bogor.
Tetapi, Ade Yasin tidak diam. Salah satu ichtiar yang dilakukan adalah menggagas apa yang kemudian dikenal sebagai Bogor Economic Summit (BES).
Melalu BES, Ade Yasin mengajak 11 kepala daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor untuk duduk bersama guna melakukan penguatan-penguatan meyakinkan pemerintah pusat agar membiayai proyek-proyek infrastruktur strategis bernilai triliunan itu.
Pertemuan Ade Yasin dengan 11 kepala daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor, tercapai. Sebelas kepala daerah, sebagian diwakili, hadir dalam pertemuan puncak yang digelar di Hotel Royal Tulip, Kabupaten Bogor, 12 Desember 2019.
Selain Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum, Wakil Ketua DPRD Jabar Achmad Ruyat dan sejumlah petinggi Jabar, hadir juga Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dan perwakilan PUPR dan lain sebagainya.
Suasananya pertemuan kondusif. Delapan proyek strategis yang dirumuskan sebelumnya, disepakati.
Untuk merealisasi proyek infrastruktur strategis itu, para kepala daerah bersepakat menggelar pertemuan tahunan untuk terus memberikan penguatan-penguatan guna meyakinkan pemerintah pusat.
Terkait bendungan Cijurey dan Cibeet, Ade Yasin, juga sudah menggelar rapat dengan pihak terkait di pemerintah pusat. Semuanya dilakukan bersamaan dengan upaya merealiasi proyek-proyek lain yang hanya terkait dengan Kabupaten Bogor seperti pembangunan jalan tambang di Parung, pembangunan Jalan Poros Tengah Timur dan lain sebagainya yang juga membutuhkan dana triliunan, dan oleh sebab itu harus melibatkan pemerintah pusat atau investor.
Namun, sekali lagi, proyek infrastruktur strategis tidaklah mudah direalisasi mengingat dana besar yang hanya mampu dicover oleh pemerintah pusat melalui APBN.
Sangat tampak upaya Kabupaten Bogor membangun Kabupaten Bogor yang secara langsung terkait dengan pengendalian banjir di Jabodetabek, Karawang dan Banten.
Oleh sebab itu, menjadi pertanyaan, patutkah Kabupaten Bogor selalu disalahkan setiap kali terjadi banjir di Jabodetabek? Patutkah Kabupaten Bogor selalu dijadikan kambing hitam?
Waktu terus berlalu. Permukaan tanah di Jakarta terus mengalami penurunan, sementara permukaan air laut meninggi.
Dalam perspektif ini, tidak saatnya lagi saling menyalahkan, apalagi menyalahkan Kabupaten Bogor, yang jelas tak berkutik jika berbicara proyek infrastruktur bernilai trilunan.
Semua pihak terkait saatnya bersikap konsisten. Jauhkan politisasi banjir. Hujan atau tidak, sedang ada banjir atau tidak, semua pihak, mulai dari pemerintah daerah sampai pemerintah pusat harus menegakkan sikap konsisten, bahwa waduk dan bendungan untuk pengendalian banjir harus mendapat perioritas untuk dibangun.[] Petrus Barus