Wisata

Perempuan Sangat Penting dalam Ruang Publik dan Batin Masyarakat Sunda (3-habis)

Dewi Sri

BOGOR-KITA.com – Seperti apa perempuan Sunda? Kedudukan perempuan amat terhormat dalam ruang domestik dan terlebih lagi ruang batin manusia Sunda.  Jelang pelaksanaan Konferensi Internasional bertajuk Reinventing Sunda, yang digelar di Hotel Salak 25 -27 Oktober, bogor-kitacom mengumpulkan sejumlah tulisan yang terkait dengan konferensi. Salah satunya yang ditemukan adalah tulisan Jakob Sumardjo yang diterbitkan oleh Pikiran Rakyat, 8 Agustus 2002, berjudul “Perempuan dalam Masyarakat Sunda Lama.” Seperti apa perempuan Sunda? Amat terhormat dalam ruang domestik dan terlebih lagi dalam ruang batin manusia Sunda. Berikut tulisan lengkap Jakob Sumardjo o redaksi

 

Dalam upacara adat ngalaksa di Rancakalong, Sumedang, percampurannilai-nilai itu terjadi. Masyarakat tani Rancakalong jelas masyarakat Sunda,tetapi dalam mitos (atau legenda) mereka, terselip hubungan dengan kerajaanMataram Islam yang Jawa. Pola pikir sawah masuk dalam upacara besar itu,misalnya, upacara bersama dilakukan oleh lima rukrukan, yakni Rancakalong,Cibunar, Pasirbiru, Cijere, dan Legok Picung. Menurut sesepuh di situ,pusatnya adalah Rancakalong, di sebelah timur Pamekaran (Cijere, LegokPicung?), di sebelah barat Cibunar, di sebelah utara Nagarawangi (Cijere,

Baca juga  Menakar Perlindungan Hak Disabilitas di Ruang Publik

Lebok Picung?), dan di selatan Pasir Biru. Ini jelas pola pikir orang sawahyang mengenal "empat kiblat kalimo pancer". Orang Sunda lebih mengenaladanya tritangtu (tiga kesatuan kosmis).

Tetapi, tritangtu itu juga masih dipakai dalam upacara, misalnya kudalumping Sunda yang khas (kuda rotan) yang saya kira banyak masyarakat Sundayang tidak menyadari fenomena ini. Kuda lumping itu dari Jawa yang sawah,sedangkan kuda rotan ini asal orang ladang. Begitu pula axis mundi Sundayang berupa sebatang tiang yang dibawa oleh remaja lelaki (belum akilbalig), di bagian tengahnya dihias dengan dua silangan (utara-selatan,timur-barat), tetapi tidak di-"pusat"-kan, seperti terjadi pada orang sawah.

Tiang dengan dua silangan itu memiliki pusatnya sendiri-sendiri, jaditerpisah. Inilah gejala tritangtu Sunda ladang dulu kala. Tiang serupaterdapat pada masyarakat ladang Kaili, Donggala, yang disebut tiang vunya.Dalam masyarakat ladang umumnya, di Indonesia, hanya dikenal dua arah, yakni"hulu" dan "hilir", "girang" dan "hilir".

Baca juga  Ramadan Penuh Kejutan di Harris Sentul City - Paket Spesial & Diskon Hingga 75%!  

Nilai-nilai Islami tampak dalam pemisahan penari perempuan dan penarilelaki. Mula-mula yang menari lelaki, baru rombongan perempuan. Dalam polapikir sawah, tarian "kesuburan" semacam itu, menghadirkan seorang penariperempuan yang bergantian menari dengan para lelaki (ronggeng).

Dari contoh kecil itu, tampak adanya perubahan-perubahan nilai dalam polapikir masyarakat Sunda, dari primordial ladang, sawah, Islam, dan modern. Disitu juga masih tampak kedudukan penting perempuan. Perempuan-perempuanpenari ngalaksa itu rata-rata sudah tua usianya (menopause), dengan demikiansakral karena bersifat "dunia tengah", tidak laki-laki (tidak beranak) dantidak perempuan (tak mungkin beranak lagi).

Hal yang perlu kita lakukan adalah menelusur kembali historisitas perempuanSunda (Ayatrohaedi sudah melakukannya lewat karya sastra, baik lisan maupuntulis), dan fenomena atau artefak-artefak lain dalam masyarakat Sunda. Darihistorisitas berbagai unsur ini akan ditemukan pola tetap yang dari dulusampai sekarang masih dihidupi oleh orang Sunda, juga akan diketahuipola-pola mana yang sudah digantikan oleh sejarah.

Baca juga  Liburan Tanpa Lupa Pelajaran, Kunjungi Baby Zoo Taman Safari Bogor!

Pemikiran di atas tentu saja bukan murni pemikiran saya, tetapi dapatmeminjam dari para antropolog, seperti Roert Wessing, Boelaars (masyarakatladang, sawah, peramu, kelautan), Abdurrauf Tarimana, Nico L. Kana, vanWouden, Judith Becker, Judistira K. Garna, dan lain-lain. Mereka telahmenolong saya untuk membaca fenomena seni tradisional, tentu saja dengantafsir saya sendiri.

Sebagai orang Jawa, saya lekas melihat secara intuitif, mana yang bukanJawa. Memang cukup banyak "gejala sawah" di Sunda ini, tetapi barang siapatelah mengenali pola-pola dasar berpikir primordial masyarakat-masyarakattersebut, orang akan segera mengenali, mana yang membedakan masyarakatladang dan masyarakat sawah. Mana yang sejak awalnya (interpretasi) bersifatSunda dan mana yang kemudian berubah.Pengamatan Ayatrohaedi secara acak dalam sastra Sunda, ternyata mendapatkanpembenarannya, apabila dilihat dari kajian antropologi budaya.[] Admin – habis

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top