BOGOR-KITA.com – Bogor tahun 1800-an adalah sebuah daerah mewah. Betapa tidak, sejak tahun 1857 Bogor sudah memiliki kantor pos dan telegraf. Bayangkan, tahun 1857, ketika buta huruf masih merajalela, orang Bogor sudah memiliki kantor pos dan telegraf.
Jika waktu itu sudah internet, maka istilah smart city yang sekarang berkembang menjadi semacam perlombaan setiap pemerintah daerah, mungkin sudah terwujud di Bogor sejak dulu.
Sayangnya, teknologi internat yang sekarang mengubah paradigma masyarakat dunia itu, baru tercipta di penghujung tahun 1950-an dan pemanfaatannyaa baru marak setelah tahun 2.000-an terutama setelah penciptaan smartphone.
Bukan hanya kantor pos dan telegraf, Bogor tahun 1800-itu juga sudah memiliki beragam fasilitas publik. Antara lain rumah sakit, pasar, sekolah, tempat hiburan, hotel, restoran, rumah ibadah, stasiun, bahkan rumah tahanan dan lain sebagainya.
Mengapa Bogor begitu cepat memiliki fasilitas umum?
Alasan utamanya adalah karena keberadaan Istana Bogor yang dibangun 1745 itu. Sejah saat itu banyak warga bangsa Eropa datang ke Bogor.
Maka, Bogor pada tahun 1800-an memiliki penduduk yang terdiri dari bangsa-bangsa Eropa, Asia dan pribumi.
Keberadaan orang Eropa yang sebagian besar menganut ajaran protestan dan katolik, menuntut adanya rumah ibadah bagi mereka, yaitu gereja.
Pada tahun 1845 didirikan sebuah gereja yang pemberkatannya dilakukan pada 13 April 1845. Namanya Gereja Simultan atau gereja ekumene atau gereja bersama, yang lokasinya terletak di Groote Post Weg (Jalan Raya Pos) atau yang sekarang dikenal dengan Jalan Juanda. Gereja itu awalnya digunakan oleh umat Katholik dan Protestan secara bersamaan.
Kemudian pada tahun 1896, dengan kemampuannya sendiri umat Katholik berhasil membangun Gereja sendiri dan memisahkan diri dari Gereja Simultan.
Lalu, enam puluh tiga tahun kemudian (1920) umat Protestan juga mendirikan Gereja sendiri yang menampung lebih banyak jemaat di lingkungan Istana Bogor.
Setelahnya, bangunan yang sebelumnya dijadikan Gereja Bersama, akhirnya tidak dipakai untuk ibadah lagi.
Untuk memfungsikannya kembali, pemerintah menggunakan gedung bekas gereja ini sebagai Kantor Pos. Saat itu jawatan pos masih dalam pengelolaan PTT (Post Telegraaf Telefoon). Perusahaan inilah yang mengkonsolidasikan seluruh jaringan komunikasi di Hindia Belanda, termasuk di Bogor.
Tercatat Bogor memiliki kabel telegraph sejak 1857, di mana hingga tahun 1920-an kantor pos dan telegraph lokasinya berada di Station gebouw (bangunan stasiun). Catatan peta 1920 menunjukkan lokasi ini berada di sayap kiri gedung Stasiun Bogor.
Barulah kemudian menempati gedung bekas Gereja yang sudah tidak digunakan tadi. Lokasinya yang berada di Jalan Raya Pos dan bersebelahan dengan Kebun Raya Bogor memudahkan penduduk kota saat itu untuk mengaksesnya.
Bangunan itu hingga kini masih berfungsi sebagai kantor pos. Walaupun masyarakat sudah tidak lagi banyak memanfaatkannya sebagai kantor pos karena hampir semua sudah menggunakan fasiltas internet, tetapi kantor pos ini adalah simbol mewah sekaligus saksi bisu kemajuan Bogor tahun 1800-an. [] Admin/dari berbagai sumber