OPINI: Objektifikasi Perempuan Dalam Narasi Poster Aksi Demonstrasi
Oleh : Lasmi Purnawati*)
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Narasi poster yang “nyeleneh” saat aksi demonstrasi sengaja dibuat untuk menarik perhatian. Kalimat-kalimat lucu, unik, receh, diharapkan dapat lebih melekat di ingatan publik yang membaca. Terbukti narasi-narasi tersebut memang selalu menjadi perbincangan hangat dan viral di lini massa. Sayangnya narasi receh yang dipilih tak jarang menjadikan perempuan sebagai obyek yang terkesan melecehkan bahkan mendegradasi makna kehadiran perempuan dalam pergerakan di panggung politik.
Meskipun kalimat dalam poster terlihat “receh”, namun biasanya membawa pesan politik yang serius. Satir politik memang bukanlah hal yang baru. Semakin berkembang dan populer di era media sosial, karena setiap orang bisa memproduksi dan memviralkannya. Bahkan bahasa satir bisa menjadi senjata dan alat propaganda yang ampuh dalam menyampaikan sikap politik atau kritik terhadap sebuah kebijakan. Politik bahasa telah menjadi bagian tak terpisah dalam panggung politik dan demokrasi.
Poster ‘nyeleneh’ saat demonstrasi
Peran Perempuan
Meskipun panggung demonstrasi masih dipandang maskulin, realitas sejarah membuktikan tak jarang perempuan berada di garis terdepan. Sejarah bangsa Indonesia pun berdiri di atas perjuangan dan darah kaum perempuan (jurnal perempuan, 2018). Sebelum kemerdekaan, perjuangan perempuan dilatari semangat pembebasan dari imperialisme. Bersama kaum laki-laki, perempuan turut mengangkat senjata maju ke medan perang mengusir penjajah, misalnya Raden Ayu Ageng Serang, Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Muthia. Di bidang pendidikan, perempuan turut berjuang melalui goresan tinta dan mengajar untuk mencerdaskan rakyatnya seperti Rohani Kudus, R.A Kartini, Dewi Sartika dll.
Menjelang kemerdekaan, kaum perempuan turut ambil bagian merumuskan kemerdekaan. Di Era Orde Lama, gerakan perempuan terbilang cukup dinamis dan memiliki posisi tawar yang tinggi. Pada masa ini, secara sadar perempuan mulai masuk ke wacana politik sebagai garis perjuangannya, mewarnai beberapa produk UU dengan gagasan dan pemikiran yang memperjuangkan hak perempuan secara konstitusional.
Saat Rezim Orde Baru berkuasa, gerakan perempuan Indonesia secara politis mengalami mati suri. Meski dilibatkan dalam proses pembangunan, perempuan tidak mempunyai peran penting. Pemerintah Orde Baru mengembangkan kebijakan depolitisasi peran dan posisi perempuan Indonesia secara sistematis dengan memposisikan laki-laki sebagai elemen inti dari Negara. Sedangkan perempuan ditempatkan sebagai elemen sekunder yang cukup berkiprah di dalam keluarga yang jauh dari dunia politik untuk mendukung kebijakan negara secara total. Julia Suryakusuma (2011) menyebutnya dengan istilah state ibuism untuk merujuk ideologi gender rezim Orde Baru yang bertumpu pada paham paternalistik.
Gerakan perempuan kembali bergairah di Era Reformasi. Saat seluruh rakyat bergerak menuntut Presiden Soeharto mundur akibat krisis ekonomi yang melanda dan bobroknya sistem demokrasi serta tata kelola Negara, melalui Gerakan Ibu Peduli perempuan menyokong perjuangan mahasiswa kala itu. Lengsernya Soeharto pada Mei 1998 tidak hanya membuka kran demokratisasi tetapi juga membuka peluang perbaikan peran dan posisi perempuan di ranah publik. Era Reformasi dianggap sebagai tonggak redefinisi peran politik perempuan. Pengarusutamaan gender menguat dengan semakin gencarnya tuntutan kaum perempuan untuk mendapatkan posisi setara di dalam kehidupan berpolitik dan bernegara.
Meski melalui jalan panjang dan mengalami pasang surut, perjuangan perempuan agar Negara mengakui eksistensinya perlahan membuahkan hasil, perempuan mendapatkan kuota 30 persen dalam parlemen. Era pemerintahan Jokowi, berbagai kebijakan yang responsif gender cukup banyak mengubah wajah perempuan Indonesia. Contoh, komitmen untuk mendorong perempuan berperan dalam perekonomian melalui berbagai skema pendanaan. Di samping kiprah menteri perempuan di Kabinet yang jumlahnya paling banyak sepanjang sejarah dan menempati posisi strategis yang selama ini dianggap maskulin seperti Menkeu, Menlu, MenKKP, MenKLH, dll.
Tentu perempuan tidak serta merta berpuas diri melihat hal tersebut. Sebab, meskipun semakin banyak perempuan menduduki jabatan strategis, banyak kebijakan maupun produk perundang-undangan yang bias gender. Apalagi, baik kuota 30 persen maupun penempatan menteri perempuan dalam kabinet terkesan lebih untuk memenuhi tuntutan formalitas ketimbang substansi. Kehadiran perempuan dalam politik masih sebatas obyek ketimbang subyek yang memiliki kehendak dan visi misi sendiri. Dampaknya, suara perempuan masih terlalu sunyi untuk didengar oleh Negara. Kehidupan kaum perempuan belum mengalami perbaikan signifikan.
Objektifikasi Perempuan
Objektifikasi hanyalah salah satu strategi yang digunakan untuk merendahkan dan melemahkan perempuan dalam politik (Lorie Shaull / Flickr dalam Claire Gotherau, 2020). Taktik objektifikasi sangat merugikan perempuan, sebab objektifikasi bukan saja mendelegitimasi kemampuan dan kompetensi perempuan tetapi juga bentuk dehumanisasi yang melibatkan penolakan sifat dan kualitas manusia yang esensial.
Selain itu, objektifikasi berpotensi meningkatkan dukungan terhadap norma-norma peran jender tradisional yang akan mendikte bahwa politik bukanlah tempat di mana perempuan berada. Melalui mekanisme ini, sistem paternalistik berusaha meruntuhkan penilaian positif dan dukungan untuk perempuan di bidang politik. Perempuan yang memasuki arena politik nasional akan menjadi sasaran retorika, diskriminasi dan penggambaran negatif yang tidak dialami oleh politisi laki-laki.
Objektifikasi merupakan hasil konstruksi budaya patriarki yang mengakar dalam jangka waktu yang panjang. Sayangnya, tak jarang kaum perempuan tanpa sadar menerima hal tersebut dan memberikan legitimasi. Rachel Calogero, dkk (2011) mengungkapkan, perempuan yang memiliki self-objectifier tinggi lebih cenderung puas dengan status quo dan cenderung menghindar dalam upaya meningkatkan status perempuan. Hal ini disebabkan perempuan yang memiliki self-objectifier tinggi memandang kecantikan fisik merupakan aset terpenting dibanding keterampilan, bakat, kecerdasan, dll. Cenderung berfokus pada penampilan fisik, memiliki efikasi serta kepercayaan diri yang rendah. Fokus yang berlebihan pada penampilan ideal dan kepuasan dengan status quo ini mendangkalkan pemikiran kritis dan meredam keinginan untuk berpartisipasi dalam aktifitas politik berbasis jender yang berpihak pada nasib perempuan.
Rekomendasi
Pemilihan diksi yang unik, lucu, memorable, nyeleneh, ataupun receh sebenarnya sah-sah saja. Narasi-narasi ringan tersebut kadang memang dibutuhkan untuk memecah kekakuan komunikasi politik. Tetapi, pemilihan diksi yang tepat juga perlu dipikirkan. Jangan sampai kerecehan diksi justru mengaburkan pesan yang hendak disampaikan. Apalagi bila terkesan melecehkan atau mengarah pada objektifikasi perempuan yang pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri.
Keterlibatan lebih banyak perempuan dalam gerakan politik tentu sangat diharapkan agar suara dan kepentingan perempuan bisa didengar oleh pengambil kebijakan di negeri ini. Hanya saja, kaum perempuan harus tetap kritis. Perempuan harus menolak narasi yang menjadikan perempuan sebagai objektifikasi dan menyadari bagaimana perempuan diperlakukan.
Perempuan jangan bersikap permisif. Objektifikasi tidak bisa dibenarkan dan ditolerir apalagi dianggap wajar apapun alasannya. Objektifikasi harus diakhiri dengan mempromosikan citra positif perempuan. Perempuan itu cerdas, tangguh, keren, hebat, mumpuni, kreatif, inovatif, dll.
Perempuan juga harus bersama-sama memerangi seksualisasi, objektifikasi, dan citra kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang hadir di media dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterlibatan lebih banyak perempuan sebagai agen perubahan sosial untuk menantang dampak objektifikasi dalam perjuangan untuk keadilan gender. Misalnya dengan cara menggunakan media sosial untuk membawa kesadaran tentang objektifikasi.
Disinilah titik literasi berperan penting. Kreatifitas harus didukung kemampuan berpikir kritis dan analitis. Perempuan harus bisa mempertanyakan, apakah sebuah budaya “populer/receh” akan menjerumuskan ke dalam kehampaan moral, sebab fantasi budaya “receh” tidak dirancang sekedar untuk menghibur atau sebatas trend melainkan dirancang untuk mencegah tumbuhnya emansipasi dan budaya kritis.
*)Penulis Adalah Direktur Eksekutif Pena Demokrasi Indonesia