Kab. Bogor

Tolak Omnibuslaw, Mapala Bogor Bentangkan Spanduk di Jembatan Leuwiliang

BOGOR-KITA.com, LEUWILIANG – Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) dengan tegas mengatakan UU Cipta Kerja sangat tidak selaras dengan kode etik pecinta alam yang selama ini dipegang teguh oleh Mapala dan pecinta alam lainnya.

Dalam siaran pers Aliansi Mapala Bogor dan Pusat Koordinasi Daerah (PKD) Banten, Selasa (5/10/2020), dikatakan, pihaknya telah menggelar aksi penolakan atas pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

“Kami Aliansi Mapala Bogor dan Pusat Koordinasi Daerah (PKD) Banten telah melaksanakan aksi penolakan atas pengesahan RUU Cipta Kerja,” ungkap M. Jejen Syukrilah, Ketua Umum Mapala Institut Agama Islam Sahid Bogor, Selasa (6/10/2020).

Dia membeberkan, peserta aksi sebelumnya berkumpul di STKIP Muhammadiyah Bogor dan selanjutmya menggelar aksi penolakan dengan mengibarkan bendera bertuliskan “Lawan Perusak Lingkungan, Gagalkan Omnibus Law” dengan ukuran 10×10 meter yang dibentangkan di atas Jembatan Leuwiliang.

Jejen menambahkan, pengibaran bendera tersebut dilakukan bersama – sama oleh Mapala Kesatuan, Palapa Unpak dan Mapar.

“Aksi menolak UU Cilaka ini diikuti oleh 15 organ, dengan 64 anggota peserta aksi serta dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan,” ungkapnya.

Baca juga  UU Cipta Kerja, Bima Arya: Implementasinya Butuh Penyesuaian di Daerah

Dalam penolakannya, Aliansi Mapala Bogor dan PKS Banten menegaskan bahwa, UU Cipta Kerja semakin memperparah eksploitasi terhadap lingkungan hidup karena muatan UU terlalu mementingkan kepentingan bisnis semata dan tidak didukung dengan adanya pemberdayaan masyarakat yang harusnya didorong oleh negara.

“Keadilan ekologis yang selama ini diperjuangkan oleh Mapala, juga tidak sepenuhnya didorong oleh negara,” tandasnya.

Sementara Begie, Korlap aksi Aliansi Mapala Bogor dan PKD Banten menambahkan, pihaknya melihat bahwa perampasan lahan, kriminalisasi serta ancaman bencana ekologis masih terus menjadi bayangan nyata bagi masyarakat di Indonesia.

Dia menambahkan, subtansi UU Cipta Kerja yang dianggap penting untuk menjadi dasar penolakan di antaranya, penghapusan Pasal 18 UU Perhutanan tentang Batas Minimum 30% Luas Kawasan Hutan.

Lalu penghapusan keharusan untuk mendapatkan persetujuan DPR RI dalam melakukan pelepasan kawasan hutan.

“Padahal dalam UU Kehutanan sebelumnya, sudah diatur keharusan tersebut. Namun oleh UU Cilaka aturan tersebut dihapus. Hal ini akan memperluas dan memperkuat ancaman perampasan hutan adat,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Begie, adanya perubahan total pada pasal 49 UU Kehutanan, tidak lagi mewajibkan adanya tanggung jawab yang dibebankan pada perusahaan khususnya terhadap kebakaran di areal konsesi.

Baca juga  Pj Bupati Bogor: Idul Fitri Momentum Bangkitkan Harmoni Dan Keseimbangan Sosial

Selanjutnya, perubahan kriteria Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang semula diatur dalam pasal 23 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dengan sembilan (9) kriteria terkait usaha atau kegiatan wajib amdal, dalam UU Cipta Kerja/Omnibus Law telah dipangkas dan digantikan hanya dengan satu kriteria saja dengan indikator abstrak yang tercatat pada pasal 23 ayat 3 UU tersebut.

“Hal ini membuka peluang besar bagi korporasi atau pelaku usaha besar untuk mengabaikan aspek lingkungan dalam usahanya,” cetus Begie..

Dia menambahkan, banyak pasal lain yang sangat merugikan warga masyarakat, namun di sisi lain sangat menguntungkan perusahaan/korporasi.

Apalagi dalam UU Cipta Kerja, tidak ada celah atau pintu masuk bagi warga negara menggugat lembaga lain yang merusak lingkungan seperti tercantum dalam pasal 93 UUPPLH, sebagai konsekuensi dihapusnya izin lingkungan.

Hal ini menurutnya akan semakin mempermudah korporasi atau pelaku usaha besar dalam melakukan eksploitasi, bahkan pada tataran hukum normatif.

Baca juga  Universitas Djuanda dan Komunitas Ecovillage Baraya Jalin Kerjasama

“DPR dan Pemerintah terkesan memanfaatkan situasi pandemic yang membatasi ruang pemantau dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan hukum HAM,” tandasnya.

Begie menambahnan, banyak poin dalam UU Cipta Kerja yang menggambarkan bobroknya samangat menjaga kelestarian alam oleh negara.

Dari segi substansi Omnibus Law tidak sesuai dengan paradigma yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 khususnya pasal 28 dan 33.

“UU cilaka ini sudah sepantasnya kita sebut sebagai  UU pengundang bencana, karena di dalamnya terdapat banyak sekali potensi ketimpangan yang diberlakukan demi mempermulus dan mengakomodir kepentingan oligarki,” tegasnya.

“Aliansi Mapala Bogor Bergerak Indonesia yang tergabung dalam Pusat Koordinasi Nasional (PKN) dan Pusat Koordinasi Daerah (PKD) Jabodetabek, mendesak DPR RI dan Pemerintah Republik Indonesia untuk segera menyelamatkan alam dan lingkungan hidup dengan :

1.Mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja dan menarik usulan dari oligarki.

2.Presiden segera keluarkan Peraturan Pengganti Undang – Undang (Perppu) UU Cipta Kerja.

3.Stop melayani korporasi.

4.Stop kerusakan alam untuk keuntungan oligarki. [] Fahry

 

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top