BOGOR-KITA.com – Peran Pemerintah Pusat dalam mengendalikan harga dan pasar dalam hal ini Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan dan Bulog bahkan Penegak Hukum diperlukan untuk menahan laju alihfungsi lahan pertanian berkelanjutan.
Hal tersebut dikemukakan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan Bogor, Dr. Hendro Sasongko Ak., M.M.,CA. kepada BOGOR-KITA.com, Kamis (29/8/2019).
Sebelumnya Pemda Kabupaten Bogor memberikan 8 insentif kepada para petani yang mempertahankan lahan pertanian dan tidak mengalihsungsikan lahan pertanian berkelanjutan.
Pemberian insentif ini dikemukakan Bupati Bogor Ade Yasin saat memberikan sambutan dalam Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Bogor di Gedung DPRD Kabupaten Bogor, Cibinong, Rabu (21/8/2019).
Hendro mengapresiasi langkah Pemda Kabupaten Bogor yang memberikan insentif ini namun ia memberikan dua catatan.
“Kita harus mengapresiasi Pemkab Bogor atas produk regulasi dalam bentuk 8 insentif tersebut, karena memang insentif-insentif tersebut merupakan cara dan langkah – langkah untuk menghindari alih fungsi lahan pertanian,” tutur Hendro.
Menurut Hendro, pertanyaan berikutnya adalah, apakah dengan adanya insentif – insentif tersebut, dapat menahan laju alih fungsi lahan?
“Menurut saya, belum sepenuhnya menjamin, karena alasan berikut : Pertama komponen utama dalam pengendalian alih lahan adalah Pemerintah (sebagai regulator) dan petani itu sendiri. Dengan adanya 8 insentif, maka Pemerintah Daerah (Kabupaten Bogor) telah dan sedang melaksanakan fungsi regulatornya. Tapi jangan lupa, harus ada peran Pemerintah Pusat juga, seperti kendali pasar dan harga. Kementan, Kemenkeu, Kemendag, Bulog, bahkan Penegak Hukum,” terangnya.
Hendro melanjutkan, kita membicarakan data degradasi luas lahan pertanian yang mengkhawatirkan, ketimpangan luas pemilikan lahan, serta dampak industri, properti dan bahkan pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, yang mau tidak mau, juga harus mengkonversi fungsi lahan.
Yang kedua, menurut Hendro, komponen utama yang lain adalah aspek petaninya sendiri. Kenapa? Jangan lupa, yang kita bicarakan adalah petani – petani dengan kepemilikan lahan yang relatif kecil, dimana mayoritas memiliki pola pikir sederhana. Karena pola pikir sederhana tersebut, maka mereka hanya tertarik dengan prinsip pendapatan mana yg lebih menarik, apakah dengan mengolah lahan, atau menjual. Sepanjang ada disparitas yang cukup lebar, maka keputusan mereka jelas, walaupun itu berdimensi jangka pendek.
“Artinya apa? Harus ada upaya memberi pemahaman terstruktur kepada petani, melalui pendidikan, pendampingan dan sosialisasi. Jangan juga diabaikan pengaruh media, globalisasi budaya, gaya hidup hedonis, dll. Di sinilah pentingnya peran Pemerintah Daerah beserta perangkat – perangkatnya, dan juga unsur-unsur lain seperti lembaga pendidikan. Tidak harus pendidikan tinggi, karena bisa juga pendidikan menengah, Pondok Pesantren,dll,” pungkasnya. [] Hari